Last Kiss

Rabu, 18 April 2012

"..pernah dengar bagaimana seorang kelas bawah menjadi jutawan? Itu adalah kisah yang biasa ditelinga kita. Tapi terjadi secara kenyataan justru jarang sekali. Jadi, buat apa kita takut mengambil satu langkah untuk perubahan kita di masa mendatang?."
Semua orang bertepuk tangan seraya tertawa. Gadis didepan itu tersenyum malu lalu melanjutkan.
"Aku ingin berterima kasih untuk guru-guruku. Beliau-beliau adalah pahlawan, aku tak akan sampai disini tanpa kalian. Terima kasih."
Deretan guru-guru bertepuk tangan seraya menganggukkan kepala. Wajah mereka bahagia dan bangga.
"Aku juga berterima kasih untuk keluargaku, terutama orang tua. Sungguh, ayahku pernah bilang bahwa perjalanan kita masih panjang. Aku tahu itu, setelah aku keluar dari sekolah ini, aku akan bertemu kehidupan yang sesungguhnya. Dan aku harus siap, dan kurasa ribuan calon mahasiswa disini harus siap. Terima kasih."
Katanya dengan mata berkaca-kaca. Aku tersenyum setuju.
"Dan yang terakhir, untuk kawan-kawanku. Terima kasih, mungkin beberapa dari kalian ada yang tidak mengenalku. Tapi jujur saja, aku tetap menganggap kalian keluargaku. Percayalah, setelah acara ini, kita akan berubah menjadi orang yang luar biasa. Luar biasa untuk diri kita dan orang-orang disekeliling kita. Karena ini semua baru awal. Kurasa setelah kaki ini tidak menginjak tempat ini lagi, tugas kita adalah melanjutkan semua dengan bekal yang kita bawa. Aku yakin, orang tua dan guru-guru kita adalah orang yang paling bangga pada kita. Kita tidak mungkin menghapus kebahagian mereka, bukan? Yah.. kita adalah pemenangnya pada hari ini."
Ujarnya dengan tawa. Semua bertepuk tangan. Beberapa diantara kami ada yang berdiri menghormati. Aku berdiri dari tempat dudukku dan memberi tepuk tangan paling simpati seperti ribuan siswa dan siswi yang memakai baju wisuda berwarna hitam, toga dan begitu juga ijazah kelulusan. Kami semua berpelukan, aku memeluk teman disebelahku. Aku tahu aku tidak akan begini lagi nanti. Seorang guru memberi aba-aba pada kami, pada hitungan ketiga kami melempar toga kami kelangit. Kami tertawa, bahagia, terharu dan menangis bahagia, kami berpelukan. Sinar kamera blizt ada dimana-mana, menangkap momen setiap wajah kami yang berbeda-beda. Aku berlari menuju ibuku. Ibuku berdiri tersenyum diujung lapangan, tangannya menyentuh tas hitam kecil. Rambutnya diikat sempurna dan sederhana. Dibalik keriput wajahnya aku tahu dia bahagia. Mau tidak mau aku tersenyum bahagia saat tiba didepannya. Aku mengambil tangan ibuku dan mencium punggung tangannya. Ibuku merapikan rambutku dan memelukku.
"Ayahmu pasti bangga." Katanya. Aku mengangguk dalam diam lalu melepas pelukan ibuku.
"Aku tahu."
Kataku singkat. Ibuku tersenyum padaku.
"Aku akan kembali, pulanglah jika sudah selesai bu, jangan tunggu aku."
Kataku.
"Baiklah."
Ibuku mengecup keningku lalu berbalik pergi. Aku berdiri ditempatku lalu berbalik menuju gerumbulan siswa yang sedang berfoto ria. Aku menghampiri temanku, Dan. Dia berlari dan memelukku. Kami tertawa bersama. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, dia mengecup ubun-ubun kepalaku ketika kami berpelukan. Aku melepas pelukan kami.
"Dasar orang gila."
Kataku dengan tawa. Dia tertawa tak percaya dan berpose dengan lagak model pakaian renang pria. Aku memasang wajah jijik sekaligus tawa. Dia merangkulku menuju gerumbulan yang lebih ramai.
"Aku tidak percaya kita akan pergi dari neraka ini."
Katanya tersenyum. Aku menatapnya dari samping.
"Jangan bodoh, kita akan merindukan tempat ini. Percayalah."
Kataku. Kami tiba di gerombolan siswa-siswa yang sedang berkumpul. Kami saling berjabat tangan, berpelukan dan merangkul satu sama lain. Kurasa hari ini adalah hari dimana orang asing bahkan lupa bahwa dirinya asing, dan orang populer lupa bahwa dia telah berjabat tangan dengan orang cupu. Kami satu. Hari ini kita sama. Seperti kata temanku yang berpidato tadi. Kami adalah pemenangnya hari ini. Dan melirikku sebentar lalu memberi aba-aba bahwa waktunya kita berdua pergi. Aku berpamitan dengan teman perempuanku. Lalu memeluk mereka. Kami akan saling menghubungi ketika sudah memasuki hari pertama di universitas, kami berjanji itu. Aku pergi dan Dan menyusulku dari belakang. Aku berjalan menunggu, tapi Dan tidak muncul di belakangku. Ketika aku membalikkan tubuhku kebelakang. Dia memakaikan toga dikepalaku sembari menciumku. Ciuman kami singkat. Dan ketika kami sudah menjauh satu sama lain. Aku terdiam tak percaya.
"Kau mabuk."
Kataku singkat. Dia tertawa.
"Tidak. Aku hanya.."
Dia terdiam, mencari kata-kata yang pas. Aku menunggu.
"Aku hanya melakukan itu sebelum terlambat."
Katanya sambil tersenyum. Aku menyipitkan mataku. Menatang dirinya yang tertawa polos. Rambutnya yang hitam berantakan, matanya yang coklat lembut terlihat karena pantulan matahari pagi, jas sedikit kusut dengan kerah yang dibuka satu kancing tanpa dasi. Dan adalah pria paling aneh. Dia selalu memakai attitude berpakaian yang terlalu sederhana. Ketika semua siswa laki-laki memakasi dasi, dia tidak memakainya. Aku mengambil nafas panjang lalu berkata.
"Kau tidak akan terlambat untuk itu."
Kataku mengingatkan. Dia tertawa sambil menatap sinar matahari. Kelopak matanya ditutup dan kulitnya yang putih terpantulkan sinar matahari. Aku melihat setiap lekukan wajahnya, lingkaran matanya, garis hidungnya yang mancung, lekukan bibirnya yang tersenyum, dagunya yang melengkung sempurna, lehernya yang panjang serta jakunnya. Aku menghampirinya dan jarak kami hanya beberapa jengkal jari saja.
"Kita akan bertemu lagi nanti kan?."
Kataku pelan. Dia membuka matanya dan menatap mataku. Wajah kami dekat sekali.
"Di Paris, ya."
Katanya singkat. Aku tertawa. Janji kami untuk bertemu nanti.
"Aku akan datang lebih dulu."
Kataku menantang. Dia menarik bibir kirinya membentuk senyuman manis diwajahnya.
"Kupastikan perkataanmu benar."
Katanya. Aku tersenyum lalu berbalik meninggalkan dia.
"Hei!."
Dia memanggilku. Aku berbalik dan menatapnya.
"Pastikan itu ciuman pertamamu. Dan.."
Dia terdiam lagi. Aku menunggu.
"Aku ingin memberi untuk yang terakhir kalinya juga."
Katanya serius. Aku terkejut, aku menatap wajahnya dengan serius. Tapi wajah itu menunjukan ekspresi yang sama denganku. Aku mengambil nafas pelan lalu menjawab.
"Baiklah. Sampai ketemu di Paris."
Kataku tersenyum. Dia tertawa dan aku berbalik meninggalkannya..
Aku berdiri di pinggir jembatan rubin di pusat kota. Lalu lalang orang bersepeda dan berjalan kaki membuatku tidak nyaman. Bagiku, akan lebih baik jika aku disini sendirian. Ditanganku terdapat setangkai bunga mawar merah. Aku mengambil kelopaknya satu persatu dan membuangnya di hulu sungai.
Hembusan angin meniupkan satu kelopak bunga yang baru saja kuambil. Kelopak itu terbang menjauh dariku menuju kiriku. Aku menatap kelopak itu dan berkata dalam hati. "Dan.. itukah kau?"
Aku tersenyum sedih. Aku menatap mawarku lagi. Lalu kuputuskan untuk berjalan meninggalkan tempat itu dan menatap bangunan di sekeliling jembatan. Bayangan menara Eiffel terlihat dari sini. Kuturunkan kepalaku melihat kakiku berjalan.
"Lihat kan? Aku sampai lebih dulu sekarang..
Kataku dalam hati.
"Bagaimana kabarmu sekarang? Bukankah seharusnya kau disini? Jalan disampingku?..
Aku termenung diam.
"Hmm.. aku tahu kau disini. Aku merasakan tanganmu disini..
Aku tersenyum menatap tangan kiriku.
"Maafkan aku tidak bisa menunggu ciuman itu..
Kataku sembari berhenti berjalan. Aku berdiri tepat di depan deretan bayangan menara Eiffel dan diujung jembatan rubin.
"Kau tahu aku mencintaimu bukan?...
Kataku dalam hati.
"kau harus tahu itu.."
Kataku mengakhiri. Lalu kuambil mawarku tadi dan membuang semuanya di sungai. Kubiarkan mawar itu jalan dengan arus air yang damai. Seperti dia yang pergi dengan damai..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS