Pagi itu salju tipis turun ketika aku menghirup kopi pertama ku seraya menenteng beberapa buku kuliahku. Bukan kali pertama aku mengambil kuliah siang, hari ini aku harus ijin mengantarkan hasil tulisanku pada redaksi. Kurasa dosen akan mengerti kerja sambilan mahasiswanya sekarang tidak hanya stay pada kantor atau tempat tertentu, tapi duduk dirumah, menikmati secangkir lemon hangat, dan menulis.
Roberts Ways, St dipenuhi banyak orang menjelang natal, redaksi yang kutemui tidak begitu jauh dari tempatku, hanya beberapa blok saja. Aku memutuskan berjalan kaki hari itu, menikmati bangunan tinggi London seraya menikmati kopiku. Sudah 2 bulan aku berada di negeri orang, dan panggilan untuk pulang sudah terdengar terlalu sering dari normalnya. Orang tua mana yang mengijinkan gadis perempuan satu-satunya mengambil kuliah di negeri paling terhormat didunia ini. Orang tuaku adalah dua orang yang mendukungku penuh dalam pendidikan, tapi tidak dalam cita-cita. Mereka tidak suka melihatku hidup hanya dengan beralaskan kertas dan pena, dan kurasa aku sedikit mengerti itu. Semenjak perceraian mereka, aku lebih suka menempatkan posisiku sebagai orang yang tidak mau ikut campur lagi, kurasa sudah cukup. Hingga suatu saat aku bertemu dia, cinta pertama.
Banyak yang tidak percaya aku bisa bersamanya, kami berbeda. Aku lebih suka sendiri, dia lebih suka rame-rame. Dia suka membuat orang tertawa, aku lebih suka membuat orang serius berpikir. Tapi ketidak mungkinan itu kami bertemu, dari perbedaan itu kami bersama. Tapi seperti halnya jam yang terus berdetik, aku tidak tahu apa yang terjadi. Sesuatu membuat kami berpisah, seperti halnya orang tuaku. Semenjak itu, hingga hari ini, aku memilih sendiri. Lelah dengan permainan hati, lelah dengan guyonan cinta yang tak berarti. Bukan karena takut, benci atau munafik untuk mengakui perasaan, hanya saja lelah. Sudah, hanya itu.
Aku memasuki kantor redaksi dan bertemu resepsionis wanita yang sudah hafal dengan wajahku.
"Good morning. Re." Jawabnya tersenyum simpul.
"Hi Su, how are you?." Kataku menaruhkan tasku di meja resesionis dan mengambil dokumenku.
"Fine. Deadline dipercepat ya?." Katanya simpatik.
"Tidak, sudah selesai duluan." Kataku singkat sembari tersenyum lalu memberikan dokumen coklat berisi tulisanku.
"Aku harus segera kekampus, bisakah kau berikan pada Mr. Dillan?."
"Tentu. Bukan biasanya kau tidak menemuinya langsung."
"Aku sedang buru-buru. Tolong ya? Thanks, have a nice day." Kataku lalu meninggalkan redaksi.
Entah mengapa aku sedang bersemangat hari ini. Kopiku sudah habis lalu kulanjutkan perjalananku menuju kampus. Aku bejalan melewati blok Buxton Center of Learning(LCR) seraya mendengarkan lagu lewat earphone putihku lalu berhenti di halte dekat kampus, The Barm. Aku melihat jam ditanganku dan menyadari sudah pukul 10 pagi, setidaknya belum terlalu siang untuk mampir di kantin sambil menunggu makan siang.
Bus putih datang dari arah Vehicle Road dan berhenti didepanku, sebagian penumpang keluar dari pintu lalu giliranku dengan mahasiswa Hertfordshire University lainnya. Bus kami berjalan melewati bangunan Innovation Centre London yang berlapis kaca dan bangunan lainnya seperti toko buku, bar, toko pakaian, dan tempat menghabiskan waktu sore seraya minum kopi hangat, kurasa aku akan mampir menghabiskan waktu disana nanti.
Bus kami berhenti dan aku turun bersama mahasiswa lainnya. Disisi lain, depan pemberhentian bus kampus, terdapat halte bus yang mengambil arah berlawanan dari halteku. Bus kami berjalan berlawanan, dan aku melihat seorang laki-laki sedang menenteng kanvas ukuran sedang dan tas panjang yang sudah kutebak isinya adalah kuas beragam bentuk dan cat minyak. "Mahasiswa Seni." kataku dalam hati.
Aku berdiri disana melihatnya mengambil tas kecil coklat ditangannya yang lain lalu menyebrang jalan. Mataku menatapnya setelah lama berargumen kata dengan buku yang kubaca sejak tadi. Saat itu dengan lucunya, lagu melankolis yang seperti halnya dalam film-film romantis saat pria bertemu wanita secara tatap mata menyala, opening She's Got You High by Mumm-Ra menyala di list lagu di mp3-ku. Dan selama itu pula mata kami bertemu, aku hanya tetap berada ditempat masih menyentuh buku bacaanku saat dia berjalan melewatiku dan bibirnya menyuguhkan senyum kecil. Mata birunya, rambutnya cepak coklat legamnya yang tergantung rapi hampir menutupi jidatnya, penampilan jelas bukan anak yang mengikuti modern, semuanya ternilai biasa. Aku menoleh dan melihatnya dari belakang.
Entah kenapa, selama 2 bulan ini aku belum pernah melihat sosoknya di kampus, dan untuk pertama kalinya sejak terakhir aku meninggalkan cinta mengerikan 3 tahun lalu aku merasakan sensasi aneh. Layaknya dua inti bertemu dan bergabung menjadi satu, mencintakan unsur dan gumpalan berbentuk aneh, entahlah..
Buku yang kutingalkan ditanganku menunjukkan halaman yang kubaca, mataku tertuju pada sebuah kutipan,
"..dan alam semesta mempertemukan mereka. Bukan sebagai hadiah atau balasan, tapi memang seharusnya begitu. Bagai dua samudra yang berbeda dan bertemu di titik yang sama. Tidak ada yang tahu dan merekapun tidak.."
Aku menghela nafas, berusaha mengabaikan hari ini, "that's only in fairytale." ucapku benci dalam hati.