Kisah

Senin, 07 Februari 2011


Ini kisah pendek ketika aku pernah sekali bertanya padanya ketika kami sedang terdiam dalam suasana nyaman antara irama lagu yang berbunyi dan gambar pemandangan diluar jendela mobil seakan film dokumenter berputar di pinggir dan depan kami. Dia bukan tipe banyak bicara, aku tak perlu repot-repot cerewet bercerita tentang kisahku karena aku juga sama seperti dia, kami tidak hobi dalam hal banyak bicara.

Pemandangan mulai hijau ketika mobil berbelok melewati petak-petak sawah seakan selimut hijau terbentang di sekeliling kami. Matahari sedang berterik hangat ketika aku merasakan tanganku terkena seberkas cahaya pantulan kaca mobil.
"Boleh ambil kamera?." Kataku siaga menyentuh resleting. Dia mengangguk, matanya fokus pada jalanan dan spion depan. Aku mengangkat bahu dan mulai mengambil kamera. Kubuka tutup frame dan memencet ON lalu mulai menempelkan mata di kap kamera siap membidik. Sekitar 15 detik aku membidik gambar. Mengambil gambar dari dalam mobil mungkin tak begitu menyenangkan daripada langsung dari luar. Tapi aku suka dengan hasilnya.
"Coba kamu buka jendela sebelahmu. Terus ambil gambar dari sana." Katanya menyarankan. Aku segera menuruti dan langsung memutar scrol jendela.
Udara berhembus seakan siap menerbangkan apa saja dari dalam mobil. Rambutku kugurai dari ikat buntut kudaku, kubiarkan rambutku menikmati angin ini. Rasanya seperti terbang. Udara terasa bersih, tak seperti di kota yang penuh polusi. Aku mulai mengambil gambar "..1...2..3" Clik.
"Kamu mau jadi apa sih kalau sudah besar nanti?." Katanya bertanya. Aku lama diam, tapi aku tahu dia menunggu jawaban.
"Aku mau jadi penulis. Kenapa?." Kataku. Dia tersenyum. Aku menunggu.
"Kenapa bukan Photographer?." Aku mengangkat bahu.
"Anggap itu cadangan buat masa depan." Kataku singkat. Dia tak berargumen lagi. Kupikir yang dikatakan dia benar. Aku suka mengambil gambar apapun, dan tak perlu objek manusia. Menurutku manusia tak perlu cantik dengan urtitude macam-macam. Mereka terlihat luar biasa dengan mereka yang sesungguhnya. Ketika mereka tertawa, berbicara, melamun, menangis, marah atau bahkan ketika mereka menutup mata hanya untuk sekedar mengambil nafas bahkan ketika sedang tidur. Mengambil gambar dari objek manusia dengan ekspresi seperti itulah yang buatku kagum betapa luar biasanya wajah mereka tanpa harus neko-neko.
"Kau lebih suka aku jadi Photographer?." Kataku.
"Aku lebih suka kau jadi apa yang menurutmu hebat bagimu." Katanya lagi. Dia tampak puas dengan jawabannya.
"Memang dulu kau ingin jadi apa?." Kataku bertanya. Dia terdiam. Kami mulai sedikit menjauh dari petak-petak sawah. Kini kami berada di pekarangan desa.
"Aku pernah bercita-cita menjadi pilot. Menurutku itu keren, kau bisa terbang kemana saja. Kau bisa melihat awan. Kau bisa melihat pulau dari atas. Itu pasti jadi pemandangan luar biasa, tapi itu hanya sebatas keinginan anak umur 5 tahun." Katanya. Aku menunggu.
"Lalu aku pernah ingin jadi pelukis. Menurutku gambarku bagus. Aku sering mendapat upah dari teman sekelas ketika mereka tak bisa mengerjakan tugas menggambar mereka. Dan aku juga suka menggambar. Tapi itu sirna mengingat aku tak bisa membayangkan apa yang bisa kugambar lagi. Imajinasi sirna seiring waktu, dan aku tak bisa menyalahkan diriku untuk selalu punya imajinasi." Dia benar dalam poin ini.
"Lalu kau ingin jadi apa?." Kataku bertanya. Dia berdiam lama. Lalu dia menjawab.
"Aku ingin menjadi contoh yang benar untuk anak-anakku nanti. Tak masalah jika kau punya sejuta keinginan di masa depan. Kita memang tidak tahu masa depan akan bicara apa, entah kita memiliki pendamping hidup atau tidak. Itu adalah konsep Tuhan. Tapi aku ingin merasakan bagaimana menjadi contoh untuk mereka yang punya dunia dari mata mereka sendiri. Aku akan mengantar mereka ke terbang jika mereka membayangkan mereka sedang terbang, aku akan membawa mereka ke laut jika mereka rindu birunya laut untuk dilukis. Dan aku akan membawa mereka keliling dunia jika mereka ingin mengambil dan mengabadikan gambar yang mereka bidik sebagai kenangan mereka hingga dewasa nanti. Orang yang berhati besar bukan orang yang bisa memberimu apapun yang kau mau, tapi dia yang bisa mengantarkanmu di pintu depan dan selanjutnya kau yang akan meraih sendiri keinginanmu." Katanya mengakhiri.

Telingaku jelas mendengar apa yang dia ucapkan. Tapi mata dan tanganku pelan-pelan melihat hasil gambar bidikanku di kamera. Tanganku berhenti memencet tepat pada gambar sawah hijau yang luas dan jejeran pohon hasil bidikanku, gambar itu sedikit aneh karena mungkin bila sedikit dicermati kau akan melihat pohon itu seakan terbawa angin, seakan bergerak menjauh dari kameraku ketika berhasil kubidik. Aku tersenyum pada diri sendiri.
"Kurasa kau berhasil membawa mereka keliling dunia." Kataku lirih.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS