Mask

Selasa, 08 November 2011

Udara tak sedingin yang kukira. Mantel buluku tak mampu melindungi tubuhku yang terbuka. Laju kereta kuda buatku bosan duduk di kursi empuk hingga menunggu tiba di acara. Ibuku hanya bisa sesekali meilirikku tanpa bicara. Dan sejujurnya akupun tak segan-segan harus bertanya mengapa. Aku bosan bicara. Membuang waktu. Begitulah aku..

Sinar lampu mulai menghiasi jendela-jendela kereta. Dan yang paling indah, sebuah istana megah berdiri tak jauh dari tempat keretaku berjalan. Suara langkah kaki kuda makin cepat. Dan anehnya, jantungku mulai memburu. Aku tak pernah suka pesta. Aku benci berdandan. Memakai gaun panjang dan sepatu indah yang hiasi kakiku. Tapi ini pesta istimewa. Keluargaku diundang acara perayaan putra sulung keluarga istana. Ayahku adalah perdana menteri jadi tak heran aku haru diundang di acara kerajaan ini. Acara pertunangan sang Pangeran. Aku tak begitu peduli. Rupanya rasa tidak sukaku pada pesta diketahui ibuku. Ia membantuku penggunakan gaunku yang sejujurnya, memang indah dan mewah.

"Kau cantik." Kata ibuku memandangku lewat cermin. Ku pandang wajahnya hingga tubuhku yang berselimut gaun satinku. Aku hanya bisa menggeleng, tidak setuju.
"Nikmatilah malam ini sayang. Acara ini istimewa."
"Aku tak pernah bisa beradaptasi dengan hal semacam ini." Kataku mengingatkan.
"Hanya malam ini saja." Kata ibuku memohon. Aku hanya diam. Ia memberiku sebuah topeng berhias manik-manik indah. Bening dan mengkilat. Kata ibu, warna ini cocok dengan warna mataku. Ini lebih baik. Setidaknya, ada sesuatu yang bisa menutupi wajahku. Dan baiknya, ini memang pesta topeng. Benar-benar membosankan.
Kereta tiba di depan pintu istana, aku dan ibu turun dengan perlahan. Ibuku tersenyum padaku dan menuntunku berjalan memasuki aula. Ketika pintu terbuka lebar, aku hanya bisa mengambil nafas panjang. Banyak orang berbincang, tertawa, minum dan memamerkan oksesori mereka. Tapi sesekali aku sadar beberapa diantara mereka memandang ke arah kami. Entah apa yang dilihat mereka, tapi aku harap bukan Aku.
"Bisa kutinggal sebentar kan? Ibu ingin bicara dengan kenalan ibu." Kata ibuku tiba-tiba,
"Ya. Tentu." Kataku.
"Baiklah. Nikmati sebisamu." Kata ibuku dan ia berpaling menjauh.

Aku mulai berjalan. Kakiku gugub mencari tempat nyaman untuk diduduki. Ketika aku menemukan kursi kosong dekat balkon, kulihat seseorang berdiri sendiri disana. Seorang lelaki seperti sedang memandang sesuatu. Rasa lelahku untuk duduk hilang, ingin rasanya menemuinya dan melihat apa yang dilihatnya. Kaki ini rupanya bergerak tanpa aku harus menyuruhnya. Ketika aku sampai di balkon, ia sedang memandang ke langit diatas. Ia memakai topeng hitam perak dengan ukiran emas. Ia menoleh padaku, aku sedikit terkejut. Pandangan matanya hitam, misterius. Aku tetap diam di tempat. Ini salahku mengganggu ia sendiri.
"Maaf." Kataku seraya menelan ludah.
"Apa aku mengenalmu?." Katanya.
"Tidak. " Aku memutuskan omonganku. Ia menunggu.
"Maaf. Ini tidak sopan, aku tahu. Maaf." Kataku dan mulai berbalik meninggalkannya. Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku begitu gugub?. Aku bahkan tak berani menoleh padanya.
"Tunggu." Aku terkesiap diam ditempat. Hatiku mulai gugub. Ia bicara lagi.
"Kau tidak menggangu. Aku hanya sedang melihat bintang." Aku tetap diam dan tak membalikkan tubuhku padanya.
"Apa kau salah satu diantara tamu?." Aku mengambil nafas, dan berbalik padanya.
"Ya." Dia memandang mataku lama sekali. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini, atau bisa dibilang, aku akan langusng membuang muka jika ada seseorang menatapku sebegitu rupanya. Tapi aku tak ada niat membuang muka. Akupun memandang mata hitam itu, mata yg bening diantara batas-batas kelopak topengnya. Rupanya keheningan ini membuatnya sadar lebih dahulu dari aku.
"Apa kau bosan dengan suasana pesta ini?." Katanya seperti mengoreksi. Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan itu.
"Maaf, aku memang tidak begitu suka dengan hal semacam ini."
"Oh. Bisa kulihat itu." Katanya seraya tersenyum.
"Kalau kau tak keberatan, mungkin kau mau melihat pemandangan dari sini." Katanya lagi seraya menatap langit luas diatas. Aku melihat arah yang ia lihat. Langit luas dan hamparan bintang terbantang indah diatas kita, seakan-akan karpet hitam menutup kami. Indah.. Luas..
“Aku belum pernah melihat bintang seindah ini.” Kataku memuji. Lelaki itu memandangku.
“Kupikir, diluar istana kau bisa melihat yang jauh lebih indah dari ini.” Katanya dengan tertawa.
“Ya, tapi singguh...” Aku berjalan maju manuju bibir balkon dan tetap memandang langit. “Ini sungguh indah.” Aku tidak menolehkan wajahku menatap lelaki dibelakangku. Aku benar-benar menikmati suasana ini.
Lama dalam keheningan..
“Aku tidak pernah menyetujui pertunangan ini.” Kata lelaki disebelahku, nada suaranya menerawang. Aku menolehkan muka padanya. Terheran-heran dengan apa yang ia ucap. Ia membalikkan wajah dan menatapku.
“Ini adalah acara pertunanganku.” Aku spontan menghindar darinya. Jantungku berdegub kencang, rasanya ingin lari dari hadapannya.
“Kau Pangeran.” Aku berkata pelan, hampir seperti bisikan. Ia tetap diam.
“Sejujurnya, gadis itu sangat cantik. Dia adalah keluarga kerajaan dari negeri seberang. Ia putri bangsawan, dia baik pada semua orang, awal aku bertemu dengannya. Aku pikir ia adalah malaikat yang diturunkah Tuhan. Dia amat.. Sempurna.” Aku menunggu.
“Tapi, aku tidak bisa mencintainya. Kau pun pasti berpikir ingin menikahi orang yang kau cinta kan?.” Katanya, dan ia memandangku. “Apa aku menakutimu?”
“Mungkin.” Kataku gugub. “Kau mungkin harus kembali memakaikan cincin di jari tunanganmu, sebelum ada seseorang tahu kau bersama orang lain disini. Maafkan aku.” Aku berjalan menjauhinya. Perasaan bersalah campur sedih menggerautiku. Tunggu, Sedih?.
Aku meninggalkan ia berdiri mematung. Sungguh aku tidak tahu apa yang telah kupikirkan. Kata-kata itu melantur begitu saja dari mulutku. Mungkin tidak sopan, tapi aku tahu aku sudah berbuat benar. Atau, aku yang salah?. Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyadari bahwa ia adalah seorang Pangeran. Aku terhenti dari jalanku, sesuatu membendung mataku...
“Siera! Oh tuhan. Darimana saja kau?.” Ibuku terhuyun-huyun mendatangiku.
“Maaf, aku terlalu jauh berkeliling. Ibu, kau tak apa-apa?.” Kataku.
“Yah, tentu. Tidak sayang, ibu pikir kau melarikan diri karena....” Aku tersenyum.
“Kau menangis?.” Kata ibu lagi dengan pandangan mengoreksi. Aku terkejut, Menangis?
“Oh, tidak Bu. Aku tidak apa-apa.” Kataku meyakinkan.
“Baiklah.” Tampaknya ibu tidak yakin.
“Sebenarnya, para pengawal sedang berkeliling dengan gelisah. Dan sejujurnya, ibu sangat yakin acara ini seharusnya sudah daritadi dimulai. Tapi melihat keadaan, mungkin sang pangeran melarikan diri dari pertunangan. Ibu barusan mendengar bisik-bisik bahwa sang putri sedang cemas karena calon tunangannya hilang.” Aku terdiam.
“Bisakah kita pulang sekarang?.” Kataku memohon. Ibu spontan memandangku kaget.
“Tapi acara ini belum berakhir..”
“Baiklah aku saja yang pulang. Ibu tidak keberatan kan jika disini sendirian? Sungguh bu, ada yang harus aku lakukan.” Kataku. Jujur, aku begitu bodoh hingga aku cengeng begini. Tapi aku benar-benar ingin pulang. Ibuku tetap diam.
“Baiklah. Pulanglah. Bawa antar jemput kita, lalu suruh kembali..”
“Tidak bu, aku pulang sendiri saja. Sungguh aku tidak apa-apa. Aku membawa mantel. Ibu tak perlu khawatir.” Ibuku diam. Tapi aku sudah memasang tampang tidak betah sehingga ibuku mengambil nafas dan akhirnya mengangguk.
“Trims bu.” Aku segera pergi tanpa menoleh pada ibuku lagi. Dan ketika aku sadar aku jauh dari istana, tanpa aku harus aku memulai, air mata ini jatuh..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS