realiztic. un-realiztic

Rabu, 24 Juli 2013





1. Picasso :

"39?."
"Hmmm salah." Kataku mengelus dagu. Dia menutup kedua matanya sembari berpikir dibalik pikirannya. Aku tersenyum kecil.
"42?." Aku menggeleng, nyaris.
"Bahkan tidak mendekati benar sekalipun." Kataku. Dia diam.
"Jangan mencampur adukkan tebakan dengan hal sains. Itu tidak masuk akal." Katanya datar.
"Kalau begitu jangan berpikir jawabannya akan mengarah pada dianalisis lukisan Picasso tahun 1800-an." Kataku mencoba mencibir. Dia membuka matanya lalu menatapku. Kedua telapak tangannya dilipat diatas punggung kursi dan dia menyendenkan dagunya dengan lembut. Posisi duduk favoritnya; dia duduk terbalik di kursi berpunggung dan kebiasaan menyendenkan kepalanya diujung.
"Apa yang kau tahu tentang Picasso?." Katanya tertarik. Aku melipat kedua tanganku di kursi, menyendenkan tubuhku lalu berpikir.

Apa yang aku tahu tentang seni? Bahkan tidak ada satu manusiapun yang tidak tahu apa itu seni. Kita berenang dalam air ketuban ibupun dapat digambarnya melalui seni, bahkan sebelum alat cangging dapat memotretnya, seniman Italy, Leonardo DaVinci sudah dapat menggambarnyakannya.

"Aku rasa, dia terlalu berpikir pada satu ruang, satu objek tipikal dari khasnya, kubisme. Dimensinya sendiri. Dia memisahkan dimensinya dengan unsur detailistic. Tapi aku suka, dia orangnya romantis." Kataku. Dia masih memandangku bahkan ketika mataku melihat lantai untuk berpikir tentang Picasso.
"Darimana kau tahu dia romantis?." Katanya lagi, kali ini kerut di keningnya terlihat, dia penasaran. Aku tidak mengerti apa yang menjadi topik kali ini, tapi dia begitu aneh saat itu. Entah matanya, entah pertanyaannya, entah senyumnya.
"Hmm.. entahlah. Menurutku sesuatu yang mistik, unik, dan punya ruang amatiran sendiri dalam konsep karyanya itu romantis." Kataku, bahkan kata-kata itu keluar begitu saja dan dia masih melihatku dengan tenang. Ketika mata kami bertemu, kami berdiam cukup lama, menunggu siapa yang akan bicara selanjutnya. Bukan waktu yang lama jika di nominalkan, tapi bagiku ketika mata itu menangkapku, aku bahkan merasa menemukan sesuatu yang entah kenapa, selama ini aku cari.
"Aku suka sesuatu yang beda." Kataku menambahkan sembari memecah keheningan melankolis ini. Dia tersenyum, dan ekspresi itu yang bahkan hingga 6 tahun ini tidak pernah kusadari, begitu dalam dan berarti.


2. 13 oct 2016 :

Kami berteduh di payung yang sama. Setelah menunggu hampir satu setengah jam dibawah papan jalan diujung halte, dia datang membawa payung biru gelapnya. Terpoyoh-poyoh diantara badai hujan sore itu.

"Maaf ya.." Kataku seraya mengusap-usap telapak tanganku menahan dinginnya udara.
"10 Menit lagi kita jalan, kita terjang hujan. Berani kan?." Katanya bicara padaku. Entah dia mendengarkanku atau tidak. Aku melihat dari samping, rambutnya basah dan matanya tidak fokus melihat jalanan dan mobil lewat didepan kami.
"Aku minta maaf sudah merepotkan, Denger kan?." Kataku lagi, suaraku kali ini aku kencangkan sehingga suara deru hujan tidak akan mengalihkan pendengarannya lagi. Dia menoleh padaku dan melihatku sebentar.
"Tanggal berapa sekarang?." Tanya dia dengan raut wajah polos. Aku tidak percaya, anak ini baik-baik saja kan? Aku mengecek jam tanganku lalu menjawab pertanyaannya.
"13 Oktober. Kenapa?." Dia tampak berpikir. Lalu bicara padaku dengan wajah ceria.
"13 Oktober 2016 nanti kau ingin apa? Impianmu? Cita-citamu?." Katanya tertarik. Aku tidak begitu paham kemana pikiran anak ini, tapi aku tahu satu hal, dia berusaha membuat waktu kami berdiri disini tidak membosankan. Maka akupun memasang wajah bersemangat agar dia tidak kecewa.
"Hmmm.. aku pingin ke Inggris, kuliah disana dan jadi penulis. Kenapa harus 2016?." Kataku bertanya balik.
"Karena 3 tahun dari sekarang pikiran kita mulai matang, dan apapun bisa terjadi. Makanya aku tanya sekarang biar nanti tidak tersesat." Katanya. Aku tertawa lepas, dan dia tertawa kecil.
"Jangan konyol. Bagaimana denganmu?." Kataku lebih tertarik lagi. Dia diam menatap jalan, menerawang entah apa.
"Aku ingin menyusulmu di Inggris, mendaftar di universitas yang sama denganmu, lalu membeli novel terbitanmu." Katanya sembari tersenyum dan masih menerawang dalam didepannya. Aku terdiam lama. Menatapnya tidak percaya lalu tersenyum tenang dan menatap jalan didepanku. Jalan yang juga dipandang dia sejak tadi.

Kurasa percakapan dan kebisuan ini berlangsung lebih dari 10 menit. Lebih dari yang dia aba-abakan tadi. Dan kami menikmati suasana ini dalam diam, menerawang entah apa didepan kami. Selama 6 tahun ini, belum pernah kudengar jawabannya yang seperti itu. Aku tidak berani membantah, tidak berani berargumen, walau aku tahu kepala ini menyimpan pertanya "kenapa?" dan "bagaimana bisa?" tapi semua kukubur dalam-dalam dan kupasangkan nisan diatasnya bertuliskan "semoga saja."


3. Under the Sea :

Lukisan itu biru, setiap garis dari satu bidang ke bidang yang lain terlihat halus dan perpaduan warna yang lembut. Gelembung air nampak bagai gambaran nyata dan dimensi pusaran lautnya terlihat bagai lubang hitam samudra. Aku menyentuh lukisan itu ketika menyadari seseorang berdiri disampingku.

"Under the Sea." Kata pak tua disebelahku. Dan aku berani bertaruh dia adalah pelukisnya.
"Itu nama lukisan ini." Katanya lagi seraya tersenyum. Dan aku membalas senyumannya dengan kagum. Aku suka laut, rahasia lain yang diberikan Tuhan, tempat yang bahkan belum satu manusiapun dapat sampai didasarnya, gudang pengetahuan dan keindahan dibawah bumi yang luar biasa.
"Saya suka pak. Belum ada memesan lukisan ini?." Kataku bertanya. Dia mencibir pelan.
"Belum nak, orang-orang lebih suka melihat keatas." Katanya singkat. Aku berpikir lalu melihat semua lukisan di galeri kecil ini. Hampir seluruhnya bertemakan manusia, gunung, abstrak, kota, tumbuhan, dan hanya lukisan ini yang bertemakan laut.
"Saya rasa orang-orang belum melihat karya seni bapak yang ini." Ucapku menebak. Dia tertawa ringan lalu menepuk pundakku.
"Mungkin nak. Aku disini hanya berkarya, menumpahkan semua emosi orang tua yang seharusnya sekarang berada di rumah dan ditemani oleh cucu-cucuku. Terkadang apa yang baik menurut kita belum tentu baik di mata orang lain. Dan percayalah nak, lukisan ini adalah favoritku." Katanya dengan tersenyum. Aku setuju, tentu saja. Jika aku aku punya uang aku berani membeli mahal lukisan ini, memasangnya di kamarku dan melihatnya setiap hari.
"Andai saya bisa membelinya pak." Ujarku pelan. Pak tua itu melihatku terkejut. Lalu dia menyentuh kedua pundakku, seperti dalam adegan film dimana orang tua memberi nasehat pada anaknya.
"Tidak perlu nak. Kau hanya perlu seperti lukisan ini. Jadilah yang berbeda tapi yang paling indah, terutama paling indah dimata seseorang yang bisa melihatmu lebih dalam lagi." Kata pak tua itu.

Dan keesokan harinya ketika aku berniat melihat lukisan itu lagi. Galeri itu tidak ada, beberapa orang berkata galeri itu pindah, ada juga yang bilang sudah tidak berkarya lagi. Sesungguhnya aku ingin bertemu bapak tua itu, mengatakan terima kasih dan melihat lukisan itu sebelum aku pindah meninggalkan kota ini.

Aku berumur 12 tahun saat itu, dan sejak saat itu pula aku bercita-cita ingin menjadi seniman. Seperti judul lukisan itu "Under the Sea" dan seperti kata bapak pelukis itu. Jadilah yang berbeda dan yang paling indah, terutama yang paling indah dimatanya. Dimatanya yang entah kenapa selalu buatku merasa tenang, seorang sahabat yang suaranya begitu hangat, pecinta sains nomor satu dimataku, baginya ilmu tidak akan ada batasnya, dan sains serta seni tidak akan bisa bersatu. Tapi bagiku, dialah yang melihatku dengan indah. Dialah  pengamat "Under the Sea"-ku.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS