Dia membalik badan, tidak sekalipun
menoleh lagi. Entah bagaimana raut mukanya bercampur muram, puas, dan
pandangannya sedikit.. terluka. Dia
berjalan cepat, seakan meninggalkan segalanya larut dalam pondasi waktu yang
lamban. Adrenalin seorang wanita bukan seharusnya seperti ini, karena biasanya
wanita akan menangis lalu tetek bengeknya akan berpuisi luka dalam hati. Tapi
justru dia berdoa dalam hati untuk tidak beri rasa apa-apa oleh Tuhan, dia
berharap tidak menitikkan air mata, dia berharap tidak berpuisi, dia berharap untuk tidak kembali.
Sebelumnya, bahkan sikap dan gayanya pada
saat itu sudah menunjukkan bahwa dia peduli. Dia memberanikan diri mengatakan
pada dunia—pada dirinya sendiri, bahwa dia telah membuka hati. Baginya perasaan
ini yang sudah lama ditolaknya adalah perasaan ketergantungan, tapi semakin dia
terluka, semakin dia mencoba lari—dan semakin itu pula akhirnya jawaban seakan
membawanya kembali. Bodoh, tapi dia
merasa bukan dia yang bodoh, dia menyukai lelaki yang bodoh.
Bukannya keberadaan dan nyatanya seseorang
ada disana bukan hal yang mustahil tidak terlihat? Dalam setiap tikungan yang
ada, dia hanya menonton orang baru yang datang lalu membuatnya dilupakan, orang
yang datang dengan keindahannya membuat segalanya serasa salah dan percuma.
Sedangkan dia hanya mendengarkan lalu memberi senyuman mendukung, lalu..
mendukung atas apa? Atas hatinya yang bersembunyi? Bukan. Atas bagaimana orang
bisa tidak melihat kabaikan yang ada ketika melihat keindahan semata. Dan
sekali lagi, waktu hanya memberi kesan kosong atas kejadian yang tidak bernilai
sama sekali. Buatnya semua seakan abu-abu. Buatnya semua seakan sama. Buang-buang waktu,
Dan seperti ucapannya dalam hati ketika dia
berjalan cepat saat itu, dia tidak ingin
kembali. Seseorang lebih pantas mendapat ini daripada dia, seseorang lebih mengerti dan pada akhirnya.. seseorang akan lebih menghargai. Bukankah
cukup jika kau mendapatkan hal sesederhana dihargai? Ini bukan soal bagaimana
menemukan orang yang tepat lalu menyimpan rasa yang tulus terhadapnya, tapi
tentang bagaimana seseorang bisa dilihat keberadaannya, bukan hanya fisiknya,
tapi jiwa.. hatinya. Dan akhirnya..
saat berbelok ditikungan suara-suara memanggil namanya dari belakang, dia tidak
menoleh dan terus berjalan—seperti hati wanita itu yang perlahan tergerak
untuk pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar