Lady’s Article : “We are Unique and Complicated than we think.”

Jumat, 01 November 2013



Hi ladys, I’ve got something to talk about. Can you just sit for a while than think about how unique we are?. Lets open this forum, first of all, we are all beautiful. With all the characteristic, personality, our mindset, our attitude that can make people know that we are different from each other. Secondly, we are all clever/genius/smart in every single way we did. We can be a mother so it means we have a responsible to have a child and be a mother for our children(;our next generation that maybe can change the world’s face), we can be a scientist, we can around the world, we can take a place in Averest Mountain or we can diving deep the ocean just only seeing Titanic, we can do something that man can do right? Is that special? Yes we are.  And the last, but not least, we are all stronger. The shoulder and heart can make you feel confidence to face the world. Maybe you feel pain last night, or feel like nothing because a man who broke your heart, but tomorrow comes and you feel better than before. Just imagine this man wrote about us:
“… they smile, just the way they talk and laugh, you’ll see how precious something that can make them like that. Over and over again, when something hurt and pain make them cried, make them strong, make them still can smile even when randomly feeling, what a incredible passion they had. Lady’s, you should be proud.”
Well, its funny when you loose someone who can make you fall in love, than at least he make you feel nothing. Something like, ‘whats the point of this? just like a wind, we don’t know, we don’t see it, but we can feel it. Well, that’s love, eh?’. But seriously, for what? Can you remembered the feeling when those eyes, those smile, those voice can make you really nervous even only just seeing at him?. Funny. But boys only just be a boys, or they decided to change into a man. You know that the transformation like that need more time than we all know.
            “.. I wish I could be that woman. With all the responsible on her shoulder and the person who always standing besides her no matter bad things happen. Is that real that a man like that only exist in fairytales? My father just like a king to me, then who is my prince?.”
            There are a thousand or billion man on there, we can just find one of them just like “CLICK!” or just one second(;for an example), what a ceep magic. If that happen so quickly, then there will be none story. Personally, my opinion about this is “I always believe that there will be a man on there, who will pick me up someday, and when he came, I imagine that his smile and his eyes so warm and in that moment I feel ‘he’s the one’ who can be my man like forever..” And trust me, that’s not only in fairytales.
            “…I miss my old storys, I miss my bestfriend who always caloring my day. I missed our laugh, our tears, our talks, our time that we spending together. Women ussualy make the quality time with three list (;bestfriends, gossips, and cool ootd). It can make higher mood for them. If only there a time machine in this world, maybe the first wish I want to fixed up is wasting my time with my parents. I want to learn how to be a great mother and wonderful wife in the future. Because, we never know when we should ready to be an adult person right?..”
            The first time when you thought you’re not an children anymore is when you realized that things in the world more complicated than before. When you mindset changed and became more adult and trying to complish the problem in your life. The first time in your mind is “what happen for me now will became easier than what happen in the future..” . To many problem solves by many girls in this worlds, seems like family, friendship, school/collage, love, and ofcourse sometimes problem from themselves. We all need more ‘ears’, ‘listener’ that can make us believe that we all never be alone.
            “..woman with dresses, jewels, and higheals looks more elegan, expensive, high-class and gorgeous than a lady with t-shirt, blue jeans, and converse on her shoes.”
            That opinion was wrong. We all beautiful in our way. I can write a story, my bestfriend beautiful as a scientist, singer, accounting, doctor, etc. We all born in different ways, different regions, different family that give first education for us. Honestly, first time I felt to shy as ‘who I am’. I’m not pretty, I cant cook profesionaly, sometimes I’m so awkward/nerd/weird/geek/different than the other, I am not clever enough and I feel I had nothing special in my body. But the more you think you are, the bad thing will show them up in your big-mind. Just enjoy your life cause nobody can be like you and for sure you can be somebody. Just take a breath, close you eyes for a while, feel the air, remember all the memories can make you feel better, like you parents – you family and all the loveable you get, your friend who always give their hand in your shoulder, and ofcourse remember how special who are for your self that can stand in that moment and feel blessed.
            “.. I can see it. This moment when you know you’re not a sad story. You are alive and you stand up and see the lights on the buildings and everything that makes you wonder. And you’re listening to that song on that drive with the people you love most in this world. And in this moment, I swear, we are Infinite..” –Stephen Chbosky

            Every person has their own quotes, and that’s my best-quotes-ever. That’s make me feel bless every single day in my life.  And I’m sure we all should feel that way.

realiztic. un-realiztic

Rabu, 24 Juli 2013





1. Picasso :

"39?."
"Hmmm salah." Kataku mengelus dagu. Dia menutup kedua matanya sembari berpikir dibalik pikirannya. Aku tersenyum kecil.
"42?." Aku menggeleng, nyaris.
"Bahkan tidak mendekati benar sekalipun." Kataku. Dia diam.
"Jangan mencampur adukkan tebakan dengan hal sains. Itu tidak masuk akal." Katanya datar.
"Kalau begitu jangan berpikir jawabannya akan mengarah pada dianalisis lukisan Picasso tahun 1800-an." Kataku mencoba mencibir. Dia membuka matanya lalu menatapku. Kedua telapak tangannya dilipat diatas punggung kursi dan dia menyendenkan dagunya dengan lembut. Posisi duduk favoritnya; dia duduk terbalik di kursi berpunggung dan kebiasaan menyendenkan kepalanya diujung.
"Apa yang kau tahu tentang Picasso?." Katanya tertarik. Aku melipat kedua tanganku di kursi, menyendenkan tubuhku lalu berpikir.

Apa yang aku tahu tentang seni? Bahkan tidak ada satu manusiapun yang tidak tahu apa itu seni. Kita berenang dalam air ketuban ibupun dapat digambarnya melalui seni, bahkan sebelum alat cangging dapat memotretnya, seniman Italy, Leonardo DaVinci sudah dapat menggambarnyakannya.

"Aku rasa, dia terlalu berpikir pada satu ruang, satu objek tipikal dari khasnya, kubisme. Dimensinya sendiri. Dia memisahkan dimensinya dengan unsur detailistic. Tapi aku suka, dia orangnya romantis." Kataku. Dia masih memandangku bahkan ketika mataku melihat lantai untuk berpikir tentang Picasso.
"Darimana kau tahu dia romantis?." Katanya lagi, kali ini kerut di keningnya terlihat, dia penasaran. Aku tidak mengerti apa yang menjadi topik kali ini, tapi dia begitu aneh saat itu. Entah matanya, entah pertanyaannya, entah senyumnya.
"Hmm.. entahlah. Menurutku sesuatu yang mistik, unik, dan punya ruang amatiran sendiri dalam konsep karyanya itu romantis." Kataku, bahkan kata-kata itu keluar begitu saja dan dia masih melihatku dengan tenang. Ketika mata kami bertemu, kami berdiam cukup lama, menunggu siapa yang akan bicara selanjutnya. Bukan waktu yang lama jika di nominalkan, tapi bagiku ketika mata itu menangkapku, aku bahkan merasa menemukan sesuatu yang entah kenapa, selama ini aku cari.
"Aku suka sesuatu yang beda." Kataku menambahkan sembari memecah keheningan melankolis ini. Dia tersenyum, dan ekspresi itu yang bahkan hingga 6 tahun ini tidak pernah kusadari, begitu dalam dan berarti.


2. 13 oct 2016 :

Kami berteduh di payung yang sama. Setelah menunggu hampir satu setengah jam dibawah papan jalan diujung halte, dia datang membawa payung biru gelapnya. Terpoyoh-poyoh diantara badai hujan sore itu.

"Maaf ya.." Kataku seraya mengusap-usap telapak tanganku menahan dinginnya udara.
"10 Menit lagi kita jalan, kita terjang hujan. Berani kan?." Katanya bicara padaku. Entah dia mendengarkanku atau tidak. Aku melihat dari samping, rambutnya basah dan matanya tidak fokus melihat jalanan dan mobil lewat didepan kami.
"Aku minta maaf sudah merepotkan, Denger kan?." Kataku lagi, suaraku kali ini aku kencangkan sehingga suara deru hujan tidak akan mengalihkan pendengarannya lagi. Dia menoleh padaku dan melihatku sebentar.
"Tanggal berapa sekarang?." Tanya dia dengan raut wajah polos. Aku tidak percaya, anak ini baik-baik saja kan? Aku mengecek jam tanganku lalu menjawab pertanyaannya.
"13 Oktober. Kenapa?." Dia tampak berpikir. Lalu bicara padaku dengan wajah ceria.
"13 Oktober 2016 nanti kau ingin apa? Impianmu? Cita-citamu?." Katanya tertarik. Aku tidak begitu paham kemana pikiran anak ini, tapi aku tahu satu hal, dia berusaha membuat waktu kami berdiri disini tidak membosankan. Maka akupun memasang wajah bersemangat agar dia tidak kecewa.
"Hmmm.. aku pingin ke Inggris, kuliah disana dan jadi penulis. Kenapa harus 2016?." Kataku bertanya balik.
"Karena 3 tahun dari sekarang pikiran kita mulai matang, dan apapun bisa terjadi. Makanya aku tanya sekarang biar nanti tidak tersesat." Katanya. Aku tertawa lepas, dan dia tertawa kecil.
"Jangan konyol. Bagaimana denganmu?." Kataku lebih tertarik lagi. Dia diam menatap jalan, menerawang entah apa.
"Aku ingin menyusulmu di Inggris, mendaftar di universitas yang sama denganmu, lalu membeli novel terbitanmu." Katanya sembari tersenyum dan masih menerawang dalam didepannya. Aku terdiam lama. Menatapnya tidak percaya lalu tersenyum tenang dan menatap jalan didepanku. Jalan yang juga dipandang dia sejak tadi.

Kurasa percakapan dan kebisuan ini berlangsung lebih dari 10 menit. Lebih dari yang dia aba-abakan tadi. Dan kami menikmati suasana ini dalam diam, menerawang entah apa didepan kami. Selama 6 tahun ini, belum pernah kudengar jawabannya yang seperti itu. Aku tidak berani membantah, tidak berani berargumen, walau aku tahu kepala ini menyimpan pertanya "kenapa?" dan "bagaimana bisa?" tapi semua kukubur dalam-dalam dan kupasangkan nisan diatasnya bertuliskan "semoga saja."


3. Under the Sea :

Lukisan itu biru, setiap garis dari satu bidang ke bidang yang lain terlihat halus dan perpaduan warna yang lembut. Gelembung air nampak bagai gambaran nyata dan dimensi pusaran lautnya terlihat bagai lubang hitam samudra. Aku menyentuh lukisan itu ketika menyadari seseorang berdiri disampingku.

"Under the Sea." Kata pak tua disebelahku. Dan aku berani bertaruh dia adalah pelukisnya.
"Itu nama lukisan ini." Katanya lagi seraya tersenyum. Dan aku membalas senyumannya dengan kagum. Aku suka laut, rahasia lain yang diberikan Tuhan, tempat yang bahkan belum satu manusiapun dapat sampai didasarnya, gudang pengetahuan dan keindahan dibawah bumi yang luar biasa.
"Saya suka pak. Belum ada memesan lukisan ini?." Kataku bertanya. Dia mencibir pelan.
"Belum nak, orang-orang lebih suka melihat keatas." Katanya singkat. Aku berpikir lalu melihat semua lukisan di galeri kecil ini. Hampir seluruhnya bertemakan manusia, gunung, abstrak, kota, tumbuhan, dan hanya lukisan ini yang bertemakan laut.
"Saya rasa orang-orang belum melihat karya seni bapak yang ini." Ucapku menebak. Dia tertawa ringan lalu menepuk pundakku.
"Mungkin nak. Aku disini hanya berkarya, menumpahkan semua emosi orang tua yang seharusnya sekarang berada di rumah dan ditemani oleh cucu-cucuku. Terkadang apa yang baik menurut kita belum tentu baik di mata orang lain. Dan percayalah nak, lukisan ini adalah favoritku." Katanya dengan tersenyum. Aku setuju, tentu saja. Jika aku aku punya uang aku berani membeli mahal lukisan ini, memasangnya di kamarku dan melihatnya setiap hari.
"Andai saya bisa membelinya pak." Ujarku pelan. Pak tua itu melihatku terkejut. Lalu dia menyentuh kedua pundakku, seperti dalam adegan film dimana orang tua memberi nasehat pada anaknya.
"Tidak perlu nak. Kau hanya perlu seperti lukisan ini. Jadilah yang berbeda tapi yang paling indah, terutama paling indah dimata seseorang yang bisa melihatmu lebih dalam lagi." Kata pak tua itu.

Dan keesokan harinya ketika aku berniat melihat lukisan itu lagi. Galeri itu tidak ada, beberapa orang berkata galeri itu pindah, ada juga yang bilang sudah tidak berkarya lagi. Sesungguhnya aku ingin bertemu bapak tua itu, mengatakan terima kasih dan melihat lukisan itu sebelum aku pindah meninggalkan kota ini.

Aku berumur 12 tahun saat itu, dan sejak saat itu pula aku bercita-cita ingin menjadi seniman. Seperti judul lukisan itu "Under the Sea" dan seperti kata bapak pelukis itu. Jadilah yang berbeda dan yang paling indah, terutama yang paling indah dimatanya. Dimatanya yang entah kenapa selalu buatku merasa tenang, seorang sahabat yang suaranya begitu hangat, pecinta sains nomor satu dimataku, baginya ilmu tidak akan ada batasnya, dan sains serta seni tidak akan bisa bersatu. Tapi bagiku, dialah yang melihatku dengan indah. Dialah  pengamat "Under the Sea"-ku.

The Theory

Minggu, 02 Juni 2013




Aku melihat dia berjalan menuju kampusnya saat aku duduk dengan buku teorema astrofisikaku. Rambutnya tergerai panjang, berwarna hitam kepirang-pirangan, dengan poni lurus menggantung di atas matanya. Wajahnya lonjong tajam, matanya menilaikan keturunan Indonesia-Mongol, tapi tidak dengan warna kulitnya yang sawo matang. Hari itu dia mengenakan jaket hijau tentara dan kemeja ablos warna merah maroon dipadu dengan celana jeans yang bagian ujungnya dilipat sehingga menampakkan mata kakinya dan sepatu convers hitam, sesuatu menggantung sempurna di lehernya, sebuah kalung berbentuk bintang kecil. Mata kami sempat bertemu ketika aku sadar belum sampei 5 setengah detik dia berpaling meninggalkan mataku yang masih mengawasinya.

Bukan persepsi mata-mata yang buatku memperhatikan dia sedetail itu. Aku sering berpapasan dengan dia ketika duduk dikursi favoritku di belakang kampus untuk membuat aransemen lagu baru di bandku. Dia duduk disana, beralas rumput, sendirian, mengikat rambut panjangnya lalu mendengarkan musik seraya membaca buku sejarah dunia. Aku tidak tahu harus berapa kali aku melihatnya membaca buku itu, sedangkan aku tahu dia adalah mahasiswi ilmu fisika. 

Dari semua kesempatan dan waktu yang dengan tidak sengaja mempertemukan kita, aku mengenal gadis itu dengan seiring waktu yang buatku penasaran padanya, walau tidak pernah bicara secara langsung, aku tahu siapa namanya, Sera. 

Pagi itu aku berjalan menuju kelasku seraya mengalungkan gitar kecil di pundakku. Pelajaran pertama adalah Kalkulus IIA, aku tidak begitu suka matematika, tapi untuk melonjak sampai astrofisika aku harus menyelesaikan hingga semester 1 lagi. Bukan hal yang mudah, tapi terkadang waktu menipu karena 1 tahun bukan waktu yang lama. 

"Ren, nanti jadi latihan kan?." Seseorang menepuk pundakku lalu aku menoleh dan melihat kawanku, Andre. Kami sudah berteman lebih dari 3 tahun, dan kini kami bekerja sama di satu band yang sama.
"Jadi dong, entar gue latihan sebentar ya.. biasa..." Kataku mengoreh senyum nakal. Andre menggelengkan kepala.
"Dibelakang kampus lagi? Please ye.. lu punya studio, Re." Katanya heran. Aku menggelengkan kepala.
"Inspirasi paling murni itu berasal dari alam bro." Kataku bijak.
"Ya terserah. Jam 3 lu kudu di studio, bawa ini juga nih..." Tangannya menepuk gitar kecilku.
"Jagoan kecil lo." Katanya melanjutkan sambil tersenyum memberi semangat,
"Pasti." Kataku mengangkat jempol kiriku. 

Aku berjalan memasuki kelasku dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Dosen menerangkan, mahasiswa mencacat, sebuah siklus perkuliahan yang tak ada habisnya sampai kau wisuda. Oh tidak, kurasa siklus ini bakal terus berlanjut hingga akhir hayat, karena manusia itu punya 2 tugas yang memang harus dilakukan, kalau tidak mendengarkan, ya berbicara. 

Ketika jam menunjukkan pukul 1 siang aku memutuskan meninggalkan kelas dan berjalan menuju belakang kampus. Dalam perjalanan banyak gadis menyapaku dan mengatakan hari ini aku terlihat luar biasa, entahlah aku tidak mengerti apa yang dipikiran gadis-gadis itu, tapi sebagai kaum adam aku puas dengan penilaian itu. 

Aku berhenti sebentar dan menemukan sudah ada penghuni lain yang mendahuluiku hari ini. Sera duduk bersilang kaki dan sedang mendengarkan lagu melalui earphone-nya, dia sedang menulis sesuatu di buku besarnya, ada 2 buku tergeletak dirumput dan semuanya terbuka. Aku menunduk tersenyum, "rupanya tidak ada sejarah hari ini." kataku dalam hati. 

Aku berjalan menuju kursiku dan membuka leptopku dan memakai earphone ku lalu memulai beberapa nada dan mulai bernyanyi lirih, mencoba dari awal lagi lalu menuliskan nada baru di bukuku. Sesekali mata ini melirik ke arah Sera yang masih bergelut dengan kertasnya. Aku mengenalnya pertama kali ditempat ini, tempat favorit kami dari gedung kampus ini. 

Lalu entah sudah berapa lama aku bernyanyi dan bermain gitar disini. Ketika aku sadar Sera menoleh untuk yang pertama kalinya sejak kami senang menghabiskan waktu disini. Dia menatapku dari matanya, dan mata kami bertemu. Aku tidak menghitung berapa lama kami bertatapan jauh begitu aku sadar warna matanya yang gelap lalu beberapa detik kemudian dia berpaling lagi. Selalu begitu, dan aku tahu tidak akan lama lagi aku berharap bisa melihat kedua mata itu lebih lama lagi. Dia membereskan buku-bukunya lalu pergi meninggalkan tempat dia duduk tadi. Meninggalkanku yang terdiam heran dengan apa yang kurasakan. Entahlah, sesuatu tergiang-giang di kepalaku "Teoristis menghubungkan antara alam semesta dengan ilmu perhitungan. Menciptakan dan mengevaluasi metode ilmu perbintangan lalu diamati dengan seksama. Mencoba memahami implikasi model fisika tidak mudah dan memakan banyak waktu dan usaha."

Kurasa Sera tahu itu, dia ahli fisika sedangkan aku dalam bidang perbintangan. Dia seperti fisikawan dalam kubu relativitas bab astrofisikaku. Mencoba memahaninya tak akan pernah bisa selesai, hanya memakan waktu dan usahaku yang hanya bisa menatap matanya saja. Yang hanya bisa memata-matai dia tanpa dia melihatku. Konyol sekali, bahkan secara realistis, memang tidak ada yang tahu mengapa orang bisa jatuh cinta lalu hanya bisa diam dan memendamnya. 

Aku berdiri lalu melipat leptopku dan bergegas pergi menuju studio lebih awal. Sesampainya di studio, teman-teman menyadari sesuatu yang aneh padaku. Aku menatap Andre sebentar, lalu aku tahu, entah apa yang kupikirkan, persahabatan kami memang bukan seperti Sherlock Holmes dan Dr. Watson atau seperti Harry Potter dan Ronald Weasley. Tapi dia selalu menghampiriku, entah dalam keadaan apapun, dan kini aku membutuhkannya.

"Baik-baik aja lo? Sehat?." Dia bertanya. 
"Sehat. Secara harfiah sih." Kataku tertawa kecil. Dia tersenyum lebar lalu berbalik mengarah pada teman-teman yang lain.
"Sebentar ya, sante-sante dulu. Gue keluar bentar sama Reno." Katanya. Aku mengikuti dia keluar studio. Dia berjalan menuju warung kecil tempat biasa kita ngopi atau menikmati rokok sehabis latihan.

"Duduk lo, duduk sini." Ujarnya seraya menepuk kursi sebelahnya. Aku menurutinya lalu dia menyalakan korek api elektriknya dan menyentuhkan si merah di ujung rokok, menghirup nafas panjang lalu membuangnya ke udara.
"Jadi? Cewe itu anak fakultas apa?." Katanya simpati. Aku tertawa kecil, tidak percaya.
"Fisika." Ujarku singkat. Dia menyodorkan sebungkus rokok dan korek elektrik. Aku membiarkan rokok itu tergeletak dan tidak mengambil sebatang pun.
"Alien dari mana dia? Sampe bikin lo gini? Nyentuh Lucky Strike aja engga." Katanya sembari tertawa. Aku tersenyum.
"Gini ya, gua ga perlu nyuruh lo ngaku ke dia, itu jawaban basi. Lagian lo juga tau harus gimana. Kalo kata gua sih, yang namanya orang jatuh cinta seneng banget tapi ya ngenes banget juga. Soalnya gatau harus gimana, apalagi kalo cintanya itu real, lo tau maksudnya real? Ga jatuh cinta asal-asalan gitu lah." Katanya lagi lalu menghisap rokoknya lagi.
"Ndre, kalo katanya Hukum Gauss. Ibarat wanita itu kaya kutub negatif, dia nerima gelombang dari kutub positif, ya itu pria. Jadi mau sejauh apapun kutub negatif pergi, kutub positif bakal selalu nempelin dia." Kataku.
"Entahlah, tapi yang namanya Gauss itu, yang nyiptain teori itu. Bener banget. Tinggal gimana kutub positifnya  nempelin si kutub negatif aja. Iya kan?." Katanya menyimpulkan. Aku tertawa kecil. Andre berdiri dan membayar rokoknya lalu mengajakku kembali ke studio. Aku mengikutinya, dalam hati berharap Gauss benar-benar disampingku dan memberitahukan ku bahwa alam semesta ini berbicara dalam segala macam bahasa dan aku manusia terperangkap dalam bahasa kami sendiri, bahkan dalam pengartian cinta.

Esoknya aku mengambil jam kuliah siang lalu menunggu untuk selesai sesudah sore. Aku ingin pulang malam hari ini. Entah mengapa sehabis kuliah aku ingin melihat sebentar di planetarium kampus. Saat aku berjalan melewati lorong, aku melihat Sera berdiri didepan ruang planetarium. 

Dia mengikat rambutnya hingga tergelung sempurna. Dia makai rok putih rumbai panjang dan hem biru muda polos, menggantungkan tas dan memeluk buku kuliahnya. Aku terkejut, tentu saja. Dia menatapku sebentar lalu tersenyum.

"Sorry. Planetariumnya gaboleh dipake sama anak selain astronom ya?." Katanya sopan. 
"Kamu anak fisika kan? Kok sendirian disini?." Kataku. Dia terdiam sebentar sambil menatap pintu lab yang tertutup.
"Iya aku anak fisika. Aku penasaran aja isinya gimana." Katanya. Aku maju membuka pintu lab dengan kunci yang kubawa. Lalu mempersilahkan dia masuk. Dia masih berdiri disana, wajahnya ragu tapi penasaran.
"Boleh masuk kok. Ayuk." Kataku lembut. Dia berjalan dan memasuki planetarium yang gelap dan dingin, aku berjalan dan memencet lampu untuk menyalakan ruangan.

Planetarium menampakkan alat-alat astronomi seperti teropong yang panjangnya berbeda-beda dari 30-60 cm, korden besar berada tepat di depan teropong itu, rak-rak buku berbahasa inggris dan meja para mahasiswa yang akan melakukan praktik tertata rapi di setiap sudut ruangan. Aku membuka jendela besar di depan kami dan melihat langit luas membentang memperlihatkan titik-titik bintang disetiap area. Aku meliriknya sebentar dan melihat dia kagum dengan apa yang ada didepannya. 

"Aku kira anak fisika ga bakal kaget lho sama beginian." Kataku. Dia menoleh padaku lalu tertawa, tawanya ringan.
"Aku gatau lho kalau ada anak astronom bisa kesini malem-malem sendirian." Katanya menjawab. Aku tersenyum.
"Mungkin emang sebaiknya ambil kuliah malam aja biar ga salah alamat. Karena semuanya bisa keliatan kalau malam." Kataku lagi. Dia tersenyum padaku. Untuk pertama kalinya aku melihat dia dengan jelas, wajah yang selama ini bisa kulihat dari jauh saja.
"Aku Sera. Terima kasih sudah bolehin masuk" Dia menjulurkan tangannya menunggu jabatan tanganku. 
"Aku Reno. Seneng bisa kenal kamu, akhirnya." Kataku pelan. 


Mata kami bertemu, seperti yang sudah aku duga. Suatu hari sejak pertama aku memperhatikannya, hari ini akan terjadi. Entah apa yang dipikirannya saat ini, entah dia barusan saja berkenalan dengan pria aneh yang memperbolehkannya masuk ke lab ini, atau pria yang selama ini duduk tidak jauh dari dirinya setiap hari di belakang kampus. Pria yang selalu melihat dia seperti bintang di kubu teori astrofisikanya, seperti hiasan kecil yang menggantung di lehernya.

Kurasa tidak ada yang tahu nasib akan bicara apa, tapi seperti kata Gauss, "setiap kutub entah positif atau negatif, dia akan menemukan pasangannya."

Isn't fairy tale.

Minggu, 21 April 2013




Aku percaya ini bukan satu-satunya buku dongeng favoritku, selalu berakhir dengan bahagia. Dan terkadang memiliki insting bahwa "dunia ini kejam" adalah satu-satunya pandora yang membuat kita pesimis percaya pada intuisi itu. Dan aku benci sekali harus membuka memori 3 tahun lalu ketika aku masih percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang real dan bahkan rumus apapun tidak akan membuka rahasia dibalik perasaan membutuhkan satu sama lain serupa itu.

Pagi itu salju tipis turun ketika aku menghirup kopi pertama ku seraya menenteng beberapa buku kuliahku. Bukan kali pertama aku mengambil kuliah siang, hari ini aku harus ijin mengantarkan hasil tulisanku pada redaksi. Kurasa dosen akan mengerti kerja sambilan mahasiswanya sekarang tidak hanya stay pada kantor atau tempat tertentu, tapi duduk dirumah, menikmati secangkir lemon hangat, dan menulis.

Roberts Ways, St dipenuhi banyak orang menjelang natal, redaksi yang kutemui tidak begitu jauh dari tempatku, hanya beberapa blok saja. Aku memutuskan berjalan kaki hari itu, menikmati bangunan tinggi London seraya menikmati kopiku. Sudah 2 bulan aku berada di negeri orang, dan panggilan untuk pulang sudah terdengar terlalu sering dari normalnya. Orang tua mana yang mengijinkan gadis perempuan satu-satunya mengambil kuliah di negeri paling terhormat didunia ini. Orang tuaku adalah dua orang yang mendukungku penuh dalam pendidikan, tapi tidak dalam cita-cita. Mereka tidak suka melihatku hidup hanya dengan beralaskan kertas dan pena, dan kurasa aku sedikit mengerti itu. Semenjak perceraian mereka, aku lebih suka menempatkan posisiku sebagai orang yang tidak mau ikut campur lagi, kurasa sudah cukup. Hingga suatu saat aku bertemu dia, cinta pertama.

Banyak yang tidak percaya aku bisa bersamanya, kami berbeda. Aku lebih suka sendiri, dia lebih suka rame-rame. Dia suka membuat orang tertawa, aku lebih suka membuat orang serius berpikir. Tapi ketidak mungkinan itu kami bertemu, dari perbedaan itu kami bersama. Tapi seperti halnya jam yang terus berdetik, aku tidak tahu apa yang terjadi. Sesuatu membuat kami berpisah, seperti halnya orang tuaku. Semenjak itu, hingga hari ini, aku memilih sendiri. Lelah dengan permainan hati, lelah dengan guyonan cinta yang tak berarti. Bukan karena takut, benci atau munafik untuk mengakui perasaan, hanya saja lelah. Sudah, hanya itu.

Aku memasuki kantor redaksi dan bertemu resepsionis wanita yang sudah hafal dengan wajahku.

"Good morning. Re." Jawabnya tersenyum simpul. 
"Hi Su, how are you?." Kataku menaruhkan tasku di meja resesionis dan mengambil dokumenku.
"Fine. Deadline dipercepat ya?." Katanya simpatik.
"Tidak, sudah selesai duluan." Kataku singkat sembari tersenyum lalu memberikan dokumen coklat berisi tulisanku.
"Aku harus segera kekampus, bisakah kau berikan pada Mr. Dillan?." 
"Tentu. Bukan biasanya kau tidak menemuinya langsung." 
"Aku sedang buru-buru. Tolong ya? Thanks, have a nice day." Kataku lalu meninggalkan redaksi. 

Entah mengapa aku sedang bersemangat hari ini. Kopiku sudah habis lalu kulanjutkan perjalananku menuju kampus. Aku bejalan melewati blok Buxton Center of Learning(LCR) seraya mendengarkan lagu lewat earphone putihku lalu berhenti di halte dekat kampus, The Barm. Aku melihat jam ditanganku dan menyadari sudah pukul 10 pagi, setidaknya belum terlalu siang untuk mampir di kantin sambil menunggu makan siang. 

Bus putih datang dari arah Vehicle Road dan berhenti didepanku, sebagian penumpang keluar dari pintu lalu giliranku dengan mahasiswa Hertfordshire University lainnya. Bus kami berjalan melewati bangunan Innovation Centre London yang berlapis kaca dan bangunan lainnya seperti toko buku, bar, toko pakaian, dan tempat menghabiskan waktu sore seraya minum kopi hangat, kurasa aku akan mampir menghabiskan waktu disana nanti.

Bus kami berhenti dan aku turun bersama mahasiswa lainnya. Disisi lain, depan pemberhentian bus kampus, terdapat halte bus yang mengambil arah berlawanan dari halteku. Bus kami berjalan berlawanan, dan aku melihat seorang laki-laki sedang menenteng kanvas ukuran sedang dan tas panjang yang sudah kutebak isinya adalah kuas beragam bentuk dan cat minyak. "Mahasiswa Seni." kataku dalam hati.

Aku berdiri disana melihatnya mengambil tas kecil coklat ditangannya yang lain lalu menyebrang jalan. Mataku menatapnya setelah lama berargumen kata dengan buku yang kubaca sejak tadi. Saat itu dengan lucunya, lagu melankolis yang seperti halnya dalam film-film romantis saat pria bertemu wanita secara tatap mata menyala, opening She's Got You High by Mumm-Ra menyala di list lagu di mp3-ku. Dan selama itu pula mata kami bertemu, aku hanya tetap berada ditempat masih menyentuh buku bacaanku saat dia berjalan melewatiku dan bibirnya menyuguhkan senyum kecil. Mata birunya, rambutnya cepak coklat legamnya yang tergantung rapi hampir menutupi jidatnya, penampilan jelas bukan anak yang mengikuti modern, semuanya ternilai biasa. Aku menoleh dan melihatnya dari belakang. 

Entah kenapa, selama 2 bulan ini aku belum pernah melihat sosoknya di kampus, dan untuk pertama kalinya sejak terakhir aku meninggalkan cinta mengerikan 3 tahun lalu aku merasakan sensasi aneh. Layaknya dua inti bertemu dan bergabung menjadi satu, mencintakan unsur dan gumpalan berbentuk aneh, entahlah..

Buku yang kutingalkan ditanganku menunjukkan halaman yang kubaca, mataku tertuju pada sebuah kutipan,
"..dan alam semesta mempertemukan mereka. Bukan sebagai hadiah atau balasan, tapi memang seharusnya begitu. Bagai dua samudra yang berbeda dan bertemu di titik yang sama. Tidak ada yang tahu dan merekapun tidak.." 

Aku menghela nafas, berusaha mengabaikan hari ini, "that's only in fairytale." ucapku benci dalam hati.

Au Revoir

Jumat, 19 April 2013





Dan lagu damai itu mengalun lembut melewati rambut seorang gadis yang tergerai berkilau ditelinga hingga pundaknya. Dia tertidur sunyi, lagu itu membawanya menuju lautan mimpi yang entah akan sejauh mana membawa dirinya. Jarinya yang panjang masih melingkarkan sebuah pena yang jaraknya beberapa milisenti dari lembaran kertas yang sudah hampir terisi penuh. Hembusan nafasnya tenang melewati pantulan kertas karena tidurnya dengan posisi miring.

Malam itu hujan turun kecil-kecil, jendela kamarnya terbuka sedikit dan menampakan bulan yang masih terang menggantung diawan. Sebuah tulisan tertoreh dibaris pertama kertasnya. Tulisan itu dapat terbaca dengan jelas. Lekukan huruf yang tertera disana meninggalkan cerita sendiri bagi yang mengamati. Ketika kau membayangkan bagaimana rasanya berdiri diantara semua kebohongan yang mengelilingi, dan kau hanya diam ditengah, marah tapi tidak tahu harus bagaimana. Itu yang terbaca jelas.


"..mungkin ini tempatku. Saat aku melihat bagaimana dua manusia itu bisa bersama lagi. Lalu apa peranku disini? Hanya menonton? Tidakkah manusia memiliki filmnya masing-masing dan dia sendiri adalah tokoh utamanya? Aku bahkan benci harus percaya dengan semua kebohongan ini, kebohongan dari mulutnya. Tidak ada yang nyata didunia ini selain 3; hidup, mati, dan Tuhan. Selain itu hanya ada luka, hanya ada potongan kecil cerita yang suatu saat bisa dikenang.."


Hanya itu. Dia menuliskan kalimat itu dalam tanda petik di awal dan akhirnya. Lalu baris kedua tertera panjang.


"Hidup mengajarkan bagaimana kita bertahan diantara sifat manusia yang berbeda-beda. Unsur yang belum tentu bisa menyatu layaknya air dan minyak yang dengan cara apapun tidak akan bisa tercampur. Dan dari itulah kita terus belajar dan mengerti bahwa setiap unsur memiliki kelemahan, layaknya manusia yang memiliki kekurangan. Dan diantara unsur yang berbeda, ada satu zat yang dapat membuat semua bisa tercampur sempurna. Saat kau merasakannya, tentu saja kau akan merasa hidupmu utuh, inilah hidup yang sesungguhnya. Dimana bagaimanapun caranya, kau akan selalu dapat melihat kebahagiaan bahkan hanya dengan melihat kehadirannya. Layaknya cairan berwarna merah marun dan berbau harum, dengan melihatnya sudah membuat siapun kagum dan bertanya-tanya cairan apa itu, itulah cinta. Racun.
Didunia ini, kebaikan dan keburukan hanya dalam dongeng. Karena didunia nyata, bahkan orang baik pun bisa menjadi orang yang jahat. Itulah hidup, siklusnya yang berputar dan tidak ada yang tahu kemana arahnya..."


Baris itu berhenti tepat tertutupi oleh tangan gadis itu. Baris selanjutkan dapat terlihat sedikit dibalik jarinya.


"...lelaki itu mulai memainkan instrumen sebuah lagu di pianonya, wajahnya menghayati penuh letika satu demi satu irama dibunyikan. Dari kejauhan aku melihatnya bukan seperti manusia yang pernah kukenal. Dia orang lain. Instrumen itu bercerita sesuatu, sebuah cerita dibalik irama piano, gitar instrumen, dan biola. Kurasa aku tahu siapa yang menginspirasikannya. Menginspirasikan cerita itu.
Ketika seorang pria mengungkapkan siapa dirinya pada wanita yang dia cintai, hal yang tidak diketahui wanita itu. Dan hal yang paling ditakutkan dalam hidupnya untuk bertemu dengan pria seperti itu, tapi tidak, kini pria itu berdiri didepannya. Pria yang dia cintai, seseorang yang dia takutkan selama ini. Tapi toh wanita itu tahu, dia mencintainya, itulah yang terpenting. Kita hanya perlu menerima tanpa meminta.
"Aku minta maaf." Itu bukan kalimat yang terucap kala semua benar-benar seharusnya terjadi. Manusia hidup memiliki alasan, seperti halnya takdir. Dan setiap kesalahan bukanlah akhir dari semua, itu hanya pembelajaran. Dan alasanku hidup seperti benang, aku tidak tahu kemana akhir dari benangku, aku juga tidak tahu benang siapa saja yang terlilit secara tidak sengaja pada benang takdirku, yang aku tahu, jika aku harus memotong benang itu, maka aku akan memulai dari awal lagi, dan itu buang-buang waktu. Maka aku akan mengais benangku, melepaskan ikatan rumit dari benang orang lain yang melilitku, lalu menelusuri kembali, dan seterusnya. Hingga akhir.
"Terima kasih." Itu bukan ucapan yang harus dibendung dengan paksa. Karena semua ini adalah pemberian, unsur hidup, racun, benang. Semua adalah perumpamaan yang setiap orang akan memiliki pengertiannya masing-masing. Ucapkan dengan tulus, karena tidak ada yang sia-sia didunia ini selama kalimat itu masih ada.
Dan ya, aku lelah sekali. Malam ini hujan deras, dan lagu ini akan terus menyala entah sampai kapan. Orang datang dan pergi, terus seperti itu, ada sebagian yang meninggalkan unsurnya yang tidak akan menyatu, ada beberapa yang meninggalkan cairan merah marun indah sebagai hadiah selamat tinggal, dan ada yang meninggalkan potongan benangnya dalam benang kita lalu tiba-tiba mereka pergi begitu saja, seperti angin. Entah waktu akan mempertemukan orang-orang itu kembali, dan itu ada pada cerita lain. Ya, setiap orang akan memiliki persepsi sendiri terhadap perumpanaan tadi. Seperti judul lagu ini,
Au Revoir(Sampai bertemu lagi)..."

Tulisan itu berakhir.

Nafas lembut gadis itu masih menjadi irama alunan selaras dengan suara gerimis dan lagu yang masih menyala menemani entah sampai kapan.

Kosong

Sabtu, 30 Maret 2013






Bahkan saat mata ini melihat mata itu, aku tahu sudah sejauh mana hati ini berlabuh. Sampai pada akhir dimana aku harus melihat mata itu yang menunjukkan sosok lain, ya sosok lain. Mengapa manusia datang dengan mudah lalu pergi begitu saja? Meninggalkan kisah lama yang pada akhirnya hanya menoreh luka dan meninggalkan raga ini menangis sendiri? Mengapa tidak hanya ada satu nama saja dihati ini ketika sudah benar-benar memilih? Mengapa?
"Aku tidak pergi, aku tahu dia akan disini. Aku tahu.."
"Tapi dimana? Sampai kapan nunggu yang ga akan pernah datang?." Aku menatap kosong. Air mata ini membendung. Aku yakin dia datang, aku selalu yakin itu. Dia sedang dalam perjalanan, aku akan menunggunya.
Bahkan tempat ini akan selalu sama. Semua posisi benda di ruangan ini sama, tapi aku yang berbeda, dan dia. Tapi toh ruangan ini adalah tempat kami, kami menyimpan banyak kisah disini, kami menaruh tawa kami, tangis kami, rindu kami, janji kami, di ruangan ini. Dan aku sendiri, entah sampai kapan menunggu semua isi ini terasa lengkap saat kau tiba. Entah kapan. Dan diluar sana, entah dimana. Aku selalu berharap dirinya baik-baik saja. Tidak perlu sepertiku yang menunggu disini, yang entah sampai kapan akan berpura-pura menutup ruangan ini dengan tersenyum. Aku lupa bagaimana rasanya air mata ini turun begitu saja saat harus menahan ini semua. Aku lupa bagaimana rasanya raga ini lelah saat menopang rasa sakit ini. Aku lupa bagaimana rasanya menaruh wajah semua baik-baik saja saat aku tahu bahwa aku tidak bisa begini. Cinta tak akan pernah menunjukkan sakit dengan cara ini. Tapi aku mencintainya, selalu. Bahkan dengan kekurangan itu aku selalu melihat indahnya dirimu, dirimu yang selalu buatku tenang. Hati ini tidak akan salah. Kaki ini sudah melangkah terlalu jauh saat harus menoleh kebelakang lagi. Mengapa harus kebelakang? Bukankah masa lalu adalah bentuk lain dari pilihan kita saat ini? Disini, hanya ada satu ruangan itu yang entah sampai kapan ada disana, meninggalkan debu disetiap sudutnya, meinggalkan kekosongan yang membayangkan kenangan lalu, dan kami yang kini yang entah sampai kapan harus lari lagi dari rasa ini.

a quiet afternoon

Sabtu, 26 Januari 2013

Sesuatu berdebat dalam kepalaku. Bagaimana orang yang baru datang dalam hidup kita dan dengan cepat sangat berarti sekali? Bagaimana dengan masa lalunya yang tidak pernah kita ketahui bisa membuat kita terdiam dan merasa tidak bernilai apa-apa? Bagaimana kita bisa berpikir bahwa dia hanya datang untuk mengucap salam lalu tiba-tiba bisa pergi begitu saja?
Sore itu aku terduduk sendiri di suatu kursi kayu dekat taman kota yang sunyi. Hanya beberapa orang berada ditempat itu. Dengan ditemani buku catatan dan segelas minuman cola, aku membiarkan diriku menikmati suasana ini. Terkadang aku merindukan seseorang yang setiap saat bisa duduk disebelahku menemaniku bicara dan membiarkan tanganku menulis lancar dibukuku. Sahabat lama yang tidak akan pernah bisa digantikan siapapun, gambaran orang luar biasa dalam hidupku. Dulu kami selalu bersama, menghabiskan waktu berdua, bercerita, bertukar pikiran, bercerita tentang mimpi, dan masa depan. Tapi tentu saja, seperti yang kukatakan, "mengucap salam lalu tiba-tiba bisa pergi begitu saja."
Banyak orang yang pernah singgah dalam hidup kita, membekaskan cerita dan kenangan yang hanya bisa diingat, dan tidak akan terulang lagi. Mereka meninggalkan jejak kata dan kisah yang bisa dijadikan pegangan dan ikatan kuat sebagai tanda kita pernah mengenal mereka.
Aku mengingat percakapan kami suatu saat ketika aku sedang mengambil gambar melalui kameraku dan dia sedang sibuk dengan ponselnya.
"To? Menurutmu kenapa orang bisa berubah?." Kataku tiba-tiba. Penasaran aku menolehkan wajahku padanya. Dia menatapku lalu mengangkat bahunya. Aku kecewa dengan jawabannya, Lalu aku memutuskan duduk di rumput dekat sawah berair dan melihat hasil potretku.
"Kenapa tanya begitu?." Katanya menghampiriku dan duduk disebelahku.
"Entahlah. Ayahku contohnya." Kataku terbuka. Kami terdiam sesaat.
"Kita ibarat air tenang ini.." Tangannya menyentuh lembut permukaan air sawah yang menyebabkan riak air kecil.
"Kita tenang, kita diam. Tapi ketika hujan datang, atau arus, atau ombak, atau apapun itu, kita akan bergerak, kita mengikuti arah manapun yang membawa kita ke tempat yang baru, suasana baru." Aku memperhatikan jarinya yang masih memainkan permukaan air.
"Suasana membuat kita berubah, begitu?." Kataku. Dia terdiam diam, berpikir.
"Bukan suasana, tapi memang sudah seharusnya kita berubah. Tentang jelek dan buruknya, itu tergantung diri masing-masing." Katanya tenang. Aku terdiam.
"Kita tidak tahu apa yang terjadi besok. Tapi kita tahu apa yang sudah terjadi. Dan yasudah, biarkan yang sudah terjadi." Katanya lembut.
"Menurutmu.. wajar kan kita merasa rendah dari orang lain?." Dia tertawa lalu berdiri dari duduknya.
"Kamu terlalu takut jadi diri sendiri.." Katanya sembari tertawa renyah dan meninggalkanku duduk sendiri.
Dia benar. Setiap orang berubah, hidupnya, pilihannya. Dan aku memang selalu takut jadi diri sendiri. Membayangkan diriku berdiri diantara orang banyak dan orang-orang itu adalah orang luar biasa, sedangkan aku bukan apa-apa. Kenapa seseorang mencintai seseorang yang bukan apa-apa? Kenapa hati dengan mudah berubah dari mecintai seseorang yang hebat lalu tiba-tiba pada seseorang yang biasa saja?
Sore itu aku hanya duduk dan meneguk colaku lalu menutuskan menulis sebuah nama dengan rapi dibuku catatanku. Nama yang entah kapan akan selalu ada disini, dihatiku. Aku tidak tahu harus berapa pertanyaan lagi yang muncul ketika aku harus memikirkan sosok dari nama itu. Dan aku berharap nama ini akan selalu ada, selamanya. Tapi membayangkan bagaimana kisah dibalik nama ini adalah ketakutanku, membayangkan kenapa nama ini tiba-tiba datang di hidupku, dan entah Tuhan akan membiarkan nama itu pergi begitu saja. Aku sudah cukup meneteskan air mata. Tuhan tahu bagaimana rasa ini padanya, cinta yang dengan enggan takut kurasakan lagi pada orang lain.
Dan ya, tidak ada yang tahu apa yang terjadi besok. Tapi aku ingin kau untuk hari ini, dan kau untuk besok. Mungkin orang hanya datang dan pergi, memberi lalu meminta, tersenyum lalu menangis. Tapi aku tidak akan menyerah untukmu, entah sampai kapan.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS