Carousel

Sabtu, 10 Maret 2012

Sesuatu tertinggal ketika aku menatap matanya. Dia mungkin sama dengan sekian orang yang pernah menatapku ketika aku bicara, tapi tidak benar-benar tanpa kuketahui. Jika aku menyadari dia berada tak jauh dariku, aku mancari wajahnya, memandangnya hanya sekian kali dalam beberapa detik. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk sekedar melihat apa dia benar-benar ada, benar-benar disana, berdiri didekatku. Aku membaca sesuatu dalam diri ini, dia bagai kamar kosong yang pernah kumasuki, kutinggali, dan dia bersamaku disana. Semua berubah ketika kami memutuskan meninggalkan kamar itu, pergi menjauh dan berlawanan arah. Kau menemukan hidupmu, begitu juga diriku. Kini kami hanya bisa saling menatap, melihat dalam-dalam mata itu, mengingat bahwa kami masih menyimpan kamar itu. Jauh di dalam mata kami.
Tapi sesuatu menghalangi kami untuk membuka kamar itu. Sesuatu menarik kami, magnet yang sudah terikat dengan diri ini. Ini bukan tentang bukan bagaimana cinta kami tak bisa bersatu, ini tentang bagaimana kami masih belum menyelesaikan sesuatu yang tertinggal, bahkan hati ini tak akan bohong jika berpuluh manusia telah singgah dihati ini, jika ada seseorang, maka dialah yang satu-satunya, bagaimanapun caranya. Seseorang berkata, "lebih baik tidak mengenalkan.. itu jauh lebih baik.." tidak bagiku. Kau bahkan yang membawaku hingga saat ini, bediri berdampingan dengan seseorang yang bahkan tak terbaca ketika aku masih bersamamu. Hidup dan cinta bukan sesuatu yang salah, hanya saja terlalu dini jika kita memahami terlalu dalam. Terkadang aku hanya bisa terdiam, mengingat dan melihat mata itu. Aku bahkan pernah melihat mata itu lebih lama dari sekarang, lebih dan memahami bagaimana diriku dari caramu menatap mataku. Mungkin sesuatu yang berputar tak akan bisa dibalikkan kembali..
Ini malam ketiga ketika aku keluar rumah sendirian. Menunduk menahan terpaan angin, kumasukkan kedua tanganku di saku jaket, kutudungkan jaketku, mencoba melindungi rambutku agar tidak berantakan. Kakiku melangkah, menatap kedua kakiku yang saling bergantian melangkah. Mataku tidak memandang arah jalanku, aku hanya melangkah tak tahu kemana kaki ini membawaku, aku sudah hafal jalan ini, kurasa bukan masalah besar bagiku. Sesuatu bergetar di saku jinsku, pnselku, tentu saja. Aku belum mengabarinya sejak tadi siang. Kubiarkan saja, moodku sedang ingin sendiri saat ini.
Suara musik karnaval berbunyi ketika aku sadar aku sudah sampai di sebuah taman karnaval yang terang dan ramai. Aku tidak ingin berada di tempat ramai, seperti kubilang, moodku sedang buruk. Tapi entah mengapa kaki ini melangkah memasuki taman bermain itu. Banyak anak kecil berlarian membawa kembang gula, bermain panah air, ada beberapa sepasang kekasih membawa boneka kecil yang berpasangan. Aku berjalan, melihat-lihat setiap tempat dan sesekali berhenti dan memperhatikan setiap orang bermain. POnselku bergetar lagi, kuambil \ponsel ini lalu kubaca pesannya. "Aku pergi sebentar, nanti kutelpon.." itu bunyi pesan pertama, dan yang kedua "ibumu menelponku, kau dimana?". Aku tertegun, kurasa bukan tindakan yang baik membuat orang tua berpikir ini sudah ketiga kalinya aku keluar sendirian. Aku mengetik tombol dan menulis "aku di taman karnaval, biar aku yang menelpon ibu, aku baik-baik saja.." lalu kumasukkan kembali ponselku.
Kulangkahkan kakiku lagi meninggalkan tempat diriku berdiri tadi. Ditengah tempat karnaval terdapat tempat kosong seperti rumah yang hanya sebesar aula dan hanya ada beberapa orang yang hilir-mudik memasuki tempat itu, kebanyakan adalah sepasang kekasih. Aku memasuki tempat itu dan melihat ruangan bulat dengan kaca yang menutupi sebuah permainan menyala berbentuk bundar, komidi putar. Aku melangkahkan kaki memutari tempat itu, pintu untuk memasuki komidi putar sedang ditutup. Aku berdiri didepan pintu, menatap komidi putar itu. Lampu-lampu dari setiap senti komidi putar itu menyala, bahkan cat dari patung-patung kuda itu masih mengkilat. Dalam hati aku berpikir, kapan terakhir kali aku menaiki mainan ini, mungkin ketika aku masih berumur 5 tahun. Sambil mengangkat alis aku terdiam.
Ketika kupandangi tempat ini dengan seksama, aku menyadari seseorang berdiri disana. Sendirian menatap komidi putar, dia menggenggam ponselnya. Dia disana, sedang melamunkan sesuatu, entah apa, atau menunggu siapa. Tidak ada satupun adrenalin bagiku untuk menghampirinya, menyapanya, ataupun tersenyum. Aku tetap berdiri ditempatku, menatap komidi putar didepanku, begitu juga dia. Aku hanya bisa berkata dalam hati, kami berdiri terlalu dekat, tidak seperti biasanya, kami biasanya hanya bertemu sedekar menatap mata lalu pergi. Jika aku menoleh padanya, aku memiliki beberapa angka persenan kepastian bahwa dia pasti akan menoleh padaku juga. Tapi tidak, seharusnya aku senang bisa bertemu dengannya, bicara padanya, tertawa dan menanyakan kabar. Tidak untuk sekarang. Aku bahkan menurunkan alisku, aku sedih. Sesuatu membuatku tetap berdiri disini, dan aku yakin, jika dia tahu aku disini, mungkin dia juga merasa, sesuatu itu juga menahannya untuk berada disana.
Komidi putar didepan kami tetap terdiam, tapi entah kenapa diriku seakan berputar. Seakan kami tidak mengenal satu sama lain. Inilah yang terjadi, aku menahan hati ini untuk bicara, aku biarkan kamar ini tetap tertutup dan kubiarkan kunci itu kubuang entah kemana. Waktu tidak akan bisa kembali lagi, kami sudah berbeda, mungkin diriku yang berada disampingnya bagai orang lain, dan dia bagiku seperti orang lain juga. Seperti komidi putar, dulu kami menaiki tempat itu bersama, tapi kini, kami turun bersama dan meninggalakn komidi putar itu sendirian, tanpa seseorang yang menaikinya.
Seseorang meneriaki namanya dari kejauhan, aku menoleh dan melihat wanita itu membawa 2 kembang gula lalu memberikan satu padanya. Aku tersenyum kecil, lalu dari arah lain seseorang meneriaki namaku, aku terkejut lalu menoleh. Lelaki itu menghampiriku sambil berlari.
"Bagaimana kau tahu aku disini?" Kataku terkejut. Dia tertawa kecil, tetes-tetes keringat membasahi dahinya. Aku mengelap keringat itu dengan telapak tanganku.
"Feelingku bilang kau disini." Katanya sambil tertawa kecil. Aku tersenyum.
"Ayo pulang." Kataku sambil merangkul tangannya.
"Kau tidak ingin bermain sebentar?." Katanya.
"Tidak, aku janji ini terakhir kali aku keluar sendirian malam-malam. Kau mau berjanji sesuatu?." Ujarku.
"Apa?"
"Aku ingin kau yang menemaniku jika hal ini terjadi lagi." Kataku sambil tertawa kecil. Dia tertawa lalu kamu berjalan.
Sesuatu membuat diri ini membalikkan kepala dan menoleh kebelakang, dia berjalan ke arah berlawanan denganku seraya menggandeng tangan wanita itu. Wanita itu tertawa lalu menyendenkan kepalanya di pundaknya. Aku kemabali menatap depan dan tersenyum sendiri, kurasa sesuatu yang tertinggal itu adalah kunci dari pintu ini. Tapi kubiarkan kamar ini kosong, karena aku tahu pintu ini tak akan terbuka lagi, dia tak akan pernah datang, dan aku pun tak akan membukanya lagi untuknya. Kami sudah jauh, dan aku bisa memahami itu.
...di tempat lain. Lelaki itu menoleh pada wanita yang berjalan dengan lelaki disebalahnya. Dia diam lalu menatap wanita diselahnya dan tersenyum.
Komidi Putar itu tetap diam diantara mereka..

1 komentar:

  1. Rapihkan saja kamar mu itu, dan biarkan tokoh "aku" Menunggu sejenak barangkali tokoh "dia" Akan segera hadir sembari mengajakmu membuka kamar itu bersama2, alih2 membuka kamar mungkin kalian akan membangun sebuah bahtera bersama.. Tunggu dan amati alarm klik mu

    BalasHapus

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS