Dia menalikan sepatu hak tingginya dengan jarinya yang panjang. Kuteks merah maron menghiasi kuku-kukunya yang indah. Ketika ia selesai menalikan sepatu haknya dia mulai duduk tegak dan melihat pantulan wajahnya dari kaca. Rambutnya coklat legam seperti warna kawat yang digelung sedemikian rapi dan menawannya. Wajahnya lonjong sempurna. Matanya terlihat cantik dengan bulu mata lentik dan warna mata hijau bening. Bibirnya tipis indah, terbayang jika dia tersenyum maka semua yang melihatnya akan tersihir dengan kecantikannya.
“Kau siap?.” Kata wanita yang tiba-tiba datang dan sedang membawa nampan berisi beberapa lusin gelas berleher panjang dan serbet yang ia taruh di pundaknya. Gadis itu menarik nafas panjang lalu mentutul-tutulkan jarinya di bibirnya untuk memperbaiki lipstiknya.
“Kau cantik sekali.” Kata wanita itu lagi. Gadis itu berdiri dan memperbaiki lengkukan pada gaun merah gelapnya. Gaunnya tak berlengan dan tak memiliki kerah. Menampakan kulitnya yang putih yang amat serasi dengan warna gaunnya.
“Aku tahu.” Ucapnya muram. Dia berbalik dan keluar kamar dengan gaya jalannya yang lunglai.
Musik valtz berbunyi lembut ketika wanita itu berjalan menuruni tangga dengan jalannya yang glamour. Ruangan itu besar dan luas berbentuk persegi empat, jendela-jendela besar hampir menutupi setiap inci tembok ruangan, terlihat awan hitam malam yang menghias diluar. Dibawah dekat tangga, terdapat piano hitam tanpa pemain. Lantai ruangan itu berwarna emas, terdengar suara orang yang berdesing dengan mengobrol. Hampir seluruh pengunjung memperhatikan bagaimana gadis secantik itu turun dengan anggunnya di tangga. Dan anehnya, wanita cantik itu tidak meperlihatkan ketertarikan sedikitpun pada acara ini. Wajahnya yang indah bagai pualam tetap menampakkan ekspresi datar yang sempurna. Setelah salah satu sepatu haknya menyentuh lantai datar dia berjalan anggun menuju gerumbulan wanita bergaun glamor yang membawa gelas gin panjang. Salah satu gadis itu, memakai gaun hijau muda dengan rambut putih yang dibiarkan tergelombang indah hingga pinggulnya.
“Kau selalu menjadi yang terakhir, Gweelov.” Katanya seraya memberi segelas gin berwarna madu padanya.
Gadis itu tak menjawab, dia diam lalu meneguk lembut lingkaran gelas panjang itu. Musik valtz kini berganti dengan music lembut gaya barat yang dimainkan dengan piano. Suara piano menggema indah, semua terdengar sempurna.
“Aku menunggu Lionel.” Ucap gadis berambut putih itu tiba-tiba. Matanya sedang mencari sesuatu dari gerumbulan orang. Gweelov meneguk kembali ginnya.
“Dia tak datang.” Kata Gweelov tiba-tiba. Gadis berambut putih melihatnya dengan tidak percaya.
“Bagaimana kau tahu?.” Katanya. Gweelov tidak menjawab. Dia memandang kosong lantai dansa didepannya.
“Mau berdansa denganku?.” Seorang lelaki menjulurkan tangannya dihadapan Gweelov untuk mengajaknya berdansa. Gweelov meneguk kembali ginnya, lalu bicara.
“Maaf, kau mungkin bisa mengajak temanku.” Gweelov mengambil tangan milik gadis berambut putih itu dan menaruhnya di tangan lelaki itu.
“Berdansalah dengannya Lucy…” Gweelov mengambil gin milik Lucy, “Kau membutuhkannya lebih dari aku.” Kata Gweelov memberitahu. Lucy menyetujui saran Gweelov dengan ekspresi masih tidak percaya. Lalu pasangan itu berjalan menuju lantai dansa dan mulai menari anggun.
Gweelov tetap pada tempatnya. Kedua tangannya menggenggam gelas gin yang panjang. Setelah sekian lama dia berdiri diam, dia berbalik lalu membuang gin madu di pot bunga mawar yang besar dibelakang gerombolan orang sedang mengobrol. Dia berjalan cepat, menimbulkan bunyi sepatu haknya.
Gadis itu berjalan menuju ruang gantinya lagi. Ketika dia membuka pintu, wanita yang tadi membawa minuman dan serbet sedang menyapu memebersihkan tempat itu.
“Kenapa kembali?.” Katanya terkejut. Gweelov menarik sofa berkaki dan mulai berkaca. Dia mengambil sehelai tisu lalu membersihkan bibirnya dengan kasar, bekas lipstiknya berantakan dibagian pipinya. Dia membersihkan perona merah pada pipinya dan membersihkan mascara serta aye shadow dengan kasar. Wajahnya yang tadinya sempurna berubah menjadi berantakan.
“Apa yang kau lakukan?.” Kata wanita itu.
“Bantu aku mengganti baju.” Katanya . Wanita itu menuruti Gweelov dan menbantunya mengganti baju. Setelah Gweelov mengganti baju dengan haun putih pualam sederhana, wanita tadi datang membawa ember beralas rendah berwarna perak kecil dan handuk putih lalu ditaruhkan dihadapan Gweelov. Gweelov mengambil handuk itu lalu membersihkan wajahnya.
“ Aku tidak pernah menyukai ini Barbara.” Katanya. Kini bibirnya mulai bersih dari bekas lipstick.
“Berhati-hatilah sedikit, ini air panas. Bisa melukai wajahmu.” Ujar Barbara yang dengan kasar mengambil handuk ditangan Gweelov lalu memerasnya agar air panas bisa sedikit hangat. Gweelov tidak marah atau tersinggung, dia masih memandang wajahnya di kaca.
“Seharusnya kau tahu, sebenarnya tak ada yang peduli jika aku menjadi jelek dengan air panas itu.” Barbara terpaku dengan ucapannya. Gweelov tetap memandang kaca dengan muram.
“Aku hanya putri kecil yang kaya dan tersesat diantara emas yang dilimpahkan padaku.” Kata Gweelov. Barbara mengulurkan tangannya lalu mengusap lembut di wajah Gweeloh yang cantik.
“Itu tak akan mengubah apapun. Kau akan tetap menjadi putri kecil yang kaya dan apapun yang kau mau akan terwujud dengan sendirinya.” Ujar Barbara. Seuasai wajah Gweelov bersih, Barbara melepas gulungan rambut Gweelov dan menyisirkannya dengan lembut. Gweelov masih menatap wajahnya di kaca, rambutnya kini rapi, panjang, bergelombang, coklat legam.
"Lihat? Kau cantik. Dan kau akan tetap cantik, lebih cantik dari apapun. Mengerti?." Ucap Barbara. Barbara berjalan keluar kamar meninggalkan Gweelov sendirian.
Gweelov tetap diam memandang wajahnya di kaca. Tak ada yang tahu apa maksud hatinya. Dia akan tetap diam..
“Aku Gweelov Viantz,
Berlian diciptakan dengan dipoles, tidak bagi emas. Berlian hanya bersinar, bergemerlap, dan indah. Aku ingin menjadi emas, aku ingin jadi diriku sendiri...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar