Don't Go..

Sabtu, 24 Desember 2011

Ini jelas bukan kabar baik. Melihat mereka membicarakan sesuatu dari jauh, aku hanya bisa terdiam ditempat, kakiku kaku untuk melangkah menghampiri mereka. Aku menunduk, tersenyum sendiri, lalu perbalik pergi. Kau pantas menamparku dengan cara seperti ini, aku bahkan tidak merasakan pipi ini lebam, tapi hatiku lebam. Kau menampar hatiku. Aku merasakan suara sepatu high-heals ini berbunyi ketika aku melangkah keluar bangunan ini. Menelan ludah sebentar, lalu aku berjalan meninggalkan tempat itu. Rasanya sakit sekali, membayangkan semuanya begitu sempurna, tapi menjadi retak seketika. Aku ingin lari dari mata mereka, aku ingin hilang, biar mereka bahagia tak ada seseorang yang akan menganggu putra mereka. Aku jelas memilih hal itu apabila orang tuaku tidak disini. Tapi aku tahu, aku tak akan pernah bisa lari. Suara langkah kaki mulai mendekat, seseorang menyentuh pundakku, sentuhannya lembut, aku berbalik melihat siapa dia. Dia terengah-engah, menatapku dengan dalam.
"Kenapa pulang?." Ujarnya. Aku menatapnya, berusaha meluruskan wajah ini. Kau tak boleh menangis didepan dia. Pikirku dalam hati.
"Maaf, Ibuku telfon berkali-kali. Aku pikir ada sesuatu yang terjadi.." Kataku memohon. "Maaf.." Kataku lagi. Dia menatapku, wajahnya sendu.
"Kau setidaknya bicara padaku.." Katanya setengah tertawa. Atmosfer diantara kami jelas beda, kami sama-sama menenangkan situasi ini.
"Aku pikir kau sedang sibuk, aku tidak ingin menganggumu. Sungguh.. kau terlalu baik.." Kataku terbata-bata.
"Aku antar pulang ya?." Aku terdiam. Jantungku berdegub keras. Aku ingin bersamamu, dalam hatiku berteriak begitu. Hati ini sesak. Ada sesuatu yang kutahan dan tak boleh kukeluarkan. Aku menahan pikiranku.
"Aku bisa pulang sendiri. Mungkin ayahku akan menjemputku. Aku akan menelponnya sebentar lagi.." Kataku sembari tersenyum tenang. Memasang tampang sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia tahu aku tlah membendung air mata ini sepersekian detik selama percakapan ini berlangsung. Dia menatapku dengan tenang, aku menatap matanya. "Ya Tuhan.. aku bahkan tak akan pernah berniat membuat mata itu menangis.."
"Kau yakin tidak apa-apa?." Katanya. Aku tertawa kecil.
"Kau menghinaku?." Kataku lagi, menaikkan satu alis. Topeng yang sempurna. Dia tersenyum. Maka aku tersenyum.
"Aku akan baik-baik saja." Kataku meyakinkan. Dia menarikku dan memelukku. Aku merasakan hembusan nafasnya membuat rambutku bergerak lembut. Entah bagaimana, aku tidak bisa membendung air mata ini lagi. Kubiarkan air mata ini keluar sebentar. Ya Tuhan.. aku sayang padanya. Entah apa yang bisa kulakukan bila aku tak bersamanya lagi. Entah apa yang bisa kupikirkan selain dirinya. Biarkan kami terus begini.. AKu membuka pelukan kami. Dia mengecup lembut dahi ini. Aku menutup mata dan menghayati ini semua. Lalu dia melepas genggaman tangan ini pada tubuhku. Aku tersenyum lalu pergi darinya. Aku tak akan menoleh.. tidak.. Air mata ini jelas keluar tanpa aku memulainya. Aku tidak ingin mencari sesuatu yang bisa melukai orang yang kusayang. Jika ini berakhir.. maka aku akan membiarkan dia pergi. Aku tak akan pernah ingin pergi.. aku akan selalu disini..

Can you feel it?

Senin, 28 November 2011

Aku melangkahkan kaki dengan mantap, aku tau hari ini akan menjadi luar biasa. Tanganku mengepal erat, aku gugub untuk pulang. Ini bukan pertama kalinya aku gugub pulang kerumahku, ya rumahku. Bagaimana mungkin aku gugub kerumahku sendiri? Terlalu banyak kisah didunia ini, ya kan? Aku membuang semua resah dan gelisah, yang aku mau saat ini adalah, aku ingin pulang. Bertemu ayah dan ibuku, saudaraku yang setiap harinya tak pernah kudengar kabarnya. Ibuku selalu bilang, "Mereka sedang bermain.." atau "belum pulang sekolah.." malah parahnya "Mereka sedang sibuk..". Aku tahu itu alasan sempurna untuk tidak bicara denganku, aku tertegun pasrah mengingat hal itu. Ketika kaki ini mulai melangkah kaki menuju belokan, gemuruh petir mulai bersuara dari atas, awan mulai gelap dan angin berhembus liar melewati rambutku. Hujan akan turun sebentar lagi, aku senang sekali hujan, air yang menetes-netes dan bau air menyentuh tanah. Aku selalu merindukan suasana ini. Kucoba tersenyum sebentar. Sesekali kulihat anak-anak kecil berlarian melewatiku, mereka pulang memasuki pintu rumah mereka, ibu mereka menunggu dengan setia, ada yang tersenyum ada yang marah dan ada yang langsung memeluk mereka. Keluarga adalah tempat pertama, dan akan menjadi tempat terakhir yang paling tenang didunia. Mataku sedikit membendung, aku rindu ibuku, aku rindu ayahku yang selalu setia memberi kuliah malam ketika kami melihat acara TV tentang pendidikan. Ayahku adalah orang paling genius yang pernah kutemui, dan dia nyata. Bukan seperti J.K Rowling atau Albert Einsten yang aku kenal dari karya-karya mereka, tapi ini nyata, aku melihat sinar matanya ketika dia bicara tentang sesuatu yang luar biasa tentang planet bumi, tentang ciptaan Tuhan. Dan ibuku, dia adalah wanita terbaik, aku tau dibalik setiap marahnya ada sesuatu yang kami sebut "cinta". Jika dibayangkan, seorang ibu tidak akan membiarkan sesuatu melukai anak-anaknya, dan suaminya. Aku ingin seperti dia kelak. Mereka berdua adalah segalanya, aku tidak ada arti apa-apa dimata orang lain, tapi dimata mereka, aku adalah segala-galanya. Titik-titik hujan mulai turun, membasahi jalanan yang kering, bau air bertemu tanah mulai tercium, rambutku mulai basah, baju dan tasku kurasa sudah diujung tanduk, aku benar-benar basah kuyub. Beberapa langkah lagi aku sampai, petir menyambar dengan kerasnya. Aku ingin masuk rumah, diluar dingin sekali. Aku berlari menuju rumahku yang mulai terlihat diujung mata, entah kenapa aku benar-benar bersemangat, sebentar lagi aku aman dari hujan ini, rumahku sudah menungguku. Kubuka pagar dan menaruh tasku yang berat, kuangkat buku-buku jariku dan hampir mengetok pintu ketika sesuatu yang lebih menyengat membakar telingaku. Sesuatu yang lebih parah dari petir yang kudengar diluar. Tangan ini hampir setengah senti lagi menyentuh pintu, kubiarkan diriku mendengar apa yang terjadi didalam.
"...kau tidak tahu apa-apa!!." Ucap seorang lelaki biacar, ayahku.
"Aku kurang apa?!." Bentakan campur isak tangis membalas, ibuku menangis.
"LIHAT AKU!!." Ucap ibuku lagi dalam raungan.
"Dia akan pulang sebentar lagi!." Ucap ayahku.
"Biar dia dengar! Dia tahu! Harus diselesaikan malam ini!..." Ibuku menjawab Sesuatu bagai merobohkan bangunan yang kubangun ketika aku membayangkan bagaimana rasanya pulang, aku masih terpaku. Tidak tahu harus berbuat apa. Aku tersadar, "Dimana adik-adikku?." Aku berjalan menuju jendela. Melihat tanda-tanda mereka disuatu ruangan. Ketika aku melihat jendela yang lampunya dimatikan, aku mengintip sedikit, adik-adikku sedang duduk berdua. Terdiam tak berkata, aku tidak tahu apa yang mereka lakukan, entah menangis, entah menunggu. Air mata ini jatuh seketika, aku ingin membawa mereka keluar. "Tolong Tuhan.. Mereka masih sangat kecil, lakukan sesuatu.." Doaku dalam hati. Aku tidak berharap mereka melihatku, aku mundur dari tempatku. Inilah yang terjadi, aku selalu lupa bagaimana diriku yang sebenarnya. Seseorang pernah berkata padaku, Rumah adalah tempat yang selalu menjadi kunjungan terakhir bagimu, dan itu adalah tempat yang menciptakan suasana hati yang tenang dan akan selalu membuatmu rindu ingin pulang. Aku selalu ingin pulang, tapi tidak dengan kenyataan yang seperti ini. Aku berlari keluar pagar, kutinggalkan tasku tersender di tembok dekat pintu. Aku berlari, membiarkan dadaku, nafasku, isakku bercampur jadi satu. Aku tidak tahu kemana kaki ini melangkah, hujan ini masih berguyur deras membasahi tubuhku, rambutku, wajahku. Air mata dan hujan bercampur jadi satu di wajah ini. Kau tahu bagaimana rasanya menangis dengan keadaan seperti ini? Apakah kau pikir kau tenang dengan hujan ini, dan lega? Tidak bagiku. Aku sakit, benar-benar sakit. Aku butuh mereka yang tahu apa yang terjadi padaku, aku butuh payung yang menutupiku dari jarum-jarum air ini, aku butuh pelukan untuk hangatkan hatiku yang dingin, aku butuh seseorang membisikkan sesuatu yang buatku sadar bahwa aku sedang dalam cobaan. Dan hal paling menyakitkan dalam berharap adalah, kau hanya bisa membayangkannya, dan terjadi tidak terjadinya harapan itu, kau hanya bisa menerima. Tidakkah hidup terlalu sulit? Aku berhenti dari lariku, aku tidak tahu persis dimana aku berada, air hujan ini benar-benar menutup semua yang ada didepannya. Aku terdiam, membayangkan diriku yang bahagia. Menyakitkan sekali membayangkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang terjadi sebenarnya. Aku sadar, apa yang kubayangkan seakan cerminan diriku dari bayangan. Bayangan adalah semu, bohong, pantulan bias yang sempurna. Dan aku melihat diriku yang jauh berbeda dengan diriku yang sebenarnya. Aku benar-benar berantakan, aku tidak tahu harus kutaruh mana lingsutan kekesalahn, emarah, benci, dan takut ini, aku tidak tahu harus kemana lagi kaki ini berlari, aku tidak tahu harus kepada siapa lagi aku bersandar. Orang yang kupercaya telah jauh, jauh dari diriku yang berdiri disini. Aku butuh mereka.. Sangat butuh..

Mask

Selasa, 08 November 2011

Udara tak sedingin yang kukira. Mantel buluku tak mampu melindungi tubuhku yang terbuka. Laju kereta kuda buatku bosan duduk di kursi empuk hingga menunggu tiba di acara. Ibuku hanya bisa sesekali meilirikku tanpa bicara. Dan sejujurnya akupun tak segan-segan harus bertanya mengapa. Aku bosan bicara. Membuang waktu. Begitulah aku..

Sinar lampu mulai menghiasi jendela-jendela kereta. Dan yang paling indah, sebuah istana megah berdiri tak jauh dari tempat keretaku berjalan. Suara langkah kaki kuda makin cepat. Dan anehnya, jantungku mulai memburu. Aku tak pernah suka pesta. Aku benci berdandan. Memakai gaun panjang dan sepatu indah yang hiasi kakiku. Tapi ini pesta istimewa. Keluargaku diundang acara perayaan putra sulung keluarga istana. Ayahku adalah perdana menteri jadi tak heran aku haru diundang di acara kerajaan ini. Acara pertunangan sang Pangeran. Aku tak begitu peduli. Rupanya rasa tidak sukaku pada pesta diketahui ibuku. Ia membantuku penggunakan gaunku yang sejujurnya, memang indah dan mewah.

"Kau cantik." Kata ibuku memandangku lewat cermin. Ku pandang wajahnya hingga tubuhku yang berselimut gaun satinku. Aku hanya bisa menggeleng, tidak setuju.
"Nikmatilah malam ini sayang. Acara ini istimewa."
"Aku tak pernah bisa beradaptasi dengan hal semacam ini." Kataku mengingatkan.
"Hanya malam ini saja." Kata ibuku memohon. Aku hanya diam. Ia memberiku sebuah topeng berhias manik-manik indah. Bening dan mengkilat. Kata ibu, warna ini cocok dengan warna mataku. Ini lebih baik. Setidaknya, ada sesuatu yang bisa menutupi wajahku. Dan baiknya, ini memang pesta topeng. Benar-benar membosankan.
Kereta tiba di depan pintu istana, aku dan ibu turun dengan perlahan. Ibuku tersenyum padaku dan menuntunku berjalan memasuki aula. Ketika pintu terbuka lebar, aku hanya bisa mengambil nafas panjang. Banyak orang berbincang, tertawa, minum dan memamerkan oksesori mereka. Tapi sesekali aku sadar beberapa diantara mereka memandang ke arah kami. Entah apa yang dilihat mereka, tapi aku harap bukan Aku.
"Bisa kutinggal sebentar kan? Ibu ingin bicara dengan kenalan ibu." Kata ibuku tiba-tiba,
"Ya. Tentu." Kataku.
"Baiklah. Nikmati sebisamu." Kata ibuku dan ia berpaling menjauh.

Aku mulai berjalan. Kakiku gugub mencari tempat nyaman untuk diduduki. Ketika aku menemukan kursi kosong dekat balkon, kulihat seseorang berdiri sendiri disana. Seorang lelaki seperti sedang memandang sesuatu. Rasa lelahku untuk duduk hilang, ingin rasanya menemuinya dan melihat apa yang dilihatnya. Kaki ini rupanya bergerak tanpa aku harus menyuruhnya. Ketika aku sampai di balkon, ia sedang memandang ke langit diatas. Ia memakai topeng hitam perak dengan ukiran emas. Ia menoleh padaku, aku sedikit terkejut. Pandangan matanya hitam, misterius. Aku tetap diam di tempat. Ini salahku mengganggu ia sendiri.
"Maaf." Kataku seraya menelan ludah.
"Apa aku mengenalmu?." Katanya.
"Tidak. " Aku memutuskan omonganku. Ia menunggu.
"Maaf. Ini tidak sopan, aku tahu. Maaf." Kataku dan mulai berbalik meninggalkannya. Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku begitu gugub?. Aku bahkan tak berani menoleh padanya.
"Tunggu." Aku terkesiap diam ditempat. Hatiku mulai gugub. Ia bicara lagi.
"Kau tidak menggangu. Aku hanya sedang melihat bintang." Aku tetap diam dan tak membalikkan tubuhku padanya.
"Apa kau salah satu diantara tamu?." Aku mengambil nafas, dan berbalik padanya.
"Ya." Dia memandang mataku lama sekali. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini, atau bisa dibilang, aku akan langusng membuang muka jika ada seseorang menatapku sebegitu rupanya. Tapi aku tak ada niat membuang muka. Akupun memandang mata hitam itu, mata yg bening diantara batas-batas kelopak topengnya. Rupanya keheningan ini membuatnya sadar lebih dahulu dari aku.
"Apa kau bosan dengan suasana pesta ini?." Katanya seperti mengoreksi. Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan itu.
"Maaf, aku memang tidak begitu suka dengan hal semacam ini."
"Oh. Bisa kulihat itu." Katanya seraya tersenyum.
"Kalau kau tak keberatan, mungkin kau mau melihat pemandangan dari sini." Katanya lagi seraya menatap langit luas diatas. Aku melihat arah yang ia lihat. Langit luas dan hamparan bintang terbantang indah diatas kita, seakan-akan karpet hitam menutup kami. Indah.. Luas..
“Aku belum pernah melihat bintang seindah ini.” Kataku memuji. Lelaki itu memandangku.
“Kupikir, diluar istana kau bisa melihat yang jauh lebih indah dari ini.” Katanya dengan tertawa.
“Ya, tapi singguh...” Aku berjalan maju manuju bibir balkon dan tetap memandang langit. “Ini sungguh indah.” Aku tidak menolehkan wajahku menatap lelaki dibelakangku. Aku benar-benar menikmati suasana ini.
Lama dalam keheningan..
“Aku tidak pernah menyetujui pertunangan ini.” Kata lelaki disebelahku, nada suaranya menerawang. Aku menolehkan muka padanya. Terheran-heran dengan apa yang ia ucap. Ia membalikkan wajah dan menatapku.
“Ini adalah acara pertunanganku.” Aku spontan menghindar darinya. Jantungku berdegub kencang, rasanya ingin lari dari hadapannya.
“Kau Pangeran.” Aku berkata pelan, hampir seperti bisikan. Ia tetap diam.
“Sejujurnya, gadis itu sangat cantik. Dia adalah keluarga kerajaan dari negeri seberang. Ia putri bangsawan, dia baik pada semua orang, awal aku bertemu dengannya. Aku pikir ia adalah malaikat yang diturunkah Tuhan. Dia amat.. Sempurna.” Aku menunggu.
“Tapi, aku tidak bisa mencintainya. Kau pun pasti berpikir ingin menikahi orang yang kau cinta kan?.” Katanya, dan ia memandangku. “Apa aku menakutimu?”
“Mungkin.” Kataku gugub. “Kau mungkin harus kembali memakaikan cincin di jari tunanganmu, sebelum ada seseorang tahu kau bersama orang lain disini. Maafkan aku.” Aku berjalan menjauhinya. Perasaan bersalah campur sedih menggerautiku. Tunggu, Sedih?.
Aku meninggalkan ia berdiri mematung. Sungguh aku tidak tahu apa yang telah kupikirkan. Kata-kata itu melantur begitu saja dari mulutku. Mungkin tidak sopan, tapi aku tahu aku sudah berbuat benar. Atau, aku yang salah?. Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyadari bahwa ia adalah seorang Pangeran. Aku terhenti dari jalanku, sesuatu membendung mataku...
“Siera! Oh tuhan. Darimana saja kau?.” Ibuku terhuyun-huyun mendatangiku.
“Maaf, aku terlalu jauh berkeliling. Ibu, kau tak apa-apa?.” Kataku.
“Yah, tentu. Tidak sayang, ibu pikir kau melarikan diri karena....” Aku tersenyum.
“Kau menangis?.” Kata ibu lagi dengan pandangan mengoreksi. Aku terkejut, Menangis?
“Oh, tidak Bu. Aku tidak apa-apa.” Kataku meyakinkan.
“Baiklah.” Tampaknya ibu tidak yakin.
“Sebenarnya, para pengawal sedang berkeliling dengan gelisah. Dan sejujurnya, ibu sangat yakin acara ini seharusnya sudah daritadi dimulai. Tapi melihat keadaan, mungkin sang pangeran melarikan diri dari pertunangan. Ibu barusan mendengar bisik-bisik bahwa sang putri sedang cemas karena calon tunangannya hilang.” Aku terdiam.
“Bisakah kita pulang sekarang?.” Kataku memohon. Ibu spontan memandangku kaget.
“Tapi acara ini belum berakhir..”
“Baiklah aku saja yang pulang. Ibu tidak keberatan kan jika disini sendirian? Sungguh bu, ada yang harus aku lakukan.” Kataku. Jujur, aku begitu bodoh hingga aku cengeng begini. Tapi aku benar-benar ingin pulang. Ibuku tetap diam.
“Baiklah. Pulanglah. Bawa antar jemput kita, lalu suruh kembali..”
“Tidak bu, aku pulang sendiri saja. Sungguh aku tidak apa-apa. Aku membawa mantel. Ibu tak perlu khawatir.” Ibuku diam. Tapi aku sudah memasang tampang tidak betah sehingga ibuku mengambil nafas dan akhirnya mengangguk.
“Trims bu.” Aku segera pergi tanpa menoleh pada ibuku lagi. Dan ketika aku sadar aku jauh dari istana, tanpa aku harus aku memulai, air mata ini jatuh..

Thank You..

Jumat, 09 September 2011



“Aku tahu aku akan masuk neraka karena diriku yang sebenarnya.” Ujarnya dalam raut muka tanpa ekspresi. Aku menoleh dan menatap wajahnya dari samping. Lalu kembali menatap depan lagi.

“Mustahil orang sepertimu masuk neraka, terkadang orang yang buruk sekalipun menganggap mereka pantas hilang dari dunia ini. Tapi masih ada yang membutuhkanmu disini, seburuknya dirimu, kau berarti bagi orang lain.” Kataku. Dia tertawa kecil.

“Kau tahu apa ketakutanku selama ini?.” Katanya. Aku menoleh padanya lalu menggelengkan kepala.

“Sejujurnya, aku tidak takut dikucilkan, merasa dibuang atau dilecehkan karena diriku ini, aku merasa pantas diperlakukan begitu..”

“Lalu?.” Dia mengambil nafas panjang lalu tersenyum.

“Aku takut mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, mereka yang mengharap lebih dariku.” Dia berkata lirih. Aku terdiam..


-PAP-


Kau tahu bagimana menjadi orang paling beruntung didunia? Beruntung bukan hanya karena kau mendapat kekasih yang baik, tampan, cantik, sempurna. Atau orang tua yang kaya yang bisa memberimu apapun yang kau mau hanya dengan menunjuk jarimu saja. Atau kepintaran tiada tara, kau memiliki ratusan piala hasil dari kecerdasanmu, kau memiliki kepaindaian yang sempurna. Bahkan paras yang bisa membuat semua orang tertunduk dengan kesempurnaanmu. Tidak.. itu bukan “keberuntungan”, itu adalah pemberian.
Tuhan memberi itu semua untuk bisa dibandingkan dengan pemberian orang lain yang kurang dari kita. Terkadang orang-orang yang memiliki itu semua orang yang merasa lebih tinggi dari orang lain. Orang yang tak perlu memandang cerminan mata orang lain selain dirinya.



“Kamu tau apa yang aku mau dari Ayahku?.” Ujarnya dalam genangan air mata.

“Aku cuma ingin dia mengerti kami disini. Aku, mama, adek. Kami masih disini, kami masih menyayangi dia..” Aku meneteskan air mata. Aku tahu dia rapuh, begitu juga aku. Kami sama, dunia ini kadang tidak adil bagi orang seperti kami.

“Kenapa harus kita ya?.” Kataku setengah tertawa. Dia menatapku lalu menyentuh tanganku, matanya merah dan berlinang air mata.

“Karena ini bisa membuat kita kuat. Hanya beberapa orang yang bisa bertahan merasakan ini. Kita diberi pelajaran sebelum melewati ujian yang lebih berat nanti. Itu alasan mereka berbeda dengan kita.” Katanya. Aku tahu, aku memang tidak sendiri. Masih ada dia yang menangis didepanku, masih ada anak lain yang juga merasakan hal yang sama. Mereka melampiaskan amarah mereka pada hal yang diluar dugaan mereka. Itu hanya karena mereka kurang diperhatikan. Dunia ini terlalu beragam bagi penghuninya.. khususnya mereka..



-TOS-



Aku sangat beruntung. Lebih beruntung dari mereka-mereka yang memiliki kesempurnaan diatasku. Aku beruntung masih bisa melihat dan belajar dari kehidupan orang lain. Aku beruntung masih bisa menjadi pundak tangis mereka, bahkan terkadang menjadi pundak tangis bagi diriku sendiri. Bukankah itu semua bertujuan untuk membuat kita belajar, menghargai dan berpegang tangan dengan mereka yang kurang dari kita? Tidakkah seseorang mengira, bahwa dibalik senyumnya, tawanya, dia memiliki sesuatu yang ditahan dalam hatinya?





“Semakin berat ujian diberikan pada Tuhan, maka semakin kuatlah kamu dari mereka-mereka yang lain. Bukankah begitu?.” Katanya sembari menangis, nada suaranya ditekan, dia menepuk pundakku dengan kuat. Aku tahu dia berupaya untuk membuatku bangun, membuatku bertahan. Aku masih memeluknya. Erat sekali, tanganku yang lebam kupandang dari mataku yang berlapis air mata, dia memelukku lebih erat. Seakan mencoba menopang diriku yang hampir jatuh.

“Aku memang tidak bisa apa-apa untukmu. Aku minta maaf.. tapi jangan lukai dirimu lagi.. tolong..” Katanya yang kini mulai menangis sama sepertiku. Aku merasakan air matanya membasahi rambutku. Aku merasakan tubuhnya bergetar karena isak tangis. Temanku yang satunya lagi memelukku dari punggung yang lain, air mataku mulai berkurang. Saat itu kami berada tepat diluar rumahku. Pelukan konyol kami terasa sangat memalukan, memalukan bagi orang yang melihat kami. Tapi tidak bagiku, sekali lagi.. aku beruntung memiliki mereka yang siap menjadi tongkatku ketika aku jatuh.. Terima kasih..




-INS&MBH-



Satu hal yang aku tahu, dan aku yakin mereka yang lain juga percaya hal ini. “kegelapan tidak tak selamanya abadi.” Selalu ada sinar walau diujung sana. Seperti halnya Tuhan menciptakan 12 jam pagi dan 12 jam malam, seperti halnya Tuhan membiarkan kami tetap ada walau posisi kami begini, seperti halnya lautan biru yang luas dan luar angkasa yang gelap sama-sama menyimpan ribuan misteri.




“Kau tau Romeo memiliki cinta pertama sebelum bertemu Juliet?.” Kataku tertawa. Kami sedang bersepeda sambil hujan-hujan. Kami masih memakai seragam sekolah. Derasnya air hujan membuat suaraku terpedam aneh.

“Aku tidak tahu Romeo punya cinta pertama.” Katanya setengah berteriak. Suara kami terdengar kecil sekali. Aku menggenjot trali sepeda, dia menyusulku dari belakang. Kami sudah berjejer sekarang.

“Shaskspare tidak pernah membahasnya. Gulungan kertas kisah pertama romeo ditemukan ketika dramanya sudah selesai dipentaskan.” Kataku.

“Kenapa begitu?.” Katanya penasaran. Aku berpikir sejenak, butiran air hujan mulai menipis. Kulihat awan diatas.

“Kalau semua tau Romeo punya cinta pertama. Kurasa kisah Romeo&Juliet bukan kisah cinta romantis sepanjang masa.” Kataku. Dia terdiam, berpikir sejenak.

“Apa yang terjadi dengan cinta pertama Romeo?.” Katanya. Aku mengangkat pundak.

“Romeo meninggalkan dia begitu saja setelah bertemu Juliet.” Kataku singkat.

“Segampang itu?.” Katanya terkejut. Aku tertawa.

“Apa yang kau harapkan dari Romeo? Kesempurnaan seorang Adam?.” Dia tersenyum.

“Jangan berpuitis lagi please..” Katanya menyindir. Aku tertawa lagi.

“Aku pikir dia memilih berselingkuh lalu mati seperti kisah Lady Diana dan pangeran Charles.” Katanya beropini. Aku terdiam.

“Kau pikir Lady Diana tahu kisah cinta pertama Romeo?.” Tanyaku padanya.

“Entahlah.. mungkin saja. Kalau dia cinta sejati Charles, dia tidak akan mati sekarang. Tapi justru Charles masih tetap bersama Camelia. ” Katanya menebak. Aku terdiam.

“Kalau aku jadi Lady Diana, aku memilih pergi dari hidup pangeran Charles, kabur lalu tidak diketahui keberadaannya dimana. Memilih untuk tidak usah dibicarakan seperti Georgina yang kisahnya disimpan rapi Shaskspare hingga seseorang menemukannya.” Kataku.

“Georgina?.” Katanya sembari menoleh padaku.

“Dia cinta pertama Romeo..” Kataku tersenyum.

-SWD-

Hitam Putih


Kau tau? Jika aku adalah manusia satu-satunya didunia ini, maka aku akan memilih untuk hidup tanpa apapun. Jika aku adalah makhluk terakhir yang ada didunia ini, aku akan memilih mati bahkan berharap untuk tak pernah dihidupkan lagi. Tapi bagaimana dengan mereka? Soe Gok Gie, Kitou Aya, Anne Frank bahkan Lady Diana dan mereka-mereka yang lain. Mereka adalah manusia yang hidup dengan mimpi yang buta, mereka menutup mata sebelum apa yang mereka inginkan tercapai. Bagaimana dengan mereka yang hidup dengan penuh kebahagiaan? Dan bagaimana dengan mereka-mereka yang hidup kebalikan dari semua itu? Pernahkah kau sadari bahwa jika kau bercermin, wajahmu terlihat baik-baik saja, tapi bagaimana dengan wajahmu yang terpantulkan? Apakah dia juga baik-baik saja?

“Aku tau bagaimana diriku yang sekarang.” Ujarnya, sembari tersenyum padaku.
“Setidaknya kau tetap ingin ke Jepang kan?.” Ujarku tertawa kecil.
“Aku sudah janji pada ibuku. Aku akan menepatinya.” Katanya lirih. Aku mengangguk setuju.
“Menurutku, neraka adalah tempat orang-orang terbuang, orang-orang yang mati, orang-orang yang tenggelam di air mata mereka sendiri. Mungkin aku akan kesana suatu saat nanti.” Katanya tiba-tiba. Kami berdua terdiam. Aku meneguk kopiku lagi. Kami sudah duduk 2 jam dengan pembicaraan tanpa akhir. Dia bukan orang yang spesial untukku, dia sama denganku. Kami bertemu dengan kesamaan yang banyak. Itu yang membuat kami selalu bersama, dan terkadang kami merasa kembar.
“Aku takut.” Kataku sembari tersenyum. Dia menoleh padaku.
“Aku pernah bermimpi, tapi dulu.” Kataku lagi, kini aku benar-benar tertawa. Dia tersenyum lalu meneguk kopinya, aku tahu dia menunggu.
“Aku berada di sebuah panggung, aku melihat diriku yang lain sedang berbicara membacakan puisi. Tetapi para penonton tak memperdulikan aku yang sedang berbicara, aku melihat adegan itu dengan heran. Mengapa semua orang tak mendengarkanku? Lalu ketika aku mendekati diriku, aku menyadari, diriku yang membacakan puisi itu menangis.” Kataku. Dia mendengar ceritaku dengan alis mengkerut. Lalu aku melanjutkan ceritaku.
“Aku masih tak mengerti apa yang terjadi, lalu aku mendengar suaraku yang membacakan puisi. Entah mengapa, ketika aku tertidur pun, aku merasakan air mataku benar-benar jatuh. Aku yang melihat diriku membacakan puisi juga menangis. Tapi aku masih tak tahu apa yang dibacakan diriku di puisi itu. Aku benar-benar takut, bahkan sampai saat ini.”
“Lalu adegan itu terganti, kau tau? Seperti sebuah film. Lenyap begitu saja.” Kataku setengah tertawa. “Dan aku berdiri lagi ditempat yang sama, sebuah panggung, para penonton dan diriku yang lain. Tapi, adegan itu tak berwarna, Hitam Putih, tidak seperti yang sebelumnya. Diriku mulai membacakan puisi yang lain, aku menunggu. Aku melihat diriku yang lain membacakannya dengan bibir yang bergerak, tapi aku tak bisa mendengar satu kata pun. Aku tak tahu apa yang dibacakan diriku yang disana, hingga akhirnya aku menyadari. Semua penonton menangis, tapi diriku yang membacakan puisi tak meneskan air mata sedikitpun, sepertiku yang asli. Aku masih tak mengerti apa yang terjadi, karena aku tak mendengar apa yang kukatakan disana. Hingga akhirnya aku terbangun. Mataku sembab, aku merasakannya.” Kataku mengakhiri. Dia diam, ekspresinya datar. Aku berharap dia mengatakan sesuatu.
“Apa aku pantas untuk takut?.” Kataku.
“Apa aku pantas untuk bilang ‘tidak’?.” Katanya seraya tertawa. Aku tersenyum kecil.
“Banyak hal didunia ini yang belum kita tahu artinya, kau sendiri tau arti dari kata ‘cinta’?.” Katanya dengan suara menghina.
“Cinta itu buta.” Ujarku singkat. Dia tertawa.
“Hanya itu?.” Katanya dengan nada suara menghina.
“Well, Kahlil Gibran bilang, cinta adalah saat dimana kau mau berkorban demi rasa kasih sayangmu. Bella Swan bilang, cinta adalah mati, maksudnya kau rela memberi apapun demi cinta itu. Romeo bilang, cinta adalah anggur, kau akan mabuk jika sudah merasakannya. Dewi Lestari bilang, cinta adalah ketika kau merasa dia adalah belahan jiwamu. Lalu, bagaimana denganmu?.” Katanya memberi pentunjuk.
“Sejujurnya, aku lebih setuju dengan anggapan Kahlil. Cinta itu tak adil, jika memang kita bahagia ketika jatuh cinta, mengapa kita harus sakit di akhirnya?.”
“Entahlah, mungkin karena kita tak diharuskan menghabiskan waktu untuk lama-lama merasakan cinta.” Katanya nyeplos, aku tertawa.
Hey.. kita masih 16 tahun. Kau tak akan memperburuk masa mudamu dengan menangis di kamar seharian karena baru putus kan?.” Katanya melontarkan kata-kata itu dengan sejujur-jujurnya. Mungkin dia benar, buat apa menghabiskan waktu merasakan sakit jika sudah tahu akhirnya? Dia mengambil handphone di sak celana jinsnya, dia memencet beberapa tombol lalu mengantongi handphonenya lagi. Aku memerhatikan setiap gerak-geriknya. Lalu dia menatapku.
“APA?.” Katanya histeris. Aku terheran-heran. Ekspresinya seperti melihatku hantu.
Well, aku heran. Cobalah untuk sesekali PDKT sama perempuan. Itu yang sms tadi pacar kamu?.” Kataku. Ekspresinya antara marah dan tersinggung. Aku tertawa lalu meneguk kopinya yang tinggal sedikit.
“Kita tidak akan membicarakan ini lagi kan? Itu bukan pacarku, itu pembantuku.” Katanya mengingatkan. Aku mengangkat bahu. Dia meneguk kopinya lagi, aku mengalihkan pandanganku menuju pekarangan bunga. Begitu banyak warna dilapangan kecil itu, matahari seakan menyiram bunga-bunga itu dengan sinarnya. Mereka bergerak kesana kemari mengikuti arah angin. Entah mengapa aku merasa iri, dunia ini masih menyimpan sesuatu yang indah seperti mereka. Haruskah kita bersyukur? Tentu saja. Itu kata pertama yang terpikirkan dikepalaku. Mungkin yang dikatakan temanku ini benar, suatu hari dia pernah bilang, “Bukankah kita diberi semua ini bukan untuk kesia-siaan?.” Aku tersenyum kecil, aku merasa sedikit bersyukur aku masih bisa melihat ini semua.

“Jadi bagaimana dengan novelmu?.” Katanya membuyarkan lamunanku.
“Sudah ada 8 buku.” Kataku bodoh.
“Dan tidak kau terbitkan?.” Katanya sedikit tidak percaya. Sekitar 12 detik aku terdiam sebelum menjawab pertanyaannya.
“Bukan saatnya mereka dipublikasikan.” Kataku polos. Dia memasang tampang tak percaya, dia menggelengkan kepalanya. Aku tahu apa yang akan dia jawab.
“8 Novel dan salah satunya sudah kau buat lebih dari 3 tahun! Apa yang kau pikirkan?!.” Rupanya perkiraanku benar. Beberapa hal yang kupikir sulit untuk kumengerti, dan herannya, orang-orang tertentu yang mengerti diriku juga merasakannya. Pertama, tawaran sekolah di Jakarta gratis. Jelas aku menolak, jika bukan karena orang tua dan sahabat mungkin aku sudah terbang ke Jakarta sejak tahun ajaran baru di SMA. Kedua, biaya kuliah di tanggung jawab nenekku, orang tuaku benar-benar menolak mentah-mentah tawaran itu. Begitu juga denganku, buat apa aku meraup uang masa tua seorang nenek-nenek sedangkan aku masih bisa menabung sendiri? Tapi untuk masalah ini memang belum ada jalan keluarnya, aku harap aku bisa mengatur itu sendiri mengingat aku akan kuliah jauh dari orang tua. Bibiku adalah dosen di UGM, dan aku mulai membuka diri untuk masuk disana, seperti kata ayahku “Niat dulu, banyak-banyak berdoa. Itu kan pilihanmu sendiri nak.”. Yah, aku pasti bisa menghadapinya. Dan ketiga, menjadi penulis. Aku hanya bisa tertawa jika membicarakan masalah ini.

“Aku merasa konyol jika harus menerbitkannya.” Kataku tertawa renyah. Karena kopiku sudah habis, dan kurasanya cangkir miliknya juga sudah kosong. Maka aku memutuskan untuk mengisi cangkir kami.
“Mau kopi lagi?.” Kataku menawarkan.
“Enggak.” Katanya sembari memejamkan matanya. Aku bediri lalu masuk ke dalam rumah. Adik-adikku sedang menonton tv dan ibuku sedang menulis sesuatu di meja makan. Beliau membaca kata perkata begitu detailnya sampai alisnya mengkerut sempurna seakan terlihat segaris. Kaca matanya yang persegi panjangnya yang melekat di tulang hidungnya begitu dekat jaraknya dengan tulisan di kertas.
“Buk, jangan kecapekan ya?.” Ujarku mengingatkan. Ibu tidak menjawab, aku tahu bahwa jika sudah begitu ibu pasti tak peduli dengan apapun. Bahkan mungkin jika terjadi gempa ibu akan terus menulis. Ini adalah sifat yang diturunkan secara sempurna padaku. Aku kembali teras dan duduk di kursiku lagi. Dia diam dengan tatapan tak tahu arah, matanya kosong. Jika bukan aku, mungkin orang lain akan mengira dia kesurupan atau sebangsanya. Tapi aku tahu dia sedang berpikir, bukan melamun. Kami sudah berteman sekitar 3 tahun, kami bertemu pertama kali karena sebuah lagu. Ya, kami bertemu karena sebuah lagu. Judulnya Nobody’s Home dari penyanyi Avril Lavigne. Lagu itu sejak pertama kali kudengar, adalah lagu yang paling cocok untukku. Dan ketika aku mendengar lagu itu lewat handset, dia duduk disebelahku lalu melihat layar hpku dan membaca judul lagu yang kudengar. Aku tidak melihat reaksi dia ketika itu, aku sedang menikmati lagu sembari melihat orang lalu lalang didepan toko. Dan ketika lagu itu habis, dia menepuk pundakku lalu tersenyum dan berkata, “Maaf, aku kira selera musik mu buruk, ternyata aku salah.”. Karena kalimat itu, kami berteman selama 3 tahun. Kami punya selera, mimpi, dan harapan yang sama. Walau cita-cita kami berbeda, tapi kami punya keyakinan bahwa kami bisa mewujudkannya.

Dia ingin menjadi seorang mangaka, dan aku ingin menjadi seorang penulis. Dia adalah sahabat laki-lakiku. Sudah lebih dari sepuluh orang bilang kami adalah sepasang kekasih, aku sama sekali tidak setuju dan tentu saja aku menyangkalnya, kami bukanlah sepasang kekasih. Kau bisa bayangkan bagaimana Sir Athur Conan Doyle dan Mr. Watson, atau gampangnya, seorang manusia dan hewan peliharaannya. Itulah kami, kami saling membutuhkan. Aku mungkin bisa menangis di depan teman perempuanku, tapi mereka hanya bisa memeluk dan menepuk pundakku lalu memberi kata semangat. Tapi dia, dia tidak memeluk atau menepuk pundakku. Tapi dia memberi gambaran bahwa yang aku alami bukan apa-apa jika dibandingkan masalah orang lain, kata-kata itu yang buatku mengangkat kepala dan berhenti menangis. Dia memberi kata-kata yang bisa buatku bangun dari keterpurukan dan tersenyum bahkan tertawa. Banyak hal yang tak bisa kita deskripsikan didunia ini, itulah yang terjadi pada kami. Kami tak tahu banyak tentang diri kita.

Kami cukup berdiam lama sekarang. Dan akhirnya dia berhenti dari lamunannya lagi, lalu berkata.
“Eh, apa kabar sama orang tuamu?.” Ujarnya penasaran. Aku melengkungkan bibirku. Jelas aku tak ingin membahas hal semacam ini. Tapi toh aku mau membicarakannya, anak muda memang selalu punya alasan.
“Mereka lebih baik.” Kataku. Dia menganggukkan kepala, lalu menungguku mengucapkan sesuatu.
Well, aku tak berani beranggapan mereka benar-benar sudah akur.” Kataku.
“Kau tak mau bicara pada ayahmu?.” Katanya mengoreksi. Lama bagiku untuk menjawab.
“Tidak.” Kataku singkat. Dia menghela nafas.
“Kau orang yang parah.” Katanya seraya membuang muka. Aku sedikit mengkerutkan dahi ketika dia bicara begitu.
“Terkadang diam adalah pilihan terbaik dalam suatu masalah.” Kataku menyimpulkan.
“Orang tuamu akan tetap begitu tapi kau tetap memilih diam?.” Katanya menekan. Aku mulai mengatur posisi dudukku, lututku kupeluk dengan kedua tanganku.
“Orang dewasa memang tak tahu apa yang dipikirkan anak kecil. Tapi justru karena anak kecil lah mereka bisa mengoreksi diri mereka. Kau anak mereka, begitu juga adik-adikmu. Kau seorang kakak. Kau terlalu lama berdiam diri.” Katanya sedikit menekan pada suaranya. Aku masih terdiam dalam posisiku. Bagiku masalah keluargaku bukan topik hangat untuk dibicarakan a,ntara aku dan dia. Aku sudah terlalu lama memendam rasa tertekan, takut, sedih. Itu alasan mengapa aku tertutup pada orang-orang. Aku lebih suka berdiam diri di luar ruamh daripada kumpul di mall bersama teman-teman, aku lebih suka sendirian. Jika aku melihat diriku di cermin, aku merasa Hitam Putih. Aku merasa kusam dan tak berwarna.
“Dunia ini penuh dengan kebohongan. Aku tak pernah setuju jika ada seseorang bilang dia bahagia dengan apa yang dimilikinya. Mereka egois. Mereka tak memiliki hati. Bagaimana dengan nasib orang-orang yang tak punya diluar sana? Mereka butuh makan, mereka butuh tempat tinggal, mereka butuh uang. Tapi mereka bahagia, walau hanya mengais di tempat sampah, setidaknya mereka bisa makan bersama dengan keluarga mereka, hidup mereka lengkap.” Ujarku.
“Dan anehnya, aku benar-benar iri dengan orang-orang yang seperti itu.” Kataku setengah tertawa.
“Kita tidak hidup di hutan. Hutan lebih buruk, kau akan melihat keluargamu dimakan oleh pemangsa. Atau bahkan kau akan melihat keluargamu memakan hewan-hewan lainnya. Mereka semua berputar, itulah hidup.” Ujarnya. Aku terdiam dan merasakan air mata membendung mataku.
“Cobalah untuk sedikit berpikir apa yang akan terjadi nanti. Kita semua berjuang, aku berjuang dan kau juga. Jika kau menulis beribu-ribu kata di setiap lembar untuk membuang semua emosimu, untuk apa? Kau ingin menangis di ceritamu? Kau tak akan pernah bahagia. Cobalah untuk sedikit saja berpikir untuk dirimu sendiri. Apa yang kau lakukan sekarang sama dengan menyiksa dirimu.” Air mataku turun perlahan-lahan. Wajahnya tidak menunjukkan rasa kasihan atau simpati, justru dia memasang tampang menghina.
“Ibarat, kau sudah terlalu lama tertidur. Apa aku perlu menyiramkan air untuk membuatmu bangun?.” Katanya. Bibirku sedikit melengkungkan senyuman. Matahari mulai menampakkan ketidak hadirannya, siang pun berganti malam. Kami sudah mengobrol sekitar 2 jam lebih. Awan mulai hitam pekat, titik-titik sinar bintang berhias dilangit. Bulan melingkar tenang seakan tertidur. Dia mulai beranjak dari duduknya, aku menyusul untuk berdiri lalu merapikan rambutku dan wajahku. Tidak banyak air mata hari ini. Aku bersyukur tak harus masuk kamar mandi dan cuci muka lalu mendengar adik-adikku bilang mataku sembab, sangat memalukan memamerkan tangis dimata orang banyak. Dia memakai sepatunya lalu mengambil kunci motor di sakunya.
“Ibumu?.” Katanya sembari menunjuk pintu rumahku.
“Dia mungkin sedang sholat.” Kataku singkat. Jika dia ijin pulang pada ibuku, ibu pasti berkomen untuk menyuruhnya sesekali menginap disini. Kami memang sudah seperti saudara. Dia berjalan menuju motornya, lalu memasukkan lidah kunci pada lubang kunci motor lalu keluar dari pagar rumahku. Dia memakai helmnya lalu membenarkan spion motor dan memedal gas.
“Ada kata terakhir?.” Ucapnya. Aku selalu didesakkan dengan kata-kata ini. Ini seperti sebuah janji, jika kau mengatakan apapun yang ada didalam isi hatimu, kau harus lakukan sesuatu agar sesuatu itu tak menjanggal lagi.
“Hmmm.. I want to be free?.” Kataku setengah tertawa.
“Sudah bosan.” Katanya berpikir. Aku berpikir lagi. Mataku mengarah pada langit berbintang di atas. Berharap ada sesuatu yang dapat memberiku masukan. Dan aku melihat semuanya didepan mataku, semua yang berwarna, langit, tanah, rumah-rumah, tumbuhan, dia bahkan aku. Kami semua berwarna. Tuhan benar-benar luar biasa membuat sesuatu seragam ini. Aku benar-benar buta.
“Aku ingin berwarna.” Kataku tersenyum. Dia tersenyum lalu mengangguk sekali lalu pergi bersama motornya menembus angin malam.

Gweelov Viantz : Story 2

Sabtu, 09 April 2011


Bulan bersinar terang, bulat dan putih keperakan. Tiada suara kecuali bisikan malam dari binatang kecil. Tapi ditempat lain, seorang wanita itu berjalan tergesa-gesa. Suara hentakan sepatu hak tingginya mengaung di lorong yang ia lewati. Wajahnya terlihat khawatir sekaligus takut. Wanita itu masih memakai pakaian tidur dan rambutnya yang merah menyala diikat buntut kuda dengan paksa.
“Nyonya, anaknya perempuan.” Sahut seorang gadis yang tiba-tiba dari belokan. Wanita itu menghela nafas.
“Biarkan ibunya menginap sebentar, lalu pulangkan dia kembali ke desanya.” Ujar wanita itu tegas.
“Tapi nyonya, bayi itu masih membutuhkan asi..”
“Aku adalah ibunya sekarang!.” Ujar wanita itu mengerang pada gadis itu. Gadis itu menunduk lalu pergi. Wanita itu kembali berjalan dengan cepat.

Rumah sebesar itu bukan tempat yang bagus untuk mencari kesunyian. Tiada rahasia dirumah itu. Semua pembantu dan pengawal sibuk dengan apa yang mereka lakukan. Para pembantu wanita mondar-mandir disekitar lorong. Wanita itu tetap berjalan, ia berhenti di pintu yang sedikit terbuka. Wanita itu menghela nafas, lalu membukanya perlahan. Ruangan itu sempit, penerangan hanya berasal dari 4 lilin yang mengitari sebuah kasur berkanopi yang ditiduri seorang wanita lemah yang setengah tertidur. Sulit dipercaya rumah semegah dan sebesar ini memiliki kamar seperti ini, lebih mirip kamar sapu. Wanita itu merintih, banyak pembantu yang mengitarinya, mengelap keringat di dahinya. Wanita itu berjalan perlahan menuju wanita lemah itu, semua pembantu menunduk seakan memberi hormat dan memberi jalan.
“Aku harap dia laki-laki, Charlotte.” Ujarnya tanpa belas kasihan. Wanita bernama Charlotte itu menolehkan kepalanya dengan perlahan dan memandang wanita itu. Dia tersenyum lalu menghela nafas.
“Aku lebih suka kalau dia perempuan.” Katanya seraya tersenyum. “Dia pasti cantik.” Ujarnya lagi.
“Aku rasa tidak.” Ujar wanita itu dengan sinis.
“Bersihkan bayi itu lalu tidurkan dia di kamarku!.” Ujarnya lagi pada para pembantu yang sedang memandikan seorang bayi kecil. Charlotte memasang tampang bingung.
“Apa yang kau lakukan Hellena?.” Ujarnya terkejut. Wanita bernama Hellena menatap matanya lagi.
“Perjanjian selesai, kau hanya melahirkan anak itu. Lalu dia akan menjadi milikku.” Ujarnya lalu berbalik pergi.
“Hey! Apa maksudmu!?.” Ujar Charlotte setengah berteriak. Hellena berhenti tepat sebelum dia keluar dari pintu. Ia diam lalu berbalik.
“Tinggalkan kami!.” Ujarnya kasar. Para pembantu bergegas menuruti.
“TIdak! Biarkan aku melihat putriku.” Ujar Charlotte. Hellena menatap Charlotte dengan alis mengkerut.
“Berikan bayi itu.” Ujarnya pada seorang wanita paruh baya yang menggendong bayi mungil dengan selimut putih satin. Bayi itu diserahkan perlahan-lahan pada Hellena. Para pembantu menutup pintu, lalu sunyi.
“Aku punya hak atas anak itu. Aku lah ibu yang melahirkannya.” Ujar Charlotte setengah menangis. Ekspresi Hellena datar seakan tak peduli.
“Anak ini adalah putri ayahnya. Akulah istri ayahnya sekarang. Perjanjian usai, ayahnya hanya ingin putri ini, bukan dirimu.” Ada penekanan pada kata “dirimu” ketika Hellena mengatakannya. Charlotte benar-benar lengah. Dia menarik nafas lalu mulai menggerakkan tubuhnya, kakinya yang telanjang menyentuh lantai yang dingin. Dia berjalan sempoyongan, Hellena tetap pada tempatnya. Charlotte lemah, dia berkeringat, tubuhnya masih langsing walau seusai melahirkan. Dia berdiri di depan Hellena. Mereka saling bertatapan. Air mata turun dari pelopok mata Charlotte. Dia mengangkat tangannya lalu mengelus pelan pipi bayi mungil itu. Jarinya yang berkeringat dan kotor bertemu dengan kulit putih mulus dari sang bayi.
“Bisakah aku bertemu dengannya lagi?.” Ujar Charlotte yang masih mengeluarkan air mata. Hellena lama diam. Lalu dia bicara pelan seperti bisikan.
“Akan lebih baik kalau dia tidak mengenalmu. Dia akan menjadi putri yang cantik, kaya, dan mempesona. Dia pasti akan kecewa mendengar bahwa dia lahir dari rahim wanita sepertimu.” Katanya tanpa perasaan. Charlotte memandang Hellena dengan tampang hina.
“Kau adalah perempuan busuk.” Ujarnya pelan. Hellena puas dengan ucapannya, dia berbalik menuju pintu. Meninggalkan Charlotte diam membatu. Ketika pintu berdecit terbuka, Hellena menoleh kembali pada Charlotte.
“Satu pesanku kakakku sayang.” Katanya dengan wajah bahagia. Charlotte memandangnya, matanya merah menahan marah dan tangis.
“Anakmu akan kuberi nama Gweelov, dan Viantz dari marga ayahnya. Gweelov adalah nama kuberi. Jangan khawatir, aku akan membuat anakmu cantik seperti dirimu. Tapi aku tak akan membuat dia buta akan cintanya, seperti kau buta pada cintamu pada suamiku. Anak ini..” Hellena mengecup lembut dahi bayi digendongannya.
“Akan mejadi putri yang dicintai semua lelaki di kota ini.” Katanya sembari tersenyum puas. Dia menutup pintu tanpa memandang Charlotte lagi. Diruangan sunyi dan sepi itu, terdengar isak tangis seorang wanita yang telah melahirkan seorang gadis paling rupawan di kota itu. Malam itu masih sunyi, bulan kini tertutup awan hitam. Wanita bernama Charlotte berjalan lemah menuju jendela kamarnya, dia memanjat dan berdiri di ambang jendela, rambutnya yang coklat legam, persis dengan rambut putrinya terbang lembut. Air mata terakhir keluar ketika wanita itu jatuh dari jendela.. Malam itu seakan tersihir, tak ada suara apapun.. Bulan kini muncul dibalik awan.

“Aku Gweelov Viantz,
Ibu pernah bilang padaku, “Percayalah, kau adalah putriku yang cantik. Kau akan menemukan banyak lelaki yang akan berbaris untuk menikahimu, kau akan bahagia.”. Bagiku, dunia terlalu sempurna untuk gadis sepertiku. Apa ada maksud dibalik ini?...”

Gweelov Viantz : Story 1.

Jumat, 08 April 2011


Dia menalikan sepatu hak tingginya dengan jarinya yang panjang. Kuteks merah maron menghiasi kuku-kukunya yang indah. Ketika ia selesai menalikan sepatu haknya dia mulai duduk tegak dan melihat pantulan wajahnya dari kaca. Rambutnya coklat legam seperti warna kawat yang digelung sedemikian rapi dan menawannya. Wajahnya lonjong sempurna. Matanya terlihat cantik dengan bulu mata lentik dan warna mata hijau bening. Bibirnya tipis indah, terbayang jika dia tersenyum maka semua yang melihatnya akan tersihir dengan kecantikannya.
“Kau siap?.” Kata wanita yang tiba-tiba datang dan sedang membawa nampan berisi beberapa lusin gelas berleher panjang dan serbet yang ia taruh di pundaknya. Gadis itu menarik nafas panjang lalu mentutul-tutulkan jarinya di bibirnya untuk memperbaiki lipstiknya.
“Kau cantik sekali.” Kata wanita itu lagi. Gadis itu berdiri dan memperbaiki lengkukan pada gaun merah gelapnya. Gaunnya tak berlengan dan tak memiliki kerah. Menampakan kulitnya yang putih yang amat serasi dengan warna gaunnya.
“Aku tahu.” Ucapnya muram. Dia berbalik dan keluar kamar dengan gaya jalannya yang lunglai.
Musik valtz berbunyi lembut ketika wanita itu berjalan menuruni tangga dengan jalannya yang glamour. Ruangan itu besar dan luas berbentuk persegi empat, jendela-jendela besar hampir menutupi setiap inci tembok ruangan, terlihat awan hitam malam yang menghias diluar. Dibawah dekat tangga, terdapat piano hitam tanpa pemain. Lantai ruangan itu berwarna emas, terdengar suara orang yang berdesing dengan mengobrol. Hampir seluruh pengunjung memperhatikan bagaimana gadis secantik itu turun dengan anggunnya di tangga. Dan anehnya, wanita cantik itu tidak meperlihatkan ketertarikan sedikitpun pada acara ini. Wajahnya yang indah bagai pualam tetap menampakkan ekspresi datar yang sempurna. Setelah salah satu sepatu haknya menyentuh lantai datar dia berjalan anggun menuju gerumbulan wanita bergaun glamor yang membawa gelas gin panjang. Salah satu gadis itu, memakai gaun hijau muda dengan rambut putih yang dibiarkan tergelombang indah hingga pinggulnya.
“Kau selalu menjadi yang terakhir, Gweelov.” Katanya seraya memberi segelas gin berwarna madu padanya.
Gadis itu tak menjawab, dia diam lalu meneguk lembut lingkaran gelas panjang itu. Musik valtz kini berganti dengan music lembut gaya barat yang dimainkan dengan piano. Suara piano menggema indah, semua terdengar sempurna.
“Aku menunggu Lionel.” Ucap gadis berambut putih itu tiba-tiba. Matanya sedang mencari sesuatu dari gerumbulan orang. Gweelov meneguk kembali ginnya.
“Dia tak datang.” Kata Gweelov tiba-tiba. Gadis berambut putih melihatnya dengan tidak percaya.
“Bagaimana kau tahu?.” Katanya. Gweelov tidak menjawab. Dia memandang kosong lantai dansa didepannya.
“Mau berdansa denganku?.” Seorang lelaki menjulurkan tangannya dihadapan Gweelov untuk mengajaknya berdansa. Gweelov meneguk kembali ginnya, lalu bicara.
“Maaf, kau mungkin bisa mengajak temanku.” Gweelov mengambil tangan milik gadis berambut putih itu dan menaruhnya di tangan lelaki itu.
“Berdansalah dengannya Lucy…” Gweelov mengambil gin milik Lucy, “Kau membutuhkannya lebih dari aku.” Kata Gweelov memberitahu. Lucy menyetujui saran Gweelov dengan ekspresi masih tidak percaya. Lalu pasangan itu berjalan menuju lantai dansa dan mulai menari anggun.
Gweelov tetap pada tempatnya. Kedua tangannya menggenggam gelas gin yang panjang. Setelah sekian lama dia berdiri diam, dia berbalik lalu membuang gin madu di pot bunga mawar yang besar dibelakang gerombolan orang sedang mengobrol. Dia berjalan cepat, menimbulkan bunyi sepatu haknya.
Gadis itu berjalan menuju ruang gantinya lagi. Ketika dia membuka pintu, wanita yang tadi membawa minuman dan serbet sedang menyapu memebersihkan tempat itu.
“Kenapa kembali?.” Katanya terkejut. Gweelov menarik sofa berkaki dan mulai berkaca. Dia mengambil sehelai tisu lalu membersihkan bibirnya dengan kasar, bekas lipstiknya berantakan dibagian pipinya. Dia membersihkan perona merah pada pipinya dan membersihkan mascara serta aye shadow dengan kasar. Wajahnya yang tadinya sempurna berubah menjadi berantakan.
“Apa yang kau lakukan?.” Kata wanita itu.
“Bantu aku mengganti baju.” Katanya . Wanita itu menuruti Gweelov dan menbantunya mengganti baju. Setelah Gweelov mengganti baju dengan haun putih pualam sederhana, wanita tadi datang membawa ember beralas rendah berwarna perak kecil dan handuk putih lalu ditaruhkan dihadapan Gweelov. Gweelov mengambil handuk itu lalu membersihkan wajahnya.
“ Aku tidak pernah menyukai ini Barbara.” Katanya. Kini bibirnya mulai bersih dari bekas lipstick.
“Berhati-hatilah sedikit, ini air panas. Bisa melukai wajahmu.” Ujar Barbara yang dengan kasar mengambil handuk ditangan Gweelov lalu memerasnya agar air panas bisa sedikit hangat. Gweelov tidak marah atau tersinggung, dia masih memandang wajahnya di kaca.
“Seharusnya kau tahu, sebenarnya tak ada yang peduli jika aku menjadi jelek dengan air panas itu.” Barbara terpaku dengan ucapannya. Gweelov tetap memandang kaca dengan muram.
“Aku hanya putri kecil yang kaya dan tersesat diantara emas yang dilimpahkan padaku.” Kata Gweelov. Barbara mengulurkan tangannya lalu mengusap lembut di wajah Gweeloh yang cantik.
“Itu tak akan mengubah apapun. Kau akan tetap menjadi putri kecil yang kaya dan apapun yang kau mau akan terwujud dengan sendirinya.” Ujar Barbara. Seuasai wajah Gweelov bersih, Barbara melepas gulungan rambut Gweelov dan menyisirkannya dengan lembut. Gweelov masih menatap wajahnya di kaca, rambutnya kini rapi, panjang, bergelombang, coklat legam.
"Lihat? Kau cantik. Dan kau akan tetap cantik, lebih cantik dari apapun. Mengerti?." Ucap Barbara. Barbara berjalan keluar kamar meninggalkan Gweelov sendirian.
Gweelov tetap diam memandang wajahnya di kaca. Tak ada yang tahu apa maksud hatinya. Dia akan tetap diam..

“Aku Gweelov Viantz,
Berlian diciptakan dengan dipoles, tidak bagi emas. Berlian hanya bersinar, bergemerlap, dan indah. Aku ingin menjadi emas, aku ingin jadi diriku sendiri...”

Ara Kisah Satu.

Rabu, 16 Maret 2011

Siang itu ketika aku dan (sebut aja) Ara, kami adalah sepasang sahabat. Lebih jelasnya sahabat yang baru ketemu di SMA. Dia laki-laki, terdengar aneh memang bahwa aku berteman dekat dengan anak laki-laki, apalagi sahabat. Waktu itu kami sedang makan siang di warung mie ayam setelah pulang sekolah.

Entah kenapa, terkadang aku memiliki insting berbeda tentang Ara. Kadang aku berpikir, dia adalah teman yang baik, kami bahkan kadang lupa kami laki-laki dan perempuan. Alhasil kami memang selalu begitu, kemana-mana tak pandang bulu. Mau dia pakek bamper hijau sama celana pendek jins selutut dan aku kaos oblong abu-abu sama celana jins item, intinya kami pasti bisa macingin diri. Mungkin ini namanya sahabat tanpa mata, mau pake apa aja yang penting heppy. Tapi sebagai perempuan, mungkin aku tergolong tidak fashionista. Aku pake baju apa aja yang penting nyaman, Ara juga tidak pernah protes dengan pakaian yang aku pakai. Setidaknya di mata laki-laki melihat perempuan begitu harusnya sedikit berkomen untuk berbenah diri. Tapi dia pernah sekali bilang “Perempuan itu harus jaga diri baik-baik, Di.”. Dan Ara, dia berbeda jauh denganku. Dia tergolong anak gaul. Pakaian dia tidak pernah ketinggalan jaman. Dia juga anak orang kaya. Tapi tetep aja, polosnya minta ampun.

"Dah buruan pesen." Katanya sambil kantongin kunci motor. Aku manggil bapak penjual mie ayam.
"Pak, dua ya sama es teh juga." Kataku. Aku ambil hp dari kantong lalu mulai mengetik beberapa kata di message.
"SMS pacar?." Katanya dia sambil nahan ketawa.
"Ngaco, sms mama. Takut khawatir." Kataku meyakini. Setelah sms mulai terkirim hpku kutaruh di meja. Ara mengambil hpku dan mulai memencet beberapa tombol.
"Emang mama kamu bisa khawatir sama anak kaya kamu?." Kata dia lagi. Ini jelas-jelas nyindir banget.
"Berisik. Telingaku bernanah denger kamu ngomong." Kataku mulai ngambek. Dia ketawa.
"Kamu lagi halangan ya? Tumben sensi gitu?." Katanya lagi. Hpku mulai dibalikin ke aku dan mie ayam pesanan kita sudah di antar disusul dengan es tehnya.
"Jadi, sekarang kamu yang bayar?." Kataku sambil menyedot sedotan es teh. Dia bicara di balik kunyahan mie ayamnya. Mulutnya penuh, aku yang ngeliat otomatis ketawa.
"Uda lu kunyah dulu deh mending. Sorry sorry aku mastiin aja, gak bawa duit soalnya." Kataku bercanda sambil gigit lidah.
"Dasar, uda ngutang berapa lu?." Katanya sambil minum teh. Aku mengangkat bahu.

Kami berlanjut makan sambil diam. Awan di luar mulai menunjukan akan hujan, aku sedikit gelisah karena tidak bawa jas ujan. Tapi melihat motorku yang kotor kena lumpur, kucoba ikhlaskan hujan-hujan biar motor sekalian mandi. Ara masih ribut sama mie ayamnya sambil main hp. Dan tentu saja.. mie ayamku sudah habis. "Dasar sinden lelet makan" kataku dalam hati. Ara memandang suasana gelap di luar lalu bicara padaku.

"Kamu gakpapa pulang hujan-hujan?."
"Gakpapa, liat motorku. Ancur begitu kaya mobil militer yang habis jalan-jalan di hutan belantara. Lagian besok seragam uda gak dipakek kan." Kataku. Ara senyum lega. Alisku bertaut lalu dia sibuk dengan hpnya lagi.

Beginilah kami. Aku sendiri tidak begitu paham kenapa kami bisa sedeket ini. Ini semua berawal dari sekelas lalu berlanjut satu kelompok dalam pratikum biologi. Tragis sekali aku bisa berkelompok dengan dia, pandangan pertamaku Ara adalah anak nakal, malesan, tidak mau bekerja sama. Eh ternyata aku salah, dia kebalikan dari penilaianku, yah kecuali yang "malesan". Sampe sekarang yang namanya PR selalu nyonto aku.

"Eh, gue mau tanya ni." Kata dia yang mulai mematikan hpnya lalu memandangku. Aku yang sedang terlarut melamun memandang awan langsung liatin dia. Mukanya serius banget.
"Tanya apa an?." Kataku. Dia diem.
"Kamu ntar mau kawin umur berapa?." Begok. Ini adalah pertanyaan yang sangat tidak masuk akal melihat situasi yang mendung dan dingin ini. Alisku naik satu. Tapi Ara tetap menunggu jawabanku.
"Kenapa? Lu hamilin anak orang? Pengen kawin cepet-cepet?." Kataku ngaco. Dia ngambil nafas, cuping hidungnya membesar lalu mengecil. Aku tahu dia sedang sabar dan tabah menghadapi makhluk sepertiku.
"Gue serius." Katanya. Aku menimbang-nimbang untuk menjawab pertanyaanya.
"Hhmm.. antara 25-27an. Gue gak mau anak gue lahir pas gue tua. Nape si? Lu nanyak ane-ane." Kataku. Dia senyum. Aku mulai merasa ada yang tidak beres dengan dia.
"Gkpapa, lu ntar mau kawin sapa cowok kaya apa?." Aku diem. Aku sejujurnya emang selalu dapet penglihatan suamiku nanti kaya apa. Mungkin kaya Robert Pattinson yang cakepnya luar biasa ato jangan-jangan aku malah dapet anak-anak band kaya Kangen Band. Tidak tidak..
“Lu duluan.” Kataku menyerah. Dia ketawa.
“Hhhmmm.. cantik, baik, keibuan, sayang gue, bisa hasilin anak banyak, sexy.” Aku uda duga anak bajingan ini bakal jawab itu.
“Lu kawinin Julia Perez no.” Kata ku dengan mimik wajah kasian. Dia ketawa lagi. Dia ambil tisu lalu dilapkan di meja dia.
“Sebenernya gak sedetail itu si. Tapi garis besarnya kaya gitu lah. Intinya, aku mau kawin sama perempuan yang agamanya bagus, dia penyayang, dia mau nerima aku apa adanya, dia sangat sayang sama orang tuaku, dia bisa diajak bicara baik-baik. Yah kalopun ntar istri gue gemuk tapi syarat tadi masih ada, masih gue terima lah. Pokoknya kita cocok jiwa dan raga.” Kata dia. Aku mengangkat alis, aku tidak percaya anak seperti dia bisa berpikiran murni begitu. Padahal setauku, mantan-mantan dia adalah cewek bohai-bohai dan sangat amat begok. Dia jarang macarin cewek pinter, kasian banget.
“Lu bisa mikir sejauh itu juga Ra, gue terharu.” Kataku bercanda.
“Sekarang lo.” Katanya nagih. Aku berpikir sebentar.
“Aku mau cowok kaya Rangga di Ada Apa Dengan Cinta.” Kataku nyelocor. Dia masih mandang aku, hening, Aku lupa satu hal, Ara adalah anak yang jarang nonton film begituan. Dia rajin liat film tidak jelas seperti “Cinta Rock n Roll” ato sebangsanya.
“Yang mainin Diansatro, Ra. Lu beneran gak tau?.” Tanyaku. Dia menggeleng. Temen gue satu ni!
“Oke de. Jadi gini, Rangga itu anak yang diem. Dia sukanya menyendiri. Bawaannya buku sastra gitu lah, tapi ya emang cakep juga si. Orangnya sensitive banget, tapi aslinya hatinya itu lembut banget. Apalagi sama perempuan, jadi kalo bayangin aku lagi sama dia. Mungkin aku ngerasa dilindungi gitu lah. Pokoknya top banget deh tu orang.” Kataku. Dia masih liatin aku, akspresinya tak bisa ditebak.
“Yah cocoknya sama kamu. Dia suka baca buku, kamu juga suka. Kamu mau jadi penulis sastra, dia suka buku sastra. Sekarang yang jadi pertanyaan terbesar, emang ada cowok kaya gitu di jaman sekarang?.” Itu adalah pertanyaan paling brilian. Aku diem, jelas aja aku diem. Aku harus jawab apa coba?. Ara bener, jaman sekarang itu yang namanya laki-laki susah dibuat setia. Mereka pada suka dunia yang hura-hura, kalo jaman dulu kan laki-laki lebih suka petualangan. Mereka suka nyari sesuatu yang baru. Beda 100% banget.
“Yah mungkin gue ngimpi dapet suami kaya gitu.” Kataku mengalah pada kenyataan. Ara senyum. Aku melihat gaya senyuman dia yang polos, Ara cukup cakep. Aku kadang tak berpikir untuk menilai wajah dia.
“Kenapa lo senyum-senyum?.” Kataku. Dia memandangku sembari mendekatkan wajahnya pada wajahku.
“Lo tu lucu Di. Lo tu apa adanya. Kenapa lo harus ngimpiin harepan yang besar kaya gitu? Banyak cowok yang ngarepin lo Di. Buka dong matanya. Soulmate yang baik adalah soulmate yang bisa nerima apa adanya.” Kata dia.
“Tapi kalo seandainya Rangga itu ada, dia bakal nerima gue apa adanya lah.” Kataku nyolot. Ara diem tapi matanya masih natap aku. Aku sedikit tersinggung dengan apa yang barusan dia bilang. Mungkin impianku terlalu tinggi, tapi memang itu tipe cowokku kan. Mau apa lagi?. Aku memandang awan lagi, sekarang titik-titik hujan mulai turun. Baguslah, motorku bisa mandi beneran sekarang.
“Aku suka cewek yang pinter bercerita.” Kata Ara tiba-tiba. Aku menoleh pada dia. Matanya menatap hujan juga.
“Maksudnya?.” Kataku.
“Yahh… dia bisa dongeng. Dia tau banyak cerita-cerita dongeng. Jadi ntar anak gue bisa sering dapet dongeng sebelum tidur, tau kan maksdunya?. Gue kan bukan orang yang jago bawa buku kemana-mana, jalankan buku, yang namanya sastra aja baru tahu setelah gue temenan sama lo.” Kata dia jujur. Aku liatin dia dalem-dalem. Kepalanya menoleh lurus padaku lagi. Wajahnya di dekatkan lagi di wajahku.
“Di, gue emang buta roman. Gue gak tau gimana cara buat puisi. Gue gak bisa ambil hati cewek pake nyanyi sambil gitaran. Tapi gue bisa jadi diri sendiri supaya cewek itu bisa baca diri gue, selain itu dia juga tau kalo yang namanya cinta gak harus orang-orang kaya si Rangga itu.” Aku terdiam. Dia juga diam. Lalu dia beranjak untuk membayar mie ayam kita. Aku pengen teriak bilangin dia soal mie ayamku yang mau aku bayar sendiri. Tapi kuurungkan niat itu. Ara sempat tersenyum ke aku, lalu aku balas dengan senyuman terpaksa. Karena aku sendiri tak tahu aku ini kenapa. Ara benar-benar aneh..

Satu hal yang kupikirkan. Ara memang tidak beres, dia beda. Tapi entah kenapa, aku mulai sedikit menyukai dia (bukan sebagai sahabat).

Kisah

Senin, 07 Februari 2011


Ini kisah pendek ketika aku pernah sekali bertanya padanya ketika kami sedang terdiam dalam suasana nyaman antara irama lagu yang berbunyi dan gambar pemandangan diluar jendela mobil seakan film dokumenter berputar di pinggir dan depan kami. Dia bukan tipe banyak bicara, aku tak perlu repot-repot cerewet bercerita tentang kisahku karena aku juga sama seperti dia, kami tidak hobi dalam hal banyak bicara.

Pemandangan mulai hijau ketika mobil berbelok melewati petak-petak sawah seakan selimut hijau terbentang di sekeliling kami. Matahari sedang berterik hangat ketika aku merasakan tanganku terkena seberkas cahaya pantulan kaca mobil.
"Boleh ambil kamera?." Kataku siaga menyentuh resleting. Dia mengangguk, matanya fokus pada jalanan dan spion depan. Aku mengangkat bahu dan mulai mengambil kamera. Kubuka tutup frame dan memencet ON lalu mulai menempelkan mata di kap kamera siap membidik. Sekitar 15 detik aku membidik gambar. Mengambil gambar dari dalam mobil mungkin tak begitu menyenangkan daripada langsung dari luar. Tapi aku suka dengan hasilnya.
"Coba kamu buka jendela sebelahmu. Terus ambil gambar dari sana." Katanya menyarankan. Aku segera menuruti dan langsung memutar scrol jendela.
Udara berhembus seakan siap menerbangkan apa saja dari dalam mobil. Rambutku kugurai dari ikat buntut kudaku, kubiarkan rambutku menikmati angin ini. Rasanya seperti terbang. Udara terasa bersih, tak seperti di kota yang penuh polusi. Aku mulai mengambil gambar "..1...2..3" Clik.
"Kamu mau jadi apa sih kalau sudah besar nanti?." Katanya bertanya. Aku lama diam, tapi aku tahu dia menunggu jawaban.
"Aku mau jadi penulis. Kenapa?." Kataku. Dia tersenyum. Aku menunggu.
"Kenapa bukan Photographer?." Aku mengangkat bahu.
"Anggap itu cadangan buat masa depan." Kataku singkat. Dia tak berargumen lagi. Kupikir yang dikatakan dia benar. Aku suka mengambil gambar apapun, dan tak perlu objek manusia. Menurutku manusia tak perlu cantik dengan urtitude macam-macam. Mereka terlihat luar biasa dengan mereka yang sesungguhnya. Ketika mereka tertawa, berbicara, melamun, menangis, marah atau bahkan ketika mereka menutup mata hanya untuk sekedar mengambil nafas bahkan ketika sedang tidur. Mengambil gambar dari objek manusia dengan ekspresi seperti itulah yang buatku kagum betapa luar biasanya wajah mereka tanpa harus neko-neko.
"Kau lebih suka aku jadi Photographer?." Kataku.
"Aku lebih suka kau jadi apa yang menurutmu hebat bagimu." Katanya lagi. Dia tampak puas dengan jawabannya.
"Memang dulu kau ingin jadi apa?." Kataku bertanya. Dia terdiam. Kami mulai sedikit menjauh dari petak-petak sawah. Kini kami berada di pekarangan desa.
"Aku pernah bercita-cita menjadi pilot. Menurutku itu keren, kau bisa terbang kemana saja. Kau bisa melihat awan. Kau bisa melihat pulau dari atas. Itu pasti jadi pemandangan luar biasa, tapi itu hanya sebatas keinginan anak umur 5 tahun." Katanya. Aku menunggu.
"Lalu aku pernah ingin jadi pelukis. Menurutku gambarku bagus. Aku sering mendapat upah dari teman sekelas ketika mereka tak bisa mengerjakan tugas menggambar mereka. Dan aku juga suka menggambar. Tapi itu sirna mengingat aku tak bisa membayangkan apa yang bisa kugambar lagi. Imajinasi sirna seiring waktu, dan aku tak bisa menyalahkan diriku untuk selalu punya imajinasi." Dia benar dalam poin ini.
"Lalu kau ingin jadi apa?." Kataku bertanya. Dia berdiam lama. Lalu dia menjawab.
"Aku ingin menjadi contoh yang benar untuk anak-anakku nanti. Tak masalah jika kau punya sejuta keinginan di masa depan. Kita memang tidak tahu masa depan akan bicara apa, entah kita memiliki pendamping hidup atau tidak. Itu adalah konsep Tuhan. Tapi aku ingin merasakan bagaimana menjadi contoh untuk mereka yang punya dunia dari mata mereka sendiri. Aku akan mengantar mereka ke terbang jika mereka membayangkan mereka sedang terbang, aku akan membawa mereka ke laut jika mereka rindu birunya laut untuk dilukis. Dan aku akan membawa mereka keliling dunia jika mereka ingin mengambil dan mengabadikan gambar yang mereka bidik sebagai kenangan mereka hingga dewasa nanti. Orang yang berhati besar bukan orang yang bisa memberimu apapun yang kau mau, tapi dia yang bisa mengantarkanmu di pintu depan dan selanjutnya kau yang akan meraih sendiri keinginanmu." Katanya mengakhiri.

Telingaku jelas mendengar apa yang dia ucapkan. Tapi mata dan tanganku pelan-pelan melihat hasil gambar bidikanku di kamera. Tanganku berhenti memencet tepat pada gambar sawah hijau yang luas dan jejeran pohon hasil bidikanku, gambar itu sedikit aneh karena mungkin bila sedikit dicermati kau akan melihat pohon itu seakan terbawa angin, seakan bergerak menjauh dari kameraku ketika berhasil kubidik. Aku tersenyum pada diri sendiri.
"Kurasa kau berhasil membawa mereka keliling dunia." Kataku lirih.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS