"Semua seakan tertumpah dimangkuk kecil ini. Kuah sup putih telur didalamnya yang tinggal setengah lagi ini datar menampilkan bayangan wajahku yang samar. Kulirik kesebalh kiri, jam tangan hitam kusangku menunjukkan pukul setengah delapan dengan jarum detik yang bergerak konstan. Aku sekejap menyenden kembali di meja, menutup mata menahan amarah kecilku. Lalu membuka mataku dengan posisi kepala menatap atap ruangan. Kini restoran mungil kesayangan kami ini sudah lumayan penuh pengunjung. Dari pria-pria kantoran dengan tas pundak coklat seraya membaca koran dan meneguk kopi serta roti bakar yang belum tersentuh untuk dimakan, ocehan wanita yang menyuruh anaknya untuk sarapan dan beberapa pengunjung sepertiku.. sedang menunggu seseorang.
Aku meluruskan gaya dudukku dan meneguk susu putihku lalu memandang kursi didepanku yang kosong dengan sup putih telur yang masih penuh, roti dengan selai kacang, serta air putih yang belum tersentuh. Aku menelan ludah, menahan air mata yang hampir menggenag dimata. Rupanya hari ini tidak perlu diramalkan kembali, aku tahu dia tidak akan datang, seperti biasanya. Aku berdiri beranjak memakai mantel coklat dan memeluk tas mungilku lalu meninggalkan uang disebelah piringku. Lalu pergi. Jalanku cepat, tapi aku bisa merasakan langkah berat diriku sendiri. Berusaha menahan air mata yang, lucunya, terlihat memalukan jika harus menangis. Mengatur nafas lalu berjalan normal."
Diwaktu yang sama, seorang pria menatap jalan raya, melihat langkah wanita yang beberapa saat lalu pergi dengan cepat dan meninggalkan meja makannya dengan makanan yang masih belum tersentuh. Dia terdiam lalu lanjut menggambar dengan sketsanya. Bukan hal yang langka, tapi hari ini bukan hari wanita itu datang untuk pertama kalinya, dalam benaknya..
"Hari itu, setelah dua hari kunjunganku yang terkahir di cafe mungil itu. Aku dengan langkah berani berjalan masuk kedalamnya. Kali ini aku memesan dua air putih, aku merasa tidak perlu makan hari ini. Durasi perkiraan waktu di kepalaku seakan sudah menjadwal bahwa hari ini hanya sebentar, dan sepertinya, untuk yang terakhir aku akan berkunjung kemari. Aku duduk ditempat yang sama, tidak melepas mantelku dan menaruh tas mungilku dipaha. Aku memandang jalanan berharap melihatnya lewat dan melihatku. Lalu mata ini bergerak beberapa centi dari kaca cafe dan melihat seorang pria duduk tenang sedang sibuk dengan kertasnya. Wajahnya terkena pantulan sinar pagi, aku hanya melirik sebentar dan seketika dia menoleh lalu mata kami bertemu. Aku segera menunduk bahkan sebelum aku berkedip. Aku terus menunduk sampai aku menyadari seseorang duduk didepanku. Aku terus menunduk, dan entah mengapa semua terasa konyol. Hari demi hari menunggu sesuatu yang bisa dengan mudahnya datang kapan saja ia mau, diri terasa mengoreksi keganjilan yang tidak seharusnya ada. Lalu aku menaikkan wajahku dan menatap matanya. Wajah yang sama seperti yang aku lihat setahun lalu, pertemuan janji kami disini, tepat ditempat ini dengan posisi duduk yang sama. Aku melihat wajahnya, turun ke pundak, memperhatikan garis lurus pundaknya dengan mantel biru dongkernya, melihat sedikit debu diatasnya dan tersenyum sedikit, melihat dua kancing pertama yang tertutup di mantelnya sedangkan sisanya sengaja tidak ditutup, benar-benar khas dia yang kuhapal betul bahkan sampai saat ini. Mataku terus meraba dan tanpa disadari mataku kabur dengan air mata yang tidak turun sebagai salam pertemuan sejak satu tahun kami berjanji untuk bertemu kembali. Dan pandangan mata ini terhenti, dibalik jarinya, jari manisnya, melengkung sempurna cincin perak dengan ukiran sederhana, aku melengkungkan alisku dan melihat matanya.
Dia memandangku dengan orehan wajah yang dalam. Aku tersenyum kecil, menahan air mata yang siap keluar. Dengan mengatur posisi duduk dan menampilkan wajah sebaik mungkin.
"Selamat ya." Kataku sembari tersenyum. Dia hanya mengangguk tersenyum. Aku tertawa dan meneguk air putihku kembali.
"Aku minta maaf, aku lupa harus kemari. Kau tahu? Banyak yang harus dilakukan." Katanya ringan. Aku tersenyum.
"Tentu saja, aku tahu. Sibuk sekali pasti.."
Kami berbincang renyah. Seakan teman lama yang bertemu kembali. Dia bercerita perkawinannya, dan bagaimana dia tidak mengundangku karena terlalu jauh dari rumahku dan tahu bahwa aku tidak mungkin diperbolehkan oleh orang tua angkatku bepergian sejauh itu, bagaimana rencana kepindahan mereka, dan rasa tidak percayanya dia bahwa akhirnya akan menikah dengan wanita itu.
"..maksudku. Kau tahu kan bahwa semua memang dari awal adalah akting? Kau sahabatku. Aku tidak tahu harus bercerita kepada siapa lagi... tapi kau tahu kan? Benar-benar tidak disangka akan begini. Aku yang denganmu hanya sebatas pengalih perhatian saja. Dan dia yang rupanya memperhatikan aku seperti aku juga memperhatikan dia.. ajaib sekali bukan? Bukannya dunia ini sukar ditebak? " Katanya sembari memasang wajah tidak percaya sekaligus bahagia. Aku tertawa renyah padanya. Setuju."Dia benar-benar cemburu padamu. Kau tahu? Tidak ada yang bisa dekat sebagai teman sebaik kau padaku. Dia menitip salam padamu, asal kau tahu.." Katanya lagi. Aku tertawa lebar."Kirimkan salamku untuknya. Aku akan berkunjung kalau sempat." Kataku meyakinkan."Harus. Beritahu aku, aku akan menjemputmu nanti." Katanya. Dia berdiri dari kursinya dan meluruskan lipatan mantelnya. Aku juga ikut berdiri, lalu dia ke kasir dan membayar pesanan kami. Aku mengikutinya sampai keluar hingga di depan cafe. Dia berbalik dari melihatku, memandangku lama sekali dengan mata kecoklatan terlihat jelas terpantul matahari pagi. Seketika dia menarik tubuhku dan memelukku, lama. Aku menepuk punggungnya dan terus berdoa didalam hati untuk tidak menangis, untuk terus tidak terlalu mengambil momen ini. Dalam pelukan kami, dia bertanya."Kau tidak benar-benar menunggu di cafe ini seperti janji hari itu kan?." katanya lembut. Aku terdiam, air mata ini tidak menepati janjinya, dia terus turun selama tubuh ini masih didalam pelukannya. Aku masih tidak menjawab. Dia terus memelukku, entah bagaimana dunia ini terasa sangat lucu menunjukkan jalan kecilnya bagiku. Dalam hati aku menyimpulkan bahwa pelukan ini memberikanku waktu untuk menjawab, tanpa harus melihat matanya, tanpa harus menangis konyol didepannya."Tentu saja tidak. Hari ini tepat kita terakhir bertemu, setahun lalu. Firasatku bilang kau akan datang. Dan memang benar.." Kataku pelan. Dia mempererat pelukannya, dan berbisik ditelingaku."Maafkan aku." Aku sekali lagi menitikkan air mata kecil ini. Beban hati terasa tumpah di pundak ini, pundak yang senantiasa menemani sebagai sosok laki-laki nomor satu didunia bagiku, aku tidak pernah mengenal ayahku semenjak kejadian yang merubah segalanya dalam hidupku, tapi sosoknya bagai ayah bagiku, sosok yang kucintai, kusayangi, kuhormati. Sahabat nomor satu bagiku, dan juga.."Terima kasih sudah mau datang." Kataku pelan. Dia melepas pelukanku dan tersenyum melihatku. Tangis ini terhenti tepat dia melihatku, terkontrol mengingat sudah sesering apa aku menunggu ditempat ini dan terus menangis setelahnya. Dia melambai tanganku dan berbalik pergi.
Aku masih terus melihat punggungnya yang berjalan menjauh. Dan tanpa harus kuawali, air mata ini turun begitu saja. Aku benci harus mengakuinya. Tapi dalam diam, dalam segala momen dimana kami berdua menghabiskan waktu bersama, aku benar-benar menginginkannya. Dan secara nyata, rupanya dengan keinginan itu, akulah yang memang harus melepasnya.."
Pria itu memperhatikan dalam diam. Wanita itu tetap diam diluar, memperhatikan sesuatu yang sudah jauh berjalan. Dari samping, rautan wajah itu nampak hilang. Bukan wajah yang dibaca oleh pria itu, tapi momen dimana hal sesederhana seperti perpisahan tidak akan membuat dunia berhenti menunjukkan takdir lainnya. Ketika sebentuk kasih yang harus rela terlepaskan demi seutuhnya kebahagiaan hingga menimbulkan kehilangan yang amat dalam. Dan dalam diam, pria itu memahami. Bahwa tidak selamanya apapun yang kau simpan akan selamanya baik-baik saja. Ada kalanya suatu ketika, .. kau harus bicara. Setidaknya lebih dahulu jujur pada diri sendiri. Maka dengan ini kau akan paham bagaimana dunia menunjukkan jalannya padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar