The Letter

Jumat, 21 Desember 2012

Wanita itu terduduk diam dan tenang dengan kertas kuning ditangannya. Matanya menelusuri tulisan yang sedang dia baca. Ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sama sekali. Padahal seharusnya dia tahu surat itu adalah jawaban atas setiap pertanyaan hatinya yang tak pernah terucap.
Dia menaruh kertas itu dimeja, meneguk kopinya yang mengepulkan asapnya sejak tadi. Matanya memandang keluar jendela. Menatap hujan deras yang membasahi setiap inci jalanan diluar.
Matanya yang coklat tua membendungkan air mata yang perlahan-lahan membendung penuh dikelopak matanya. Wajahnya tidak menunjukkan mimik sedih, dia meneteskan air mata begitu saja, seakan-akan dia telah lama memimpikan dapat menangis seperti itu.
Kurasa, tangis yang dia rasakan sebelum ini lebih menyiksa. Membuat cekung wajahnya menampakkan betapa bergejolaknya pikirannya. Membuat kantung mata hitam dibawah pelupuk matanya menghitam jelas jika diperhatikan dengan seksama.
Dia wanita yang sangat cantik. Dengan garis wajah halus mengenalkan bahwa dia adalah wanita yang tenang, jenis wanita yang lebih suka menghabiskan waktunya dirumah dengan membaca, menulis, atau mendengarkan musik klasik. Sesuatu dalam dirinya terusik, sesuatu yang membuat wajah cantiknya berubah menjadi sendu dan sayu.
Aku menghampirinya seraya membawa note kecilku ditangan. Wajahnya terkejut melihatku, lelaki tak dikenal yang membawa buku kecil duduk tepat diseberang dirinya. Aku tersenyum sebentar, lalu memberikan sapu tangan sutraku padanya dengan lembut. Jelas sekali dia sadar bahwa aku mengamati dia sejak tadi, karena aku yakin orang disekitar kami tidak sadar bahwa wanita ini menangis dalam diam.
"Ambillah." Kataku lembut. Mimiknya membuatku sedikit terusik. Aku tahu, ikut campur dalam urusan orang lain bukanlah ide yang baik. Tapi aku ingin mengahampirinya, hanya sedekar membuatnya tidak sendirian
.
"Terima kasih." Ujarnya pelan. Aku melipat note kecilku lalu menyelipkan bolpenku didalamnya dan mengantongkannya pada kantung jas sebelah kiriku.
"Kau jurnalis?." Ujarnya bertanya.
"Bukan. Aku penulis." Kataku singkat seraya tertawa kecil. Aku mengerti sekarang, matanya yang coklat itu menatapku heran. Sebaik-buruknya wanita, bertemu lelaki sepertiku akan merasa heran atas sikapku yang tidak begitu jelas.
"Apa aku mengenalmu?." Dia tertanya lagi. Aku terdiam dan hanya dapat melihat dirinya dengan kaku.
"Tidak. Tidak sekarang." Kataku singkat. Dia melipat sapu tanganku dengan mahir lalu menyodorkannya padaku di atas meja.
"Terima kasih untuk kebaikanmu. Maafkan aku. Tapi aku tidak mengenal anda." Katanya singkat. Dia membereskan tasnya lalu berdiri siap untuk pergi. Aku berdiri spotan dan tidak bisa menghentikan dia.
Mengapa harus kulakukan itu? Dia adalah wanita yang baru kutemui beberapa hari lalu. Wanita yang ketika kutemui pertama kali sedang berjalan berdua dengan suaminya, suaminya seorang pengacara terkenal ditempat ini. Hingga suatu saat berlalu kulihat wanita itu mengenakan pakaian serba hitam untuk menghadiri pemakaman suaminya yang baru meninggal beberapa hari setelahnya.
Aku tidak mengerti. Jika dia adalah sasaran tokoh dalam bukuku nanti. Aku bisa mengarangnya, mengarang kisah hidupnya, seperti fiksi. Tidak perlu harus mewawancarainya bukan?
Diluar tinggal gerimis kecil. Aku berlari mengejarnya dan mendapati dia berjalan cepat dengan mantel yang menutupi kepalanya.
"Kau meninggalkan kertasmu di meja." Kataku seraya memberikan kertas itu padanya. Dia menatap mataku sebentar, matanya coklat bening. Dia tidak mengambil kertas di tanganku.
"Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud ikut campur. Aku hanya.." Ucapku terpotong dengan kata-katanya.
"Kau penulis. Kau tahu mana yang perlu ditulis dan mana yang tidak." Katanya. Aku terdiam.
"Aku benar-benar minta maaf." Kataku dengan menyesal. Dia menunduk sebentar, lalu menatapku lekat-lekat.
"Aku tidak akan bercerita apapun denganmu. Kau tahu aku hanya seorang janda. Tidak ada satu kisahpun yang kau butuhkan dariku." Katanya dengan senyuman. Bukan. Bukan itu Ujarku dalam hati
.
"Aku tidak ingin menulis apapun tentang dirimu.."
Aku tidak melanjutkan lagi. Suarakuku tercekat, bibirku tak bisa mengutarakan apapun. Matanya yang coklat bening melihatku dengan tenang. Sesuatu dalam dirinya membuatku ingin selalu mencarinya, membuatku hampir setiap hari mengunjungi cafe tempat dirinya pergi membawa buku bacaan yang berbeda setiap harinya. Dan dia janda. Sedangkan aku, aku adalah mahasiswa yang beberapa bulan lagi akan lulus dan menjadi sarjana. Jelas kami berbeda. Tapi perasaan ini tidak akan berbeda.
"Terima kasih." Katanya dengan tersenyum.
"Kau bisa membawa kertas itu jika perlu. Aku tidak membutuhkannya lagi. Aku sudah mengerti. Kau tidak perlu mencari jawaban yang sama pada pertanyaan yang sama pula kan?." Katanya bergurau. Lalu dia berbalik pergi. Meninggalkanku sendiri dengan kertas ditanganku.
Aku kembali menuju cafe tempatku meninggalkan tasku. Dan mengambil tempat duduk yang diduduki wanita tadi. Aku membuka lipatan kertas kuning ini dan mendapati tulisan,
"Malam itu dingin dan bulan bersinar terang saat aku sadar bahwa hidup seseorang tidak akan terbaca dengan apapun. Aku terlalu dibutakan dengan materi, sayangku. Hingga cintamu tak terdapati lagi oleh hati ini. Cinta yang kita bawa hingga raga ini menyatu. Tapi kaki ini telah melangkah jauh, cintamu selalu disini, tapi diri ini tidak. Kuhempaskan semua bagai belati yang menusuk kelopak mawar merah yang cantik. Ringkihan nyawa ini sakit, sayangku. Diri ini terlalu kotor untuk kau sebut 'cintamu'. Tapi kau selalu membawa bahagia dengan tulus, tapi aku membuangnya begitu saja bahkan disaat aku tahu itu haram kulakukan. Aku mencintaimu sayangku, biarkan cairan kotor ini menggerogoti diri ini hingga habis. Hingga suatu saat disuatu tempat nanti, kulihat tangis bahagiamu yang lega melihatku pergi.." -R
Aku mengambil nafas panjang sembari melipat kertas itu lalu mengantonginya di saku jaket. Baru beberapa menit lalu aku merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kalinya dengan seorang wanita yang sudah memiliki suami. Tapi baru beberapa detik kemudian aku merasa bahwa cinta adalah sesuatu yang sakral. Aku tidak merasa hina telah mencintai wanita ini, wanita yang telah mati-matian mencintai suaminya hingga ajal mengambilnya. Cinta adalah sesuatu yang terlalu lama dikorbankan hingga terkadang diri ini tidak sadar sudah sejauh mana kita telah dibutakan. Terlalu suci untuk disebut kotor. Tapi cinta tahu, cinta tahu dimana letak ketulusan itu berada.
Terkadang, seseorang yang terlalu berarti bagi hidup kita akan merubah hidup kita ketika dia sudah tidak ada. Dan itu akan menjadi jejak hitam dalam hati kita, bahwa dia pernah melewati hati ini.
Dan wanita bermata coklat bening itu. Kurasa dia sudah mengerti, dan tangis dalam diamnya adalah tangis bahagia yang dimaksudkan dalam surat kecil ini. Sebuah kisah kecil yang tak akan kutulis dalam bukuku nanti, tapi kusimpan sebagai kisah abadi tentang cinta yang tak akan pernah mati.

Dear, Desember.

Jumat, 07 Desember 2012

Aku terdiam di sudut kursi disaat hujan turun. Gemuruh berbunyi kencang saat aku mulai mengetik kisah ini padamu, ya padamu yang akan membaca kisah ini.
"Bagiku, mengenal seseorang tidak hanya sekedar mengenalnya. Tapi mengingatnya. Mengingat setiap kisah ketika bersamanya.
Dia adalah sosok yang seakan tidak pernah peduli akan hidup orang lain. Sosok yang jelas sekali tidak ingin aku tahu seluk beluk hidupnya, sosok yang tidak akan pernah ingin aku tahu siapa dia sebenarnya.
Dan Tuhan selalu punya jalan lain, kami dipertemukan dengan sifat dan kisah yang berbeda. Dia adalah sosok pendengar yang baik, dia selalu menatap mataku saat aku bercerita entah apa kisah itu. Sosok yang jauh diatas pikiranku, dia sungguh baik.
Aku menangisi sesuatu disaat aku bahkan tidak mendapati dirinya yang melihatku, aku menangisinya mengharap dia tahu betapa aku peduli padanya. Aku berdoa dalam diam, berharap dia tahu betapa aku ingin dia mengerti bahwa aku disini selalu mengharap yang terbaik dalam dirinya. Aku tersenyum disaat dia bahkan tidak menoleh sedikitpun saat aku berharap dia sekedar menatap mata ini.
Alasan dimana hati ini direngut rasa sayang yang bahkan tanpa disadari telah menyakiti raga ini. Rasa sederhana dimananya namanya adalah alasan bagiku untuk terus menangis demi membuatnya sadar akan rasa ini.
Dia adalah yang pertama, yang membuatku bertahan akan sikapnya yang selalu buatku bertanya-tanya sejauh mana sayang ini padanya. Sayang yang berubah menjadi tulus hingga suatu saat harus berlalu.
Hati bukan bongkahan barang yang harus selalu didiamkan. Hati adalah barang yang harus dirawat. Barang yang layak dibersihkan, ditaruh di tempat yang seharusnya. Bukan sesuatu yang pantas didiamkan dan diletakkan tidak pada tempatnya.
Karena suatu saat kau akan sadar, barang itu menangis, menangisimu, mengharap kau selalu menjaga barang itu.
Raga itu hampir menyatu, dia mengerti diriku, begitu juga diri ini yang mengerti dirinya, yang selalu mencoba menjadi tempat naungan tawa disaat dia membutuhkannya dari kerasnya kehidupan ini.
Mencintaimu adalah anugrah. Tapi bukan untuk kupertahankan. Mencintaimu adalah tangis yang suatu saat harus terhapuskan oleh tawa. Mencintaimu adalah ucap yang suatu saat akan terganti..."
Aku menangis. Ya, tau kah kau? Aku bukan wanita yang mudah melupakan sesuatu. Hujan diluar hampir sebanding dengan air mata yang menetes di pipi ini. Aku mengingat kisah dimana aku pernah menulis sebuah kisah dimana aku berkhayal kau pergi, kau pergi jauh dengan adanya seseorang yang lain dalam hidupmu.
Dan aku disini terdiam. Melihatmu menggandeng tangan orang lain. Tapi aku sadar, dengan mengingat kisah aku mengerti, sedalam itulah cinta ini padamu. Cinta yang dengan susah payah kupertahankan sampai seseorang tiba dihidupku, membangunkanku, mengelus rambutku dan mengatakan "Aku disini, jangan menangis lagi..", yang membisikkan padaku bahwa aku sedang dalam mimpi buruk. Tidak, ini bukan mimpi buruk, bersamamu adalah mimpi indah. Dan aku tidak melupakan itu.
Maafkanlah diri ini. Semua canda tawa yang dilewati adalah mimpi indah yang tak terelakkan. Jangan pernah lupakan itu, karena aku disini, tidak akan melupakan itu sampai kapanpun. Sampai suatu saat aku bertemu lagi denganmu dengan kehidupan yang berbeda
Aku mengambil nafas panjang, membersihkan air mata diwajah ini lalu tersenyum. Berharap tidak hanya aku disini yang tersenyum, tapi dirinya. Yang kuharap membaca kisah ini jauh disanaya,
Terima Kasih.

Filosofi Kecil

Minggu, 21 Oktober 2012

Dalam suatu titik kehidupan, kita akan bertemu dengan kata 'pilihan' dimana satu-satunya jalan yang kita lewati adalah memilih. Selain itu, kita juga akan bertemu kata 'menyesal' dimana saat itu kita hanya bisa terus melanjutkan tanpa harus menoreh kata penyesalan. Dan yang menurut saya paling menakutkan adalah 'kesempatan kedua'. Kita diberi perjanjian untuk melakukan semua hal dalam hidup sekali, hanya sekali.
Bagaimana semua ini berlangsung adalah bagaimana kita melaksanakan.
Dunia ini terus berputar. Dan selama dunia ini berputar, posisi kita tidaklah selalu diatas, kita memang harus merasakan bagaimana rasanya dibawah. Terkadang saat dimasa kita berada dibawah, itu adalah masa dimana kita lebih banyak merenungkan diri, menjabarkan momen kehidupan kita sebelumnya dan memilah mana yang menurut kita pantas kita nilai, simpel saja, penilaian itu hanya; salah dan benar.
Saat kita dihadapkan pilihan diantara banyak pilihan. Lari bukanlah jalan keluar, diam bukanlah tindakan penyelesaian, tapi memilih. Walau kita semua harus menyadari bahwa memilih akan membawa cobaan baru, tapi itulah hidup. Kita seakan diberi tantangan setiap berada di puncak.
Apa yang kita lakukan dulu bukan 'kesalahan', aku tidak pernah setuju dengan kalimat itu. Aku lebih suka menyebutkan 'pembelajaran'. Tidak ada yang salah didunia ini, Tuhan tidak pernah melakukan kesalahan dalam mengaturnya. Kita hanya dituntut untuk belajar dan terus belajar agar tidak melakukan sesuatu yang sama. Karena kita adalah makhluk sempurna yang diciptakan Tuhan, kita memiliki akal yang luar biasa dimana kita dituntut untuk terus berpikir dan mencari tahu sesuatu yang bahkan bisa sekecil melekul hingga sesuatu yang besar menyerupai jagat raya. Kita diciptakan dengan sifat berperasaan dimana kita dapat merasakan sakit, bahagia, kecewa, terluka, marah, dll. Maka dari sifat itu kita bahkan tidak bisa dikendalikan, sehingga kita bisa menyebutnya,
"tidak ada yang sempurna kecuali Tuhan."
Terkadang kita tidak pernah mengerti bagaimana kita harus bertindak dan berubah. Maka yang kita lakukan adalah melakukan banyak tindakan yang menumpuk dan harus dipetanggung jawabkan di masa depan. Kita lupa kita siapa, kita lupa kita ini apa, kita lupa kita harus seperti apa.
Manusia oleh Tuhan diciptakan atas dasar untuk saling melindungi, menjaga, mempercayai, dan membantu satu sama lain. Bahkan sebagai manusia kita lupa apa yang menjadi amanat Tuhan pada kita. Mengapa bisa begitu? Apa yang terjadi pada kita?
KIta hidup membawa bekal dari orang lain. Orang lain memberi kita pelajaran pada kita. Kita diperkenalkan dengan dunia mereka yang berbeda dengan dunia kita. Kita disambut dengan sesuatu yang beda dari yang biasa kita temui. Pengalaman adalah guru paling manjur didunia. Karena tanpa teori dan rumus kita dapat langsung mempraktekkannya pada kehidupan kita.
Diri kita ini seperti pohon yang rimbun. Dari cabang satu maka akan muncul cabang-cabang baru dari cabang pusatnya. Dari kepribadian kita maka akan muncul tindakan-tindakan dan konsekuensi dari tindakan kita. Daun-daunnya gugur dan berubah setiap musim. Seperti banyak orang yang berbeda dan muncul lalu berperan dalam kehidupan kita. Pohon itu kokoh, tapi tetap saja dapat rubuh dimakan waktu dan dihancurkan oleh manusia lain. Seperti kita, yang dapat jatuh karena orang lain dan meninggal di akhir usia.
Bersyukur adalah kunci utama dalam kehidupan. Pikirkan saja bahwasanya kita hidup atas dasar kebaikan, atas dasar keajaiban bahwa kita dipilih Tuhan untuk merasakan pasang-surutnya menjadi makhluk yang bermain dalam pola yang rumit. Semakin kita dewasa menyikapinya, semakin dekatlah rasa bersyukur itu, karena apapun yang sudah terjadi dan yang telah mendewasakan kita, itu adalah kartu keberhasilan yang diberikan Tuhan. Seakan-akan kita selesai melewati ronde pertama dan masih akan terus kita dapati ronde berikutnya hingga finish.
"Kitalah planet yang hidup itu, Sophie! Kitalah kapal besar yang berlayar mengelilingi matahari yang membakar alam raya. Tapi kita masing-masing adalah juga sebuah kapal bermuatan gen-gen yang melayari kehidupan. Jika kita sudah membawa muatan ini dengan selamat ke pelabuhan berikut; berarti hidup kita tidak sia-sia. ―Jostein Gaarder(Penulis novel filsafat 'Dunia Sophie')
"Anda tidak bisa mengajari sesuatu kepada seseorang. Anda hanya dapat membantu orang itu menemukan sesuatu dalam dirinya." -Galileo Galilei (Filsuf dan Pakar Matematika Italia)
"Banyak orang takut mengatakan apa yang mereka inginkan. Itulah mengapa orang-orang itu tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan." -Madonna (aktris dan penyanyis AS)
"Pada saat saya berfikir bahwa saya telah belajar bagaimana hidup, sebenarnya saya telah belajar bagaimana cara untuk mati." -Leonardo Da Vinci (seniman Italia)
"Tidak ada waktu yang terbuang percuma jika anda menggunakan pengalaman dengan baik." -Rodin (seniman Prancis)
"Sesuatu yang kita hadapi tidak selalu bisa dirubah, namun kita tidak bisa mengubah sesuatu sampai kita menghadapinya." -James A. Baldwin (Sastrawan AS)

"I need more energy. More literature. Pure of mind, Dee."

Selasa, 28 Agustus 2012

Bukan yang pertama sebenernya. Tapi sekali lagi, mbak Dewi Lestari bikin karya luar biasa yang bikin hati para pembaca terdiam, merasakan, dan mengakui apa sebenarnya maksud dari cinta, mimpi, dan harapan. Aku pribadi sendiri mengakui bahwa karya mbak Dee itu khas, dari bahasanya, hingga alur ceritanya. Tapi dari semua novel luar biasanya mbak Dee, Supernova (Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh) adalah karya sastra terumit yang pernah aku baca. Tapi dari situ aku tahu, kegeniusan seseorang tidak hanya terletak dari cara dia menyelesaikan berpuluh-puluh lembar soal berhitung dan logika. Tapi dari pengaturan bahasanya dan pengalaman berimajinasi yang bikin selembar kertas dapat terisi penuh hingga tercipta lebih banyak lembaran lagi. Bukan perbandingan yang adil memang, antara 445 halaman novel dengan 30 soal berhitung. Jika dua tantangan ini diberikan pada dua manusia yang berbeda kegeniusannya, akan terlihat bahwa tidak ada satupun manusia tidak mampu didunia ini.

"Perahu Kertas". Aku hanya sebagian orang penggemar novel ini yang menuliskan sesuatu di blognya. Sebelumnya aku pernah menemukan beberapa fans yang memuja karya mbak Dee yang satu ini melalui blognya. Dan ya, novel ini memang luar biasa. Dan setelah tau bahwa mas Hanung Brahmantyo menciptakan film berdasarkan novel ini makin membuat para pembaca tertarik dan penasaran seberapa jauh imajinasi mereka dengan penggarapan film ini. Aku pribadi, menyukai film yang di produksi oleh StarVision ini. Film ini menceritakan bagaimana hati manusia yang begitu penuh kejutan dan tidak bisa ditebak. Antara mimpi, cinta, dan harapan tidaklah berbeda jauh.

"Carilah orang yang nggak perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau memberikan segala-segalanya." -Dee(Perahu Kertas).




Kugy adalah tokoh favoritku, bagaimanapun juga, tokoh satu ini terkadang mengingatkanku pada diriku. Bagaimana cara dia berlari menjauhi Keenan yang dia cintai karna dia tahu bahwa hal yang mustahil bagi mereka adalah bersatu. Bagaimana dia mengatur pola hidupnya untuk bisa melupakan Keenan dengan cara apapun, walau dia sendiri tahu bahwa melupakan Keenan adalah sesuatu yang mustahil dia lakukan. Dan, cita-citanya yang tak jauh beda denganku. Dia ingin menjadi penulis dongeng, sedangkan aku hanya ingin menjadi penulis. Harapannya yang unik ini rupanya membawanya pada Keenan yang memiliki harapan yang saling membutuhkan dengan Kugy.


Dan Keenan. Lelaki ini mengingatkanku pada sahabatku. Semangatnya dan cita-citanya. Keenan adalah lelaki sederhana yang memiliki permintaan tak lebih, dia ingin menjadi Pelukis. Mimpinya, yang membuatnya dibenci oleh ayahnya tetap membuat dia berjuang untuk tetap menjadi dirinya sendiri. Keenan mengajarkanku untuk tetap mengejar apa yang kumau, karna sejauh mana kita melangkah, kita pasti akan kembali sebagai diri kita sendiri. Semangatnya buatku sadar bahwa dunia ini terlalu penuh denga orang-orang palsu. Orang-orang yang bahkan malu dengan apa yang mereka impikan. Maka dari itu aku bangga dengan cita-cita dan harapanku, dan aku tidak ingin lari dari itu.


Kisah cinta mereka begitu sederhana. Mereka sadar bahwa mereka saling membutuhkan. Tapi rintangan pasti ada, karena hidup tanpa rintangan tidak akan ada apa-apanya. Di akhir cerita, Kugy yang sudah mendapat pekerjaan menemukan lelaki yang dia cintai, begitu juga dengan Keenan yang dalam mengejar mimpinya ditemani oleh gadis dari Bali yang dia sayangi. Tapi tetap saja, jika memang jodoh, mereka pasti akan bertemu lagi. Kisah mereka ibarat salah satu kutipan dari novel Perahu Kertas ini, "Kadang-kadang langit bisa keihatan seperti lembar kosong. Padahal sebenarnya tidak. Bintang kamu tetap di sana. Bumi hanya sedang berputar." Mengerti kan? Mereka hanya berpisah untuk sesuatu yang selayaknya berputar, anggap saja takdir sementara, karna apapun yang terjadi, takdir yang sebenarnya akan berjalan dengan aturan dan kodratnya hingga akhirnya bisa bersama.


"Karena hati tak perlu memilih, ia selalu tahu kemana harus berlabuh." -Dee(Perahu Kertas).





"Rectoverso". Buku ini berisi 11 cerita pendek dengan alur dan kisah yang berbeda. Tapi tidak hanya itu saja, setiap cerita dibumbui dengan setiap lagu yang tuliskan melalui lirik sebagai pembuka awal sebuah cerita. Buku ini adalah buku karya Dee yang pertama kubeli, dan aku langsung menyukai setiap detail kisahnya. Tapi dari sebelas kisah dari buku ini, Firasat adalah satu-satunya kisah yang membuatku merinding. Kisah sederhana yang dibumbui dengan lirik lagu Firasat yang dinyanyikan oleh Marcell lalu diaransemen kembali oleh Dee sendiri ini berkisah tentang seorang wanita yang mengagumi seorang pria yang akhirnya akan meninggal di akhir kisahnya nanti. Alur ceritanya damai, sederhana, dan tidak begitu rumit.

“Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah dengan diri kita sendiri; dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi manusia yang kita cinta.” -Dee(Rectoverso)


"Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh". Novel ini adalah berdedikasi anatar sains dan sastra, keunikan bukunya membuat setiap kalimat menjadi sulit dipahami karena mengandung unsur bahasa latin dari sains. Guru Bahasa Indonesia di les ku pernah mengatakan, bahwa seseorang yang pernah membaca Supernova ini bisa dikatakan sudah jago dalam memahami kata-kata sastra tingkat tingi. Disamping itu, kisahnya yang tidak seperti pada umumnya tentang seorang pasangan kelainan seksual/homo, seorang wanita berkeluarga yang memiliki pasangan selingkuhan, dan seorang wanita pelacur tingkat kakap. Tiga tokoh tadi diceritakan dengan satu alur yang sama dan memiliki hubungan yang satu dengan lain. Ceritanya yang umum tapi jarang dilirik orang banyak ini membuat para pembaca seakan memiliki keluasan pengetahuan dalam hidup disudut yang bahkan tidak pernah mereka temui dan mereka pedulikan sekalipun akan menjadi bahan bacaan baru. Selain itu buku ini juga sudah terbit dengan 4 seri, yakni Supernova : Ksatia, Putri dan Bintang Jatuh, Supernova : Akar, Supernova : Petir, dan Supernova : Partikel. Setiap serinya memiliki keunikan dalam penceritaan dan pertokohan, tetapi seri pertama memiliki keunikan paling khas sebagai buku sastra, sains, dan fiksi di Indonesia. Supernova memang luar biasa.





"Semua perjalanan hidup adalah sinema. Bahkan lebih mengerikan. Darah adalah darah, dan tangis adalah tangis. Tak ada pemeran pengganti yang akan menanggung sakitmu." -Dee(Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh).


Tiga buku ini adalah sebagian dari karya milik Dewi Lestari. Hanya saja 3 buku ini adalah buku yang menginspiratifkan diriku secara pribadi. Post ini khusus kubuat untuk buku Perahu Kertas yang barusan saja difilmkan, dan rasa terima kasihku pada Dewi Lestari yang telah menciptakan kisah luar biasa dalam memandang arti hidup, cinta, harapan dan mimpi-mimpi yang akan selalu memberiku pelajaran berharga untuk saling menghargai.

Terima Kasih.

Extraordinary People

Senin, 06 Agustus 2012

Seseorang memberiku semangat lagi hari itu. Aku tahu aku pasti bisa kembali, bagaimanapun caranya. Karena jalan seseorang adalah ketika seseorang itu terlalu lama melangkah, tapi dia berhenti sejenak dan menoleh kebelakang, menatap dirinya yang dulu lalu menemukan dirinya yang sesungguhnya.
Aku selalu ingin menjadi penulis. Menulis kisah adalah tempatku pulang. Menulis kisah membuatku menatap hidup lebih sederhana, melihat setiap orang dengan karakter yang berbeda didunia aslinya. Ketika didunia mengatakan mereka kejam, jahat, dan egois, aku bisa membuatnya menjadi kebalikannya. Itu bukan kepalsuan. Ini tentang bagaimana dia bisa berubah menjadi seperti itu. Hal itu mendasari teori bahwa karakter seseorang belum tentu asli dari dirinya. Karena kita adalah kertas putih, kita tidak tahu apa-apa. Orang-orangnya yang membuat sifat seperti itu. Tapi dalam kisahku, aku bisa merubah orang itu menjadi orang yang luar biasa dengan menutupi sifatnya. Aku percaya semua orang memiliki sifat yang baik dalam hatinya.
Hal ini mengingatkanku pada Anne Frank. Aku pernah membaca sebuah buku berjudul Diary of Anne Frank. Kisah bagaimana keganasan manusia pada saudaranya sendiri. Walau keluarga Anne adalah Yahudi/Holocaust, dia hanya seorang anak berumur 9 tahun yang melihat dunia dengan matanya sendiri. Dia dan keluarganya termasuk korban Nazi pada Perang Dunia Ke II.
Salah satu kutipan kusukai dari bukunya adalah "Human greatness does not lie in wealth or power, but in character and goodness. People are just people, and all people have faults and short comings. But all of us are born with a basic goodness." (;Kebesaran manusia bukan terletak pada kekayaan atau kekuasaan, tapi pada karakter dan kebaikan. Orang tetaplan orang, semua orang memiliki kesalahan dan kekurangan, tapi kita semua dilahirkan dengan kebaikan). Bagiku, kata-kata semacam ini keluar dari pikiran seorang korban Nazi adalah kata-kata yang luar biasa, melihat bagaimana manusia-manusia itu memperlakukan mereka bak hewan ternak, menganiaya, menembakkan peluru ditubuh mereka seperti mainan setiap hari, dan dia masih berumur 9 tahun. Mimpinya sederhana, dia hanya ingin menjadi penulis, dia ingin memiliki seorang suami kelak, dia ingin hidup bahagia dengan keluarganya, dia ingin bekerja untuk anak-anaknya kelak. Bagaimana dunia bisa setega ini dengan manusia yang seperti itu?
Aku merasa beruntung menjadi seperti ini. Orang biasa yang hidup didunia yang luar biasa. Aku belajar melihat seseorang. Kurasa dunia ini adalah sekolah paling luar biasa. Kita tidak belajar dengan teori, tapi dengan melihat dan merasakan bagaimana kita hidup. Menemukan orang yang berbeda setiap saat. Aku pernah bertemu seorang laki-laki tukang salon, dia terlihat mengerikan, tato ditubuhnya dan garis wajahnya seperti preman. Tapi sahabatku memperkenalkan dia padaku, dan responku hanya tersenyum. Ketika dia memermak rambutku, laki-laki itu hanya tersenyum sesekali melihatku.
"Kenapa mas?"
"Enggak mbak. Lain kali lebih banyak bersyukur ya." Aku mengerutkan kening. Bagaimana orang ini bicara seperti itu? Aku tetap diam.
"Maaf mbak kalo lancang. Tapi saya bisa melihat." Aku terguncang. Melihat? Melihat bagaimana?
"Maksudnya mas?" Laki-laki itu tersenyum lagi dibalik rambutku sambil menganyunkan guntingnya.
"Saya bertahun-tahun jadi tukang salon. Kalo nyari uang sih saya bisa, kerja di tempat yang lebih dari tempat ini, maaf ya mbak. Tapi dari sini saya bisa belajar." Sahabatku disebelah tersenyum dibalik blackberry-nya. Aku masih tidak mengerti.
"Buat saya, jadi tukang salon ga hanya benakin rambut, ga kaya di tipi-tipi cowoknya mlengse semua. Tapi dari sini mbak.." Laki-laki itu menunjukkan matanya.
"Jangan kaget. Tapi saya bisa melihat orang dari matanya. Dari cara dia melihat dirinya dicermin waktu saya sedang motong rambutnya. Saya bisa tahu dia sudah beban masalah apa aja, saya bisa tahu dia orang-orang biasa ato orang-orang yang ga biasa. Saya bisa lihat garis wajahnya waktu diam, saya bisa tahu bagaimana orang itu sudah sejauh mana mengendalikan dirinya dengan masalahnya." Aku diam.
"Ga kaya ini nih, saya bisa tahu dia banyak masalah. Kalo dibandingin mbak, ga ada apa-apanya." Katanya sambil nunjuk sahabatku yang disebelah disebelah.
Ya, aku tahu sahabatkuku ini. Bahkan mungkin lebih tahu daripada laki-laki ini. Tapi dari teorinya, dari cara berpikirnya, aku tahu kami sama. Dia, aku, dan temanku. Kami punya cara yang berbeda untuk jadi beda. Dan aku hanya tersenyum. Ini pertama kalinya aku merasa pulang setelah perginya sahabatku. Sahabat terdekatku. Sahabatku yang tahu seluk-beluk ku dari nol hingga saat ini.
Dari kisah ini, aku mendapat pelajaran seperti kutipan dari C.S Lewis(1898-1963). Penulis buku petualangan-fiksi Chronicles of Narnia. "We meet no ordinary people in our lives." (;Kita tidak bertemu dengan orang sama dalam kehidupan kita)
Untuk sahabatku ini. Mungkin bagian terakhir ini kupersembahkan untuk dia. Karena bagiku, dia salah satu orang-orang luar biasa dalam daftarku. Sudah lama kami tidak bertemu. Tentu saja, bagaimana tidak. Dan aku selalu berdoa kami bisa tertemu nanti. Mungkin rencana Tuhan untuk tidak mempertemukan kami, karena kami punya mimpi untuk sukses kelak. Dia ingin ke Jepang. Dan aku selalu ingin bisa ke Inggris. Kami punya mimpi dan cita-cita yang beda. Dan dia mengingatkanku semua saat itu, dia buatku ingin mengerjarnya lagi. Seperti kata Andrea Hirata, "Di sekitar kita ada kawan yang selalu hadir sebagai Pahlawan." Dan kini aku mengerti maksudnya. Aku tidak tahu sudah sejauh mana sahabatku ini mengejar semua mimpinya, tapi aku yakin dia pasti sudah jauh daripada diriku, dan aku tidak iri, aku bahagia, aku selalu berdoa yang terbaik untuknya, untukku, dan untuk mimpi kami.
Malam itu dia berhasil buatku merasa pulang walau aku sudah dirumah dan tanpa aku harus bertemu dengan dia lagi. Semangatnya dalam bidangnya buatku berpikir sudah waktunya aku membuat kisah lagi. Dan hari ini terjadi. Dia adalah orang kedua setelah ayahku yang benar-benar percaya aku bisa menjadi penulis. Dan aku sangat bahagia mendengarnya.
Kami bicara tentang rencana kuliah dan masa depan. Dan bagaimana masa depan rasanya begitu cepat? Rasanya baru kemarin aku pulang sekolah menaiki sepeda kuningku, rasanya baru kemarin aku mengumpulkan tugas membuat Novel dari guru Bahasa Indonesia SMPku, rasanya baru kemarin aku melihat kakak kelasku wisuda, nama, tempat dan tanggal lahir, begitu juga universitas dan jurusannya dibacakan diatas panggung didepan seentaro sekolahan ketika aku baru mendaftar SMA.
Sebentar lagi, aku akan merasakan itu. Kali ini, aku tidak sebagai siswa baru. Aku akan menjadi alumni, atau lebih lepatnya, calon mahasiswa bersama ribuan bahkan ratusan calon di Indonesia. Termasuk sahabatku yang berada di Jakarta. Terima kasih.
"It matters not what someone is born, but what they grow to be." -J.K Rowling
"I want to write, but more than that. I want to bring out all kinds of things that lie buried deep in my heart." -Anne Frank
"You can make anything by writing." -C.S Lewis
"Begin at the beginning and go in 'till you come to the end; then stop." -Lewis Carroll
"Life is a long lesson in humanity." -J.M Barrie
"Some of us get dipped in flat, some in satin, some in gloss. But every once in a while, you find someone who's iridescent. And when you do, nothing will ever compare." -Flipped (Movie)
"..and in that moment. I swear, we were Infinite." -Stephen Chbosky
"Why you still writing?" "..because I love it, and I need it.." "How you've liked to be remembered?." "Someone who did the best she could what the talent she had." -J.K Rowling

Last Kiss

Rabu, 18 April 2012

"..pernah dengar bagaimana seorang kelas bawah menjadi jutawan? Itu adalah kisah yang biasa ditelinga kita. Tapi terjadi secara kenyataan justru jarang sekali. Jadi, buat apa kita takut mengambil satu langkah untuk perubahan kita di masa mendatang?."
Semua orang bertepuk tangan seraya tertawa. Gadis didepan itu tersenyum malu lalu melanjutkan.
"Aku ingin berterima kasih untuk guru-guruku. Beliau-beliau adalah pahlawan, aku tak akan sampai disini tanpa kalian. Terima kasih."
Deretan guru-guru bertepuk tangan seraya menganggukkan kepala. Wajah mereka bahagia dan bangga.
"Aku juga berterima kasih untuk keluargaku, terutama orang tua. Sungguh, ayahku pernah bilang bahwa perjalanan kita masih panjang. Aku tahu itu, setelah aku keluar dari sekolah ini, aku akan bertemu kehidupan yang sesungguhnya. Dan aku harus siap, dan kurasa ribuan calon mahasiswa disini harus siap. Terima kasih."
Katanya dengan mata berkaca-kaca. Aku tersenyum setuju.
"Dan yang terakhir, untuk kawan-kawanku. Terima kasih, mungkin beberapa dari kalian ada yang tidak mengenalku. Tapi jujur saja, aku tetap menganggap kalian keluargaku. Percayalah, setelah acara ini, kita akan berubah menjadi orang yang luar biasa. Luar biasa untuk diri kita dan orang-orang disekeliling kita. Karena ini semua baru awal. Kurasa setelah kaki ini tidak menginjak tempat ini lagi, tugas kita adalah melanjutkan semua dengan bekal yang kita bawa. Aku yakin, orang tua dan guru-guru kita adalah orang yang paling bangga pada kita. Kita tidak mungkin menghapus kebahagian mereka, bukan? Yah.. kita adalah pemenangnya pada hari ini."
Ujarnya dengan tawa. Semua bertepuk tangan. Beberapa diantara kami ada yang berdiri menghormati. Aku berdiri dari tempat dudukku dan memberi tepuk tangan paling simpati seperti ribuan siswa dan siswi yang memakai baju wisuda berwarna hitam, toga dan begitu juga ijazah kelulusan. Kami semua berpelukan, aku memeluk teman disebelahku. Aku tahu aku tidak akan begini lagi nanti. Seorang guru memberi aba-aba pada kami, pada hitungan ketiga kami melempar toga kami kelangit. Kami tertawa, bahagia, terharu dan menangis bahagia, kami berpelukan. Sinar kamera blizt ada dimana-mana, menangkap momen setiap wajah kami yang berbeda-beda. Aku berlari menuju ibuku. Ibuku berdiri tersenyum diujung lapangan, tangannya menyentuh tas hitam kecil. Rambutnya diikat sempurna dan sederhana. Dibalik keriput wajahnya aku tahu dia bahagia. Mau tidak mau aku tersenyum bahagia saat tiba didepannya. Aku mengambil tangan ibuku dan mencium punggung tangannya. Ibuku merapikan rambutku dan memelukku.
"Ayahmu pasti bangga." Katanya. Aku mengangguk dalam diam lalu melepas pelukan ibuku.
"Aku tahu."
Kataku singkat. Ibuku tersenyum padaku.
"Aku akan kembali, pulanglah jika sudah selesai bu, jangan tunggu aku."
Kataku.
"Baiklah."
Ibuku mengecup keningku lalu berbalik pergi. Aku berdiri ditempatku lalu berbalik menuju gerumbulan siswa yang sedang berfoto ria. Aku menghampiri temanku, Dan. Dia berlari dan memelukku. Kami tertawa bersama. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, dia mengecup ubun-ubun kepalaku ketika kami berpelukan. Aku melepas pelukan kami.
"Dasar orang gila."
Kataku dengan tawa. Dia tertawa tak percaya dan berpose dengan lagak model pakaian renang pria. Aku memasang wajah jijik sekaligus tawa. Dia merangkulku menuju gerumbulan yang lebih ramai.
"Aku tidak percaya kita akan pergi dari neraka ini."
Katanya tersenyum. Aku menatapnya dari samping.
"Jangan bodoh, kita akan merindukan tempat ini. Percayalah."
Kataku. Kami tiba di gerombolan siswa-siswa yang sedang berkumpul. Kami saling berjabat tangan, berpelukan dan merangkul satu sama lain. Kurasa hari ini adalah hari dimana orang asing bahkan lupa bahwa dirinya asing, dan orang populer lupa bahwa dia telah berjabat tangan dengan orang cupu. Kami satu. Hari ini kita sama. Seperti kata temanku yang berpidato tadi. Kami adalah pemenangnya hari ini. Dan melirikku sebentar lalu memberi aba-aba bahwa waktunya kita berdua pergi. Aku berpamitan dengan teman perempuanku. Lalu memeluk mereka. Kami akan saling menghubungi ketika sudah memasuki hari pertama di universitas, kami berjanji itu. Aku pergi dan Dan menyusulku dari belakang. Aku berjalan menunggu, tapi Dan tidak muncul di belakangku. Ketika aku membalikkan tubuhku kebelakang. Dia memakaikan toga dikepalaku sembari menciumku. Ciuman kami singkat. Dan ketika kami sudah menjauh satu sama lain. Aku terdiam tak percaya.
"Kau mabuk."
Kataku singkat. Dia tertawa.
"Tidak. Aku hanya.."
Dia terdiam, mencari kata-kata yang pas. Aku menunggu.
"Aku hanya melakukan itu sebelum terlambat."
Katanya sambil tersenyum. Aku menyipitkan mataku. Menatang dirinya yang tertawa polos. Rambutnya yang hitam berantakan, matanya yang coklat lembut terlihat karena pantulan matahari pagi, jas sedikit kusut dengan kerah yang dibuka satu kancing tanpa dasi. Dan adalah pria paling aneh. Dia selalu memakai attitude berpakaian yang terlalu sederhana. Ketika semua siswa laki-laki memakasi dasi, dia tidak memakainya. Aku mengambil nafas panjang lalu berkata.
"Kau tidak akan terlambat untuk itu."
Kataku mengingatkan. Dia tertawa sambil menatap sinar matahari. Kelopak matanya ditutup dan kulitnya yang putih terpantulkan sinar matahari. Aku melihat setiap lekukan wajahnya, lingkaran matanya, garis hidungnya yang mancung, lekukan bibirnya yang tersenyum, dagunya yang melengkung sempurna, lehernya yang panjang serta jakunnya. Aku menghampirinya dan jarak kami hanya beberapa jengkal jari saja.
"Kita akan bertemu lagi nanti kan?."
Kataku pelan. Dia membuka matanya dan menatap mataku. Wajah kami dekat sekali.
"Di Paris, ya."
Katanya singkat. Aku tertawa. Janji kami untuk bertemu nanti.
"Aku akan datang lebih dulu."
Kataku menantang. Dia menarik bibir kirinya membentuk senyuman manis diwajahnya.
"Kupastikan perkataanmu benar."
Katanya. Aku tersenyum lalu berbalik meninggalkan dia.
"Hei!."
Dia memanggilku. Aku berbalik dan menatapnya.
"Pastikan itu ciuman pertamamu. Dan.."
Dia terdiam lagi. Aku menunggu.
"Aku ingin memberi untuk yang terakhir kalinya juga."
Katanya serius. Aku terkejut, aku menatap wajahnya dengan serius. Tapi wajah itu menunjukan ekspresi yang sama denganku. Aku mengambil nafas pelan lalu menjawab.
"Baiklah. Sampai ketemu di Paris."
Kataku tersenyum. Dia tertawa dan aku berbalik meninggalkannya..
Aku berdiri di pinggir jembatan rubin di pusat kota. Lalu lalang orang bersepeda dan berjalan kaki membuatku tidak nyaman. Bagiku, akan lebih baik jika aku disini sendirian. Ditanganku terdapat setangkai bunga mawar merah. Aku mengambil kelopaknya satu persatu dan membuangnya di hulu sungai.
Hembusan angin meniupkan satu kelopak bunga yang baru saja kuambil. Kelopak itu terbang menjauh dariku menuju kiriku. Aku menatap kelopak itu dan berkata dalam hati. "Dan.. itukah kau?"
Aku tersenyum sedih. Aku menatap mawarku lagi. Lalu kuputuskan untuk berjalan meninggalkan tempat itu dan menatap bangunan di sekeliling jembatan. Bayangan menara Eiffel terlihat dari sini. Kuturunkan kepalaku melihat kakiku berjalan.
"Lihat kan? Aku sampai lebih dulu sekarang..
Kataku dalam hati.
"Bagaimana kabarmu sekarang? Bukankah seharusnya kau disini? Jalan disampingku?..
Aku termenung diam.
"Hmm.. aku tahu kau disini. Aku merasakan tanganmu disini..
Aku tersenyum menatap tangan kiriku.
"Maafkan aku tidak bisa menunggu ciuman itu..
Kataku sembari berhenti berjalan. Aku berdiri tepat di depan deretan bayangan menara Eiffel dan diujung jembatan rubin.
"Kau tahu aku mencintaimu bukan?...
Kataku dalam hati.
"kau harus tahu itu.."
Kataku mengakhiri. Lalu kuambil mawarku tadi dan membuang semuanya di sungai. Kubiarkan mawar itu jalan dengan arus air yang damai. Seperti dia yang pergi dengan damai..

Ungu

Senin, 16 April 2012

Ada yang memukul kakiku, tepatnya pahaku. Sebentar lagi aku akan menyentuh tempat itu. Tapi kenapa aku hanya diam berdiri? Pukulan itu semakin keras, dan sambil lalu sesuatu bergetar dari kantong celanaku. Seseorang meneriaki namaku dengan keras.
"Masih berniat melihat sekarang jam berapa?" Seorang gadis membisiku dengan nada datar. Seluruh tempat itu dipenuhi tawa. Rupanya bisikan itu terdengar ditelingak mereka. Aku membetulkan tempat dudukku, mataku lelah sekali. rambutku berantakan, aku sadar itu. Kuambil ponselku di kantong celana dan melihat ada 2 panggilan tak terjawab dan 3 pesan belum dibaca. Pukul menunjukkan masih diangka 22.31 menit. Aku mendengus tertawa.
"Sebenarnya ini masih pagi." Kata temanku yang duduk dibangku sebelah setir.
"Hmm.. begitu ya?" Kataku menghina. Yang lainnya tertawa kecil.
"Well, bangunkan aku pukul 11." Kataku seraya mengatur posisi tidurku.
"Hey! kau akan melewatkan suasana malam tahun baru yang menyenangkan, ini baru awal." Kataku teman perempuan disebelahku yang jarinya menunjukkan bahwa kami berada di jalan layang. Dibawah kami ratusan, bahkan ribuan lampu kendaraan menginari hampir seluruh jalan raya, suara-suara terompet berdengung seirama.
"Kau berusaha menunjukkan padaku bagaimana bentuk dari sebuah kemacetan?." Kataku bertanya, dan menyimpulkan. Dia tidak menjawab, wajahnya menunjukkan keterkejutan. Yang lain tertawa.
"Aku benar kan?." Kataku polos. Teman perempuanku menghela nafas.
"Baiklah, tidurlah sekarang." Rupanya aku telah mengubah atmosfer dalam mobil ini berbeda dengan 5 menit yang lalu ketika aku masih bermimpi menggapai sesuatu yang tidak kuketahui. Kusenderkan kepalaku di kaca mobil. Menatap titik-titik lampu di luar. Kurasa malam ini akan menjadi malam tahun baru paling aneh, biasanya aku pergi bersama keluargaku. Makan malam bersama disebuah restoran atau main kerumah teman ayah sambil menikmati secangkir teh atau kopi hingga jam menunjukkan pukul 12 malam.
Tapi tidak hari ini. 6 temanku bersama-sama menginjinkanku keluar malam ini. Setelah apa yang kulewati di sekolah, rupanya orang tuaku mewajari bahwa anaknya butuh sedikit hiburan bersama teman-temannya. Tapi justru disitulah poinnya, aku lebih suka menghabiskan waktu tahun baru dikamar, makan kue tar sendirian, ditemani tv dan acara favorit, atau mungkin dibumbui deretan film-film box office dan air putih. Kurasa itu sudah menyenangkan. Aku mencoba menutup mataku, tapi yang ada malah aku segera membuka kelopaknya. Aku menelan ludah dan menatap jalanan lagi. Ponselku bergetar tepat ketika aku menarik tanganku dari cepitan antara kepala dan jendelan mobil. Kuambil ponselku dari kantong dan mendapati 4 pesan belum terbaca. 2 panggilan tak terjawab tadi adalah temanku yang membantu membangunkanku tadi. Kubuka kotak masukku dan pesan itu berasal dari 4 orang yang berbeda, yang pertama dari Tomi, dia adalah kakak kelasku yang pernah naksir padaku dulu, tapi kutolak karena aku tidak bisa balas naksir padanya. Yang kedua dari Chella, dia adik sepupuku yang berada di Palembang sekarang. Yang ketiga dari Ayahku, kurasa beliau masih sempat mengetik beberapa kata untuk putrinya yang sedang hura-hura dimalam tahun baru, lebih tepatnya nimbrung hura-hura, karena aku tidak merasa hura-hura sama sekali sekarang. Dan yang terakhir dari Ian, "tumben dia sms aku." dalam hati berkata.
"Bukannya tadi bilang dibanguni jam 11?." Kata temanku yang sedang menyetir dan melihatku lewat spion depan. Aku mengangkat bahu.
"Ngecek sms." Kataku singkat sambil menggoyangkan ponselku kearah spion. Kembali pada inboxku. Kubuka pesan pertama, dari Tomi. Pesan itu berbunyi,

"Aku sudah menonton film Anne Frank, bagus sekali. Yah.. seperti yang kau bilang. Lagi dimana sekarang? Tahun baru sama keluarga?" Aku menghela nafas dan menjawab pesan itu. 

"Baguslah.. semoga kau dapat pelajaran dari kisahnya. Aku lagi tahun baru diluar sama temen-temen." Kupencet Send. Dan pesanku terbalas. Pesan kedua dari suadara sepupuku Chella.

  "hai.. sudah ngecek email? Aku ada kabar tentang penerbit, kurasa kau harus melihatnya. Kau bisa segera diskusi dengan penerbit soal bukumu." Aku menjawab dengan semangat.

  "Akan kucek nanti setelah pulang dari acaraku. Terima kasih ya. Selamat tahun baru, salam buat keluarga." Kupencet Send dan pesanku terbalas. Pesan ketiga dari ayah.

  "Pulang jam berapa? Ibu menyisakan mie ayam untukmu, jangan pulang terlalu pagi. Ayah minta maaf soal kemarin lusa." Aku menatap keluar jendela. Butuh beberapa menit untukku membalas pesan ayahku.

  "Terima kasih untuk ibu, akan kuusahakan pulang sehabis jam 12. Lupakan ayah.. nanti kita bicara lagi." Kataku singkat, lalu pesan balasanku terkirim. 

 Pesan terakhir dari Ian. Kuambil nafas panjang. Dia sudah lama tidak menghubungiku, setelah tahun baru 2 tahun lalu. Ketika itu kita berebut mengucapkan selamat tahun baru, hingga akhirnya dia mengalah karena menurutnya, kata-kata "Lady's first" adalah kebanggaannya, konyol sekali. Tapi aku menghargai itu.

  "Kembang apinya banyak ya?." 

 Aku memencet tombol scroll bawah, tidak ada. Hanya itu saja pesannya? Aku tertawa tidak percaya. Kualihkan mataku menuju jalanan diluar. Kami terjebak macet diatas jalan layang, dari atas sini, aku bisa melihat banyak kembang api menyala keatas langit dari petak-petak rumah di Jakata. Ada yang berwarna merah, kuning, warna-warni, dan Ungu

"Aku baru tahu ada kembang api berwarna ungu" Aku menatap kembang api berwarna ungu, tapi warna itu hanya keluar satu kali dari 7 kembang api yang keluar. Kulihat ponselku dan waktu sudah menunjukkan pukul 23.15. Aku berhutang waktu dengan teman-temanku yang kusuruh membangunkanku pukul 11 tadi. Aku membalas pesan Ian. 

  "dan salah satunya berwarna ungu, aku tidak tahu ada kembang api warna ungu" Selama beberapa saat, ponselku bergetar. Ian membalas. 

  "Kau beruntung, aku hanya melihat warna merah disini." Aku tersenyum. 

  "Adil, warna ungu itu hanya sekali keluar." Ian membalas lagi. 

  "35 menit lagi." Aku mengecek jam di ponselku. 23.25. Kutunggu hingga menit menunjukkan tepat pukul 23.30 lalu kubalas pesan Ian. 

  "30 menit lagi." Ponselku bergetar, ada pesan baru. Tapi bukan dari Ian. Kubiarkan pesan itu, aku hanya menunggu pesan Ian. Ponselku bergetar lagi, dari Ian. 

  "23 menit lagi. Ada permintaan?." Aku tersenyum. Memikirkan apa yang harus kubalas dari pertanyaannya. 

"Aku ingin kau kembali." pikirku dalam hati. Tapi itu tidak mungkin, aku tahu dia sudah bersama wanita lain. Aku kembali menatap jalanan diluar, kami sudah keluar dari kemacetan. 

Aku ingat bagaimana pembicaraan kami ketika 2 tahun lalu di tahun baru yang sama. Dia berkata dia menyukai seseorang yang memiliki inisial huruf depan dari namaku, aku tahu bisa saja ratusan orang Indonesia, bahkan belum termasuk orang luar Indonesia. Tapi dia mengenalku, aku mengenalnya. Kami mengenal satu sama lain sama baiknya seperti sepasang kekasih. 

  "13 menit lagi." Balasku.

Ian tidak membalas pesanku lama sekali. Bahkan ketika aku mengecek jam, pukul sudah meunjukkan tepat di 23.56. 

Aku rindu padamu.

 Itulah yang ingin kukatakan. Mungkin balasanku yang mengatakan 13 menit tadi adalah peringatan bagi Ian bahwa aku tidak ingin membahas tentang keinginan, dia menghargaiku, dia tahu aku bagaimana. Dalam hati aku hanya bisa merengut, aku tidak akan bisa berhubungan dengan dia seperti malam ini, melalui pesan. Ponselku bergetar lagi. Kubuka ponselku cepat-cepat, Ian

  "3 menit lagi. Aku minta maaf" Air mataku membendung. 

Aku tidak tahu mengapa, hati ini sakit sekali. Ingin rasanya mendatanginya dan menyuruhnya mengatakan itu tepat didepanku, seakan aku membencinya. Tapi tidak, aku tidak pernah membencinya, aku merindukannya.  

"2 menit. Aku tahu." Jawabku singkat. 

Kini air mata itu turun tepat ketika aku menoleh melihat langit diluar. Ponselku bergetar. 

  "58 detik. Terima kasih." Semua teman-temanku berteriak di mobil, jam detik didekat tape mobil menunjukkan.. 56,55,54,53,52,51,... 

Telingaku membendung. Seakan tidak ada suara yang terdengar, kutolehkan mataku melihat teman-temanku yang berteriak bahagia, meniup terompet didalam mobil, tertawa lepas. Hanya aku yang terdiam, aku gugub melihat detik. 42,41,40,39,38, .. Aku ingin keluar dari mobil ini. 

Apa yang terjadi denganku? 15,14,13,12,.. ponselku bergetar. 

  "Inisial itu, memang dirimu, selalu dirimu." Air mata ini turun dalam diam tanpa isakan diantara tawa dan bahagia ini. Entah aku harus bahagia, marah, sedih, terluka? 10,9,8,7,6,5,.. 

"Kau juga, selalu.." Kupencet send tepat ketika detik menunjukkan pukul 00.00.

 
"Selamat tahun baru.."

Kataku dalam bisikan.

Fiksi

Sabtu, 31 Maret 2012

Aku berjalan disuatu sore saat itu. Benda yang kubawa hanya 3, mantel plus pakaianku, sepasang sepatu bootku, dan badanku yang dengan tidak sengaja ikut dengan kedua benda yang kusebutkan tadi. Entah kenapa apa yang harus kubawa, seperti jam tangan, ponsel, dompet, bahkan ikat rambut hanya akan membuat diriku makin lengkap ketika sedang pergi. Tapi tidak hari ini, aku ingin pergi dengan diriku apa adanya. Bahkan aku tidak membawa uang sepersen pun.
Titik-titik hujan masih membasahi permukaan tanah aspal dikakiku, tetesan sebesar kacang masih membekas di muka daun yang hijau. Sesuatu membawaku pergi hari ini. Aku merasa lemah, ini bukan tentang sakit, lebih spesifik sakit fisik, mentalku lah yang bermasalah. Bahkan aku berani mengakuinya jika boleh, karena memang, sesuatu menumpahkan air sedingin es keatas kepalaku. Buatku sadar bahwa aku harus bangun dan melihat diriku apa adanya.
Setiap orang memiliki kelebihan masing-masing bukan? Pintar, cerdas, genius, rajin, malas, bodoh, kreatif, dll. Tapi bagiku, aku bahkan tidak tahu apa kelebihanku. Kuurungkan niatku untuk tidak batuk, terdengar aneh jika begitu. Seakan didalam diriku ada dua orang sedang berbicara, sedangkan mulutku tetap diam, tapi hati dan telingaku mendengarnya.
Ketika kutolehkan kepalaku ke arah kiri, kulihat anak kecil sedang mengelus-elus perut ibunya yang sedang mengandung. Sambil tersenyum sedikit, aku menoleh kearas kanan, seorang ayah membelikan ice cream pada anak laki-lakinya yang sedang bermain bola, lalu mereka bersulang ice cream bersama, hingga puntung ice cream si anak hampir jatuh. Aku tersenyum kecil. Kuturunkan kepalaku kebawah, menatap tanah tempatku berdiri. Lalu mataku menatap depan. Seorang pelukis sedang menggambar danau didepannya, banyak orang lalu lalang menatap lukisan di pelukis yang hampir jadi. Kuperhatikan lukisan itu dari arahku berdiri. Sambil menarik nafas aku berjalan menuju pelukis itu.
Dia adalah seorang bapak tua yang rambutnya hampir berubah, dia memakai kaca mata persegi hitam yang berganggang tebal, dia mengamati detail kanvas hingga matanya hampir tidak kelihatan dibalik kaca matanya. Kuasnya yang besar dia celupkan pada gelas kecil dimeja disebelah kiri kanvas. Dia menaruh paletnya lalu mengambil sapu tangan di kantong jaketnya lalu mengelap cat merah dikanvasnya, sedikit sekali, lalu dia masukkan sapu tangannya. Ketika aku keheranan, aku mencoba melihat meja kecil itu dan menemukan beberapa lusin tisu bersih yang rupanya, belum tersentuh sama sekali.
"Lukisan Anda bagus Tuan." Ujarku memecah konsentrasinya. Dia menoleh padaku, mengatur kaca matanya lalu menyipitkan matanya, mencoba mengingat wajahku.
"Aku tidak mengenalmu. Tapi, terima kasih. Ini belum selesai." Ujarnya panjang. Aku mengangkat bahu.
"Aku bisa mengerti." Kataku singkat. Bapak tua itu mengangkat alis, dia tidak mengerti ucapanku.
"Dari cara Anda melukis sedetail itu, dan sapu tangan Anda untuk mengelap cat yang salah padahal ada tisu yang jaraknya tak jauh dari tangan Anda. Anda sangat..." Dia menunggu.
"Konsistan." Kataku melanjutkan. Dia tersenyum kecil lalu mengambil kuasnya lagi dan menceburkan rambut kuas di gradasi warna hijau di palet.
"Sudah berapa lama kau berdiri disitu anak muda? Belum ada yang berani mengomentariku seperti ini sampai hari ini." Katanya sedikit tertawa. Aku menggaruk kepalaku lalu berkata.
"Maafkan Saya." Ujarku polos. Dia menaruh kuasnya lagi di gelas lalu mengambil kuas kecil dan menceburkannya di gradasi warna kuning. Mataku mengawasi setiap gerakan lunglai bapak ini, bagaimana caranya memegang kuas, bagaimana caranya dia mengolah tangannya hingga lukisan menyerupai bentuk aslinya. Ketika mataku memandang pemandangan didepan kanvas, pohon-pohon yang hijau, sungai licin berwarna biru tua, bunga lotus yang berwarna putih pekat, perahu berwarna coklat, tunggu. Ketika mataku memandang lukisan, kurasa ini bukan kesalahan.
"Anda mewarnai pohon dengan warna biru?." Kataku bertanya. Aku hanya bisa menyimpulkan hal bodoh, aku baru tahu seorang pelukis seorang buta warna.
"Aku lebih suka memakai versiku sendiri." Ujarnya singkat. Aku masih tidak percaya. Seharusnya Biru adalah warna untuk danaunya, sedangkan dilukisan, danaunya hampir menyerupai warna pukit pekat, warna lotusnya. Perahu berawarna coklat kekuning-kuningan dan sungainya berwarna merah gradasi indah hingga mendekati merah muda. Jika dilihat, lukisan ini tidak begitu buruk, malah aku menganggapnya bagus, tapi warnanya, warnanya tidak sesuai.
"Apakah versi Anda, warna air adalah putih pekat?." Kataku polos. Dia terdiam sebentar.
"Didalam versiku, sesuatu yang nyata bisa menjadi kebalikannya." Ujarnya singkat. Aku berpikir sebentar.
"Anda penyuka fiksi?." Kataku menyimpulkan. Dia tertawa.
"Kita semua menyukai fiksi anak muda. Itu yang membuatmu berdiri disini sekarang." Katanya. Aku terdiam, menunggu. Dia menaruh kuasnya lalu berbalik kearahku.
"Apa alasanmu kemari?." Katanya bertanya.
"Aku bosan." Kataku singkat.
"Kalau begitu mengapa tidak dirumah, membaca buku atau menonton tv?."
"Terlalu membosankan."
"Hm.. hidup memang kadang membosankan. Bahkan untuk anak seusiamu yang jauh lebih segar daripada diriku." Aku masih berpikir.
"Itukah maksud Anda? Fiksi tidak membosankan?."
"Fiksi adalah sesuatu yang tidak sengaja ada, bahkan diciptakan, itu diciptakan untuk kesenangan. Fiksi itu indah, itu membuatmu membayangkan sesuatu yang bahkan belum pernah dibayangkan orang lain. Bahkan bisa menjadi pengingat yang abadi." Katanya. Aku terdiam. Aku menyukai fiksi, bagaimana orang ini tahu aku penyuka fiksi? Bagaimana dia tahu alasan aku berdiri disini sekarang karena aku merasa tak berguna karena tidak punya kelebihan apa-apa? Atau aku memang tidak menyadari dari awal?
"Aku ingin jadi penulis." Kataku. Dia menghentikan lukisannya. Menungguku.
"Aku merasa bodoh saja, rasanya itu bukan hal yang akan diterima siapapun." Kataku lurus. Kucoba utarakan semua.
"Aku ingin orang mendengarku, aku ingin orang menyukai tulisanku, bahkan walau mereka tidak menyukaiku, itu tidak masalah, setidaknya mereka mengenalku melalui.. karyaku." Kataku pelan. Dia menoleh padaku lagi.
"Cobalah membuka dirimu, aku yakin fiksi dimatamu tidak akan beda dimata mereka." Ujarnya. Aku terdiam. Berpikir sebentar. Mungkin aku tidak sepintar orang-orang yang kukenal, aku bahkan termasuk bodoh, aku tidak bisa melakukan apa yang mereka lakukan. Tapi aku memiliki sesuatu yang bahkan tidak bisa dimiliki mereka, seperti aku yang tidak bisa memiliki apa yang mereka miliki. Aku merasa terbuang, tertinggal, tidak diperhatikan siapa-siapa, aku seperti makhluk kecil diantara mereka. Kurasa bukan masalah jika aku mencoba, toh sesuatu yang tidak nyata suatu saat akan menjadi nyata. Seperti Fiksi.
Aku tersenyum, seakan mengucap terima kasih pada pelukis ini. Dia tersenyum padaku pula. Setidaknya hari ini aku bisa mengerti mengapa mentalku sedikit terganggu, aku butuh teman yang sama dunianya sepertiku, seperti pelukis ini. Dia menutup lukisannya dengan tanda tangan kecil di kanan bawah lukisannya. Dia manaruh palet, kuas dan pelaratan lainnya seraya aku membantunya. Dia berdiri dan berkata padaku sebelum pergi.
"Setidaknya, meski mereka belum mengenalmu, aku akan menjadi orang pertama yang akan membeli bukumu. Kurasa tidak buruk membaca ceritamu sambil melukis wonderland." Ujarnya. Aku tertawa lepas, begitu juga dengan dia, si pelukis genius.

Carousel

Sabtu, 10 Maret 2012

Sesuatu tertinggal ketika aku menatap matanya. Dia mungkin sama dengan sekian orang yang pernah menatapku ketika aku bicara, tapi tidak benar-benar tanpa kuketahui. Jika aku menyadari dia berada tak jauh dariku, aku mancari wajahnya, memandangnya hanya sekian kali dalam beberapa detik. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk sekedar melihat apa dia benar-benar ada, benar-benar disana, berdiri didekatku. Aku membaca sesuatu dalam diri ini, dia bagai kamar kosong yang pernah kumasuki, kutinggali, dan dia bersamaku disana. Semua berubah ketika kami memutuskan meninggalkan kamar itu, pergi menjauh dan berlawanan arah. Kau menemukan hidupmu, begitu juga diriku. Kini kami hanya bisa saling menatap, melihat dalam-dalam mata itu, mengingat bahwa kami masih menyimpan kamar itu. Jauh di dalam mata kami.
Tapi sesuatu menghalangi kami untuk membuka kamar itu. Sesuatu menarik kami, magnet yang sudah terikat dengan diri ini. Ini bukan tentang bukan bagaimana cinta kami tak bisa bersatu, ini tentang bagaimana kami masih belum menyelesaikan sesuatu yang tertinggal, bahkan hati ini tak akan bohong jika berpuluh manusia telah singgah dihati ini, jika ada seseorang, maka dialah yang satu-satunya, bagaimanapun caranya. Seseorang berkata, "lebih baik tidak mengenalkan.. itu jauh lebih baik.." tidak bagiku. Kau bahkan yang membawaku hingga saat ini, bediri berdampingan dengan seseorang yang bahkan tak terbaca ketika aku masih bersamamu. Hidup dan cinta bukan sesuatu yang salah, hanya saja terlalu dini jika kita memahami terlalu dalam. Terkadang aku hanya bisa terdiam, mengingat dan melihat mata itu. Aku bahkan pernah melihat mata itu lebih lama dari sekarang, lebih dan memahami bagaimana diriku dari caramu menatap mataku. Mungkin sesuatu yang berputar tak akan bisa dibalikkan kembali..
Ini malam ketiga ketika aku keluar rumah sendirian. Menunduk menahan terpaan angin, kumasukkan kedua tanganku di saku jaket, kutudungkan jaketku, mencoba melindungi rambutku agar tidak berantakan. Kakiku melangkah, menatap kedua kakiku yang saling bergantian melangkah. Mataku tidak memandang arah jalanku, aku hanya melangkah tak tahu kemana kaki ini membawaku, aku sudah hafal jalan ini, kurasa bukan masalah besar bagiku. Sesuatu bergetar di saku jinsku, pnselku, tentu saja. Aku belum mengabarinya sejak tadi siang. Kubiarkan saja, moodku sedang ingin sendiri saat ini.
Suara musik karnaval berbunyi ketika aku sadar aku sudah sampai di sebuah taman karnaval yang terang dan ramai. Aku tidak ingin berada di tempat ramai, seperti kubilang, moodku sedang buruk. Tapi entah mengapa kaki ini melangkah memasuki taman bermain itu. Banyak anak kecil berlarian membawa kembang gula, bermain panah air, ada beberapa sepasang kekasih membawa boneka kecil yang berpasangan. Aku berjalan, melihat-lihat setiap tempat dan sesekali berhenti dan memperhatikan setiap orang bermain. POnselku bergetar lagi, kuambil \ponsel ini lalu kubaca pesannya. "Aku pergi sebentar, nanti kutelpon.." itu bunyi pesan pertama, dan yang kedua "ibumu menelponku, kau dimana?". Aku tertegun, kurasa bukan tindakan yang baik membuat orang tua berpikir ini sudah ketiga kalinya aku keluar sendirian. Aku mengetik tombol dan menulis "aku di taman karnaval, biar aku yang menelpon ibu, aku baik-baik saja.." lalu kumasukkan kembali ponselku.
Kulangkahkan kakiku lagi meninggalkan tempat diriku berdiri tadi. Ditengah tempat karnaval terdapat tempat kosong seperti rumah yang hanya sebesar aula dan hanya ada beberapa orang yang hilir-mudik memasuki tempat itu, kebanyakan adalah sepasang kekasih. Aku memasuki tempat itu dan melihat ruangan bulat dengan kaca yang menutupi sebuah permainan menyala berbentuk bundar, komidi putar. Aku melangkahkan kaki memutari tempat itu, pintu untuk memasuki komidi putar sedang ditutup. Aku berdiri didepan pintu, menatap komidi putar itu. Lampu-lampu dari setiap senti komidi putar itu menyala, bahkan cat dari patung-patung kuda itu masih mengkilat. Dalam hati aku berpikir, kapan terakhir kali aku menaiki mainan ini, mungkin ketika aku masih berumur 5 tahun. Sambil mengangkat alis aku terdiam.
Ketika kupandangi tempat ini dengan seksama, aku menyadari seseorang berdiri disana. Sendirian menatap komidi putar, dia menggenggam ponselnya. Dia disana, sedang melamunkan sesuatu, entah apa, atau menunggu siapa. Tidak ada satupun adrenalin bagiku untuk menghampirinya, menyapanya, ataupun tersenyum. Aku tetap berdiri ditempatku, menatap komidi putar didepanku, begitu juga dia. Aku hanya bisa berkata dalam hati, kami berdiri terlalu dekat, tidak seperti biasanya, kami biasanya hanya bertemu sedekar menatap mata lalu pergi. Jika aku menoleh padanya, aku memiliki beberapa angka persenan kepastian bahwa dia pasti akan menoleh padaku juga. Tapi tidak, seharusnya aku senang bisa bertemu dengannya, bicara padanya, tertawa dan menanyakan kabar. Tidak untuk sekarang. Aku bahkan menurunkan alisku, aku sedih. Sesuatu membuatku tetap berdiri disini, dan aku yakin, jika dia tahu aku disini, mungkin dia juga merasa, sesuatu itu juga menahannya untuk berada disana.
Komidi putar didepan kami tetap terdiam, tapi entah kenapa diriku seakan berputar. Seakan kami tidak mengenal satu sama lain. Inilah yang terjadi, aku menahan hati ini untuk bicara, aku biarkan kamar ini tetap tertutup dan kubiarkan kunci itu kubuang entah kemana. Waktu tidak akan bisa kembali lagi, kami sudah berbeda, mungkin diriku yang berada disampingnya bagai orang lain, dan dia bagiku seperti orang lain juga. Seperti komidi putar, dulu kami menaiki tempat itu bersama, tapi kini, kami turun bersama dan meninggalakn komidi putar itu sendirian, tanpa seseorang yang menaikinya.
Seseorang meneriaki namanya dari kejauhan, aku menoleh dan melihat wanita itu membawa 2 kembang gula lalu memberikan satu padanya. Aku tersenyum kecil, lalu dari arah lain seseorang meneriaki namaku, aku terkejut lalu menoleh. Lelaki itu menghampiriku sambil berlari.
"Bagaimana kau tahu aku disini?" Kataku terkejut. Dia tertawa kecil, tetes-tetes keringat membasahi dahinya. Aku mengelap keringat itu dengan telapak tanganku.
"Feelingku bilang kau disini." Katanya sambil tertawa kecil. Aku tersenyum.
"Ayo pulang." Kataku sambil merangkul tangannya.
"Kau tidak ingin bermain sebentar?." Katanya.
"Tidak, aku janji ini terakhir kali aku keluar sendirian malam-malam. Kau mau berjanji sesuatu?." Ujarku.
"Apa?"
"Aku ingin kau yang menemaniku jika hal ini terjadi lagi." Kataku sambil tertawa kecil. Dia tertawa lalu kamu berjalan.
Sesuatu membuat diri ini membalikkan kepala dan menoleh kebelakang, dia berjalan ke arah berlawanan denganku seraya menggandeng tangan wanita itu. Wanita itu tertawa lalu menyendenkan kepalanya di pundaknya. Aku kemabali menatap depan dan tersenyum sendiri, kurasa sesuatu yang tertinggal itu adalah kunci dari pintu ini. Tapi kubiarkan kamar ini kosong, karena aku tahu pintu ini tak akan terbuka lagi, dia tak akan pernah datang, dan aku pun tak akan membukanya lagi untuknya. Kami sudah jauh, dan aku bisa memahami itu.
...di tempat lain. Lelaki itu menoleh pada wanita yang berjalan dengan lelaki disebalahnya. Dia diam lalu menatap wanita diselahnya dan tersenyum.
Komidi Putar itu tetap diam diantara mereka..

Thank You 2011, Welcome 2012

Minggu, 01 Januari 2012

Ini bukan tentang bagaimana kita belajar dari hal yang pernah kita lalui. Ini tentang gimana kita membabarkan gambar-gambar perilaku kita dulu, sekarang dan gambar kosong yang kita siapkan untuk hari esok. Aku ngerti kenapa banyak orang tua memberi kita gambaran kalau dunia ini terlalu besar, tapi kita tidak boleh merasa kecil, justru karena kita kecillah kita bisa melihat semuanya begitu besar. Kita mau berusaha dan mau tahu sejauh mana mata kita melihat dunia. Gampangannya, bayangin aja dunia ini besar dan manusianya besar-besar juga, serem kan? Yah jangan dipikir seremnya juga, kita cuma punya setidaknya sejengkal jarak buat ngeliat semua. Sempit banget, makanya Tuhan menciptkan kita kecil, karena kita ditugaskan untuk terus mencari tahu, terus berusaha, terus mengagumi kebesaranNya.
Dari tahun ke tahun tentu kita tahu, kita semakin dewasa. Kita semakin tahu mana baik mana benar, mana jalan yang harus dipilih, mana jalan yang harus ditinggalkan. Kembali lagi, ini semua tentang bagaimana "KITA". Kita yang lalui, kita yang jalani.
Semua orang punya harapan buat kedepannya. Ada yang mau langgeng sama pacarnya, ada yang mau rejekinya dilancarin, ada yang mau dikasih umur dan kesehatan yang panjang, dll. Semua pingin yang terbaik untuk diri mereka. Mau gak mau kita memang harus punya harapan, setidaknya ada mind mapping untuk hidup kita kedepannya.
Dan yah.. kita memang masih dikasih umur sampe penutupan 2011. Terima kasih Tuhan, aku bener-bener berterima kasih buat semua yang Kau beri padaku di tahun 2011. Buat keluarga, temen-temen yang jauh sampe yang deket, dan khususnya buat AP terima kasih. Bersyukur buat semua cobaan dan kebahagiaan yang uda dikasih. Terima kasih 2011 untuk semua kenangannya :)
Semoga Tuhan masih memberi yang terbaik sampai penutupan 2012 nanti, amin :)
Happy New Year!
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS