Isn't fairy tale.

Minggu, 21 April 2013




Aku percaya ini bukan satu-satunya buku dongeng favoritku, selalu berakhir dengan bahagia. Dan terkadang memiliki insting bahwa "dunia ini kejam" adalah satu-satunya pandora yang membuat kita pesimis percaya pada intuisi itu. Dan aku benci sekali harus membuka memori 3 tahun lalu ketika aku masih percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang real dan bahkan rumus apapun tidak akan membuka rahasia dibalik perasaan membutuhkan satu sama lain serupa itu.

Pagi itu salju tipis turun ketika aku menghirup kopi pertama ku seraya menenteng beberapa buku kuliahku. Bukan kali pertama aku mengambil kuliah siang, hari ini aku harus ijin mengantarkan hasil tulisanku pada redaksi. Kurasa dosen akan mengerti kerja sambilan mahasiswanya sekarang tidak hanya stay pada kantor atau tempat tertentu, tapi duduk dirumah, menikmati secangkir lemon hangat, dan menulis.

Roberts Ways, St dipenuhi banyak orang menjelang natal, redaksi yang kutemui tidak begitu jauh dari tempatku, hanya beberapa blok saja. Aku memutuskan berjalan kaki hari itu, menikmati bangunan tinggi London seraya menikmati kopiku. Sudah 2 bulan aku berada di negeri orang, dan panggilan untuk pulang sudah terdengar terlalu sering dari normalnya. Orang tua mana yang mengijinkan gadis perempuan satu-satunya mengambil kuliah di negeri paling terhormat didunia ini. Orang tuaku adalah dua orang yang mendukungku penuh dalam pendidikan, tapi tidak dalam cita-cita. Mereka tidak suka melihatku hidup hanya dengan beralaskan kertas dan pena, dan kurasa aku sedikit mengerti itu. Semenjak perceraian mereka, aku lebih suka menempatkan posisiku sebagai orang yang tidak mau ikut campur lagi, kurasa sudah cukup. Hingga suatu saat aku bertemu dia, cinta pertama.

Banyak yang tidak percaya aku bisa bersamanya, kami berbeda. Aku lebih suka sendiri, dia lebih suka rame-rame. Dia suka membuat orang tertawa, aku lebih suka membuat orang serius berpikir. Tapi ketidak mungkinan itu kami bertemu, dari perbedaan itu kami bersama. Tapi seperti halnya jam yang terus berdetik, aku tidak tahu apa yang terjadi. Sesuatu membuat kami berpisah, seperti halnya orang tuaku. Semenjak itu, hingga hari ini, aku memilih sendiri. Lelah dengan permainan hati, lelah dengan guyonan cinta yang tak berarti. Bukan karena takut, benci atau munafik untuk mengakui perasaan, hanya saja lelah. Sudah, hanya itu.

Aku memasuki kantor redaksi dan bertemu resepsionis wanita yang sudah hafal dengan wajahku.

"Good morning. Re." Jawabnya tersenyum simpul. 
"Hi Su, how are you?." Kataku menaruhkan tasku di meja resesionis dan mengambil dokumenku.
"Fine. Deadline dipercepat ya?." Katanya simpatik.
"Tidak, sudah selesai duluan." Kataku singkat sembari tersenyum lalu memberikan dokumen coklat berisi tulisanku.
"Aku harus segera kekampus, bisakah kau berikan pada Mr. Dillan?." 
"Tentu. Bukan biasanya kau tidak menemuinya langsung." 
"Aku sedang buru-buru. Tolong ya? Thanks, have a nice day." Kataku lalu meninggalkan redaksi. 

Entah mengapa aku sedang bersemangat hari ini. Kopiku sudah habis lalu kulanjutkan perjalananku menuju kampus. Aku bejalan melewati blok Buxton Center of Learning(LCR) seraya mendengarkan lagu lewat earphone putihku lalu berhenti di halte dekat kampus, The Barm. Aku melihat jam ditanganku dan menyadari sudah pukul 10 pagi, setidaknya belum terlalu siang untuk mampir di kantin sambil menunggu makan siang. 

Bus putih datang dari arah Vehicle Road dan berhenti didepanku, sebagian penumpang keluar dari pintu lalu giliranku dengan mahasiswa Hertfordshire University lainnya. Bus kami berjalan melewati bangunan Innovation Centre London yang berlapis kaca dan bangunan lainnya seperti toko buku, bar, toko pakaian, dan tempat menghabiskan waktu sore seraya minum kopi hangat, kurasa aku akan mampir menghabiskan waktu disana nanti.

Bus kami berhenti dan aku turun bersama mahasiswa lainnya. Disisi lain, depan pemberhentian bus kampus, terdapat halte bus yang mengambil arah berlawanan dari halteku. Bus kami berjalan berlawanan, dan aku melihat seorang laki-laki sedang menenteng kanvas ukuran sedang dan tas panjang yang sudah kutebak isinya adalah kuas beragam bentuk dan cat minyak. "Mahasiswa Seni." kataku dalam hati.

Aku berdiri disana melihatnya mengambil tas kecil coklat ditangannya yang lain lalu menyebrang jalan. Mataku menatapnya setelah lama berargumen kata dengan buku yang kubaca sejak tadi. Saat itu dengan lucunya, lagu melankolis yang seperti halnya dalam film-film romantis saat pria bertemu wanita secara tatap mata menyala, opening She's Got You High by Mumm-Ra menyala di list lagu di mp3-ku. Dan selama itu pula mata kami bertemu, aku hanya tetap berada ditempat masih menyentuh buku bacaanku saat dia berjalan melewatiku dan bibirnya menyuguhkan senyum kecil. Mata birunya, rambutnya cepak coklat legamnya yang tergantung rapi hampir menutupi jidatnya, penampilan jelas bukan anak yang mengikuti modern, semuanya ternilai biasa. Aku menoleh dan melihatnya dari belakang. 

Entah kenapa, selama 2 bulan ini aku belum pernah melihat sosoknya di kampus, dan untuk pertama kalinya sejak terakhir aku meninggalkan cinta mengerikan 3 tahun lalu aku merasakan sensasi aneh. Layaknya dua inti bertemu dan bergabung menjadi satu, mencintakan unsur dan gumpalan berbentuk aneh, entahlah..

Buku yang kutingalkan ditanganku menunjukkan halaman yang kubaca, mataku tertuju pada sebuah kutipan,
"..dan alam semesta mempertemukan mereka. Bukan sebagai hadiah atau balasan, tapi memang seharusnya begitu. Bagai dua samudra yang berbeda dan bertemu di titik yang sama. Tidak ada yang tahu dan merekapun tidak.." 

Aku menghela nafas, berusaha mengabaikan hari ini, "that's only in fairytale." ucapku benci dalam hati.

Au Revoir

Jumat, 19 April 2013





Dan lagu damai itu mengalun lembut melewati rambut seorang gadis yang tergerai berkilau ditelinga hingga pundaknya. Dia tertidur sunyi, lagu itu membawanya menuju lautan mimpi yang entah akan sejauh mana membawa dirinya. Jarinya yang panjang masih melingkarkan sebuah pena yang jaraknya beberapa milisenti dari lembaran kertas yang sudah hampir terisi penuh. Hembusan nafasnya tenang melewati pantulan kertas karena tidurnya dengan posisi miring.

Malam itu hujan turun kecil-kecil, jendela kamarnya terbuka sedikit dan menampakan bulan yang masih terang menggantung diawan. Sebuah tulisan tertoreh dibaris pertama kertasnya. Tulisan itu dapat terbaca dengan jelas. Lekukan huruf yang tertera disana meninggalkan cerita sendiri bagi yang mengamati. Ketika kau membayangkan bagaimana rasanya berdiri diantara semua kebohongan yang mengelilingi, dan kau hanya diam ditengah, marah tapi tidak tahu harus bagaimana. Itu yang terbaca jelas.


"..mungkin ini tempatku. Saat aku melihat bagaimana dua manusia itu bisa bersama lagi. Lalu apa peranku disini? Hanya menonton? Tidakkah manusia memiliki filmnya masing-masing dan dia sendiri adalah tokoh utamanya? Aku bahkan benci harus percaya dengan semua kebohongan ini, kebohongan dari mulutnya. Tidak ada yang nyata didunia ini selain 3; hidup, mati, dan Tuhan. Selain itu hanya ada luka, hanya ada potongan kecil cerita yang suatu saat bisa dikenang.."


Hanya itu. Dia menuliskan kalimat itu dalam tanda petik di awal dan akhirnya. Lalu baris kedua tertera panjang.


"Hidup mengajarkan bagaimana kita bertahan diantara sifat manusia yang berbeda-beda. Unsur yang belum tentu bisa menyatu layaknya air dan minyak yang dengan cara apapun tidak akan bisa tercampur. Dan dari itulah kita terus belajar dan mengerti bahwa setiap unsur memiliki kelemahan, layaknya manusia yang memiliki kekurangan. Dan diantara unsur yang berbeda, ada satu zat yang dapat membuat semua bisa tercampur sempurna. Saat kau merasakannya, tentu saja kau akan merasa hidupmu utuh, inilah hidup yang sesungguhnya. Dimana bagaimanapun caranya, kau akan selalu dapat melihat kebahagiaan bahkan hanya dengan melihat kehadirannya. Layaknya cairan berwarna merah marun dan berbau harum, dengan melihatnya sudah membuat siapun kagum dan bertanya-tanya cairan apa itu, itulah cinta. Racun.
Didunia ini, kebaikan dan keburukan hanya dalam dongeng. Karena didunia nyata, bahkan orang baik pun bisa menjadi orang yang jahat. Itulah hidup, siklusnya yang berputar dan tidak ada yang tahu kemana arahnya..."


Baris itu berhenti tepat tertutupi oleh tangan gadis itu. Baris selanjutkan dapat terlihat sedikit dibalik jarinya.


"...lelaki itu mulai memainkan instrumen sebuah lagu di pianonya, wajahnya menghayati penuh letika satu demi satu irama dibunyikan. Dari kejauhan aku melihatnya bukan seperti manusia yang pernah kukenal. Dia orang lain. Instrumen itu bercerita sesuatu, sebuah cerita dibalik irama piano, gitar instrumen, dan biola. Kurasa aku tahu siapa yang menginspirasikannya. Menginspirasikan cerita itu.
Ketika seorang pria mengungkapkan siapa dirinya pada wanita yang dia cintai, hal yang tidak diketahui wanita itu. Dan hal yang paling ditakutkan dalam hidupnya untuk bertemu dengan pria seperti itu, tapi tidak, kini pria itu berdiri didepannya. Pria yang dia cintai, seseorang yang dia takutkan selama ini. Tapi toh wanita itu tahu, dia mencintainya, itulah yang terpenting. Kita hanya perlu menerima tanpa meminta.
"Aku minta maaf." Itu bukan kalimat yang terucap kala semua benar-benar seharusnya terjadi. Manusia hidup memiliki alasan, seperti halnya takdir. Dan setiap kesalahan bukanlah akhir dari semua, itu hanya pembelajaran. Dan alasanku hidup seperti benang, aku tidak tahu kemana akhir dari benangku, aku juga tidak tahu benang siapa saja yang terlilit secara tidak sengaja pada benang takdirku, yang aku tahu, jika aku harus memotong benang itu, maka aku akan memulai dari awal lagi, dan itu buang-buang waktu. Maka aku akan mengais benangku, melepaskan ikatan rumit dari benang orang lain yang melilitku, lalu menelusuri kembali, dan seterusnya. Hingga akhir.
"Terima kasih." Itu bukan ucapan yang harus dibendung dengan paksa. Karena semua ini adalah pemberian, unsur hidup, racun, benang. Semua adalah perumpamaan yang setiap orang akan memiliki pengertiannya masing-masing. Ucapkan dengan tulus, karena tidak ada yang sia-sia didunia ini selama kalimat itu masih ada.
Dan ya, aku lelah sekali. Malam ini hujan deras, dan lagu ini akan terus menyala entah sampai kapan. Orang datang dan pergi, terus seperti itu, ada sebagian yang meninggalkan unsurnya yang tidak akan menyatu, ada beberapa yang meninggalkan cairan merah marun indah sebagai hadiah selamat tinggal, dan ada yang meninggalkan potongan benangnya dalam benang kita lalu tiba-tiba mereka pergi begitu saja, seperti angin. Entah waktu akan mempertemukan orang-orang itu kembali, dan itu ada pada cerita lain. Ya, setiap orang akan memiliki persepsi sendiri terhadap perumpanaan tadi. Seperti judul lagu ini,
Au Revoir(Sampai bertemu lagi)..."

Tulisan itu berakhir.

Nafas lembut gadis itu masih menjadi irama alunan selaras dengan suara gerimis dan lagu yang masih menyala menemani entah sampai kapan.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS