The Letter

Jumat, 21 Desember 2012

Wanita itu terduduk diam dan tenang dengan kertas kuning ditangannya. Matanya menelusuri tulisan yang sedang dia baca. Ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sama sekali. Padahal seharusnya dia tahu surat itu adalah jawaban atas setiap pertanyaan hatinya yang tak pernah terucap.
Dia menaruh kertas itu dimeja, meneguk kopinya yang mengepulkan asapnya sejak tadi. Matanya memandang keluar jendela. Menatap hujan deras yang membasahi setiap inci jalanan diluar.
Matanya yang coklat tua membendungkan air mata yang perlahan-lahan membendung penuh dikelopak matanya. Wajahnya tidak menunjukkan mimik sedih, dia meneteskan air mata begitu saja, seakan-akan dia telah lama memimpikan dapat menangis seperti itu.
Kurasa, tangis yang dia rasakan sebelum ini lebih menyiksa. Membuat cekung wajahnya menampakkan betapa bergejolaknya pikirannya. Membuat kantung mata hitam dibawah pelupuk matanya menghitam jelas jika diperhatikan dengan seksama.
Dia wanita yang sangat cantik. Dengan garis wajah halus mengenalkan bahwa dia adalah wanita yang tenang, jenis wanita yang lebih suka menghabiskan waktunya dirumah dengan membaca, menulis, atau mendengarkan musik klasik. Sesuatu dalam dirinya terusik, sesuatu yang membuat wajah cantiknya berubah menjadi sendu dan sayu.
Aku menghampirinya seraya membawa note kecilku ditangan. Wajahnya terkejut melihatku, lelaki tak dikenal yang membawa buku kecil duduk tepat diseberang dirinya. Aku tersenyum sebentar, lalu memberikan sapu tangan sutraku padanya dengan lembut. Jelas sekali dia sadar bahwa aku mengamati dia sejak tadi, karena aku yakin orang disekitar kami tidak sadar bahwa wanita ini menangis dalam diam.
"Ambillah." Kataku lembut. Mimiknya membuatku sedikit terusik. Aku tahu, ikut campur dalam urusan orang lain bukanlah ide yang baik. Tapi aku ingin mengahampirinya, hanya sedekar membuatnya tidak sendirian
.
"Terima kasih." Ujarnya pelan. Aku melipat note kecilku lalu menyelipkan bolpenku didalamnya dan mengantongkannya pada kantung jas sebelah kiriku.
"Kau jurnalis?." Ujarnya bertanya.
"Bukan. Aku penulis." Kataku singkat seraya tertawa kecil. Aku mengerti sekarang, matanya yang coklat itu menatapku heran. Sebaik-buruknya wanita, bertemu lelaki sepertiku akan merasa heran atas sikapku yang tidak begitu jelas.
"Apa aku mengenalmu?." Dia tertanya lagi. Aku terdiam dan hanya dapat melihat dirinya dengan kaku.
"Tidak. Tidak sekarang." Kataku singkat. Dia melipat sapu tanganku dengan mahir lalu menyodorkannya padaku di atas meja.
"Terima kasih untuk kebaikanmu. Maafkan aku. Tapi aku tidak mengenal anda." Katanya singkat. Dia membereskan tasnya lalu berdiri siap untuk pergi. Aku berdiri spotan dan tidak bisa menghentikan dia.
Mengapa harus kulakukan itu? Dia adalah wanita yang baru kutemui beberapa hari lalu. Wanita yang ketika kutemui pertama kali sedang berjalan berdua dengan suaminya, suaminya seorang pengacara terkenal ditempat ini. Hingga suatu saat berlalu kulihat wanita itu mengenakan pakaian serba hitam untuk menghadiri pemakaman suaminya yang baru meninggal beberapa hari setelahnya.
Aku tidak mengerti. Jika dia adalah sasaran tokoh dalam bukuku nanti. Aku bisa mengarangnya, mengarang kisah hidupnya, seperti fiksi. Tidak perlu harus mewawancarainya bukan?
Diluar tinggal gerimis kecil. Aku berlari mengejarnya dan mendapati dia berjalan cepat dengan mantel yang menutupi kepalanya.
"Kau meninggalkan kertasmu di meja." Kataku seraya memberikan kertas itu padanya. Dia menatap mataku sebentar, matanya coklat bening. Dia tidak mengambil kertas di tanganku.
"Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud ikut campur. Aku hanya.." Ucapku terpotong dengan kata-katanya.
"Kau penulis. Kau tahu mana yang perlu ditulis dan mana yang tidak." Katanya. Aku terdiam.
"Aku benar-benar minta maaf." Kataku dengan menyesal. Dia menunduk sebentar, lalu menatapku lekat-lekat.
"Aku tidak akan bercerita apapun denganmu. Kau tahu aku hanya seorang janda. Tidak ada satu kisahpun yang kau butuhkan dariku." Katanya dengan senyuman. Bukan. Bukan itu Ujarku dalam hati
.
"Aku tidak ingin menulis apapun tentang dirimu.."
Aku tidak melanjutkan lagi. Suarakuku tercekat, bibirku tak bisa mengutarakan apapun. Matanya yang coklat bening melihatku dengan tenang. Sesuatu dalam dirinya membuatku ingin selalu mencarinya, membuatku hampir setiap hari mengunjungi cafe tempat dirinya pergi membawa buku bacaan yang berbeda setiap harinya. Dan dia janda. Sedangkan aku, aku adalah mahasiswa yang beberapa bulan lagi akan lulus dan menjadi sarjana. Jelas kami berbeda. Tapi perasaan ini tidak akan berbeda.
"Terima kasih." Katanya dengan tersenyum.
"Kau bisa membawa kertas itu jika perlu. Aku tidak membutuhkannya lagi. Aku sudah mengerti. Kau tidak perlu mencari jawaban yang sama pada pertanyaan yang sama pula kan?." Katanya bergurau. Lalu dia berbalik pergi. Meninggalkanku sendiri dengan kertas ditanganku.
Aku kembali menuju cafe tempatku meninggalkan tasku. Dan mengambil tempat duduk yang diduduki wanita tadi. Aku membuka lipatan kertas kuning ini dan mendapati tulisan,
"Malam itu dingin dan bulan bersinar terang saat aku sadar bahwa hidup seseorang tidak akan terbaca dengan apapun. Aku terlalu dibutakan dengan materi, sayangku. Hingga cintamu tak terdapati lagi oleh hati ini. Cinta yang kita bawa hingga raga ini menyatu. Tapi kaki ini telah melangkah jauh, cintamu selalu disini, tapi diri ini tidak. Kuhempaskan semua bagai belati yang menusuk kelopak mawar merah yang cantik. Ringkihan nyawa ini sakit, sayangku. Diri ini terlalu kotor untuk kau sebut 'cintamu'. Tapi kau selalu membawa bahagia dengan tulus, tapi aku membuangnya begitu saja bahkan disaat aku tahu itu haram kulakukan. Aku mencintaimu sayangku, biarkan cairan kotor ini menggerogoti diri ini hingga habis. Hingga suatu saat disuatu tempat nanti, kulihat tangis bahagiamu yang lega melihatku pergi.." -R
Aku mengambil nafas panjang sembari melipat kertas itu lalu mengantonginya di saku jaket. Baru beberapa menit lalu aku merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kalinya dengan seorang wanita yang sudah memiliki suami. Tapi baru beberapa detik kemudian aku merasa bahwa cinta adalah sesuatu yang sakral. Aku tidak merasa hina telah mencintai wanita ini, wanita yang telah mati-matian mencintai suaminya hingga ajal mengambilnya. Cinta adalah sesuatu yang terlalu lama dikorbankan hingga terkadang diri ini tidak sadar sudah sejauh mana kita telah dibutakan. Terlalu suci untuk disebut kotor. Tapi cinta tahu, cinta tahu dimana letak ketulusan itu berada.
Terkadang, seseorang yang terlalu berarti bagi hidup kita akan merubah hidup kita ketika dia sudah tidak ada. Dan itu akan menjadi jejak hitam dalam hati kita, bahwa dia pernah melewati hati ini.
Dan wanita bermata coklat bening itu. Kurasa dia sudah mengerti, dan tangis dalam diamnya adalah tangis bahagia yang dimaksudkan dalam surat kecil ini. Sebuah kisah kecil yang tak akan kutulis dalam bukuku nanti, tapi kusimpan sebagai kisah abadi tentang cinta yang tak akan pernah mati.

Dear, Desember.

Jumat, 07 Desember 2012

Aku terdiam di sudut kursi disaat hujan turun. Gemuruh berbunyi kencang saat aku mulai mengetik kisah ini padamu, ya padamu yang akan membaca kisah ini.
"Bagiku, mengenal seseorang tidak hanya sekedar mengenalnya. Tapi mengingatnya. Mengingat setiap kisah ketika bersamanya.
Dia adalah sosok yang seakan tidak pernah peduli akan hidup orang lain. Sosok yang jelas sekali tidak ingin aku tahu seluk beluk hidupnya, sosok yang tidak akan pernah ingin aku tahu siapa dia sebenarnya.
Dan Tuhan selalu punya jalan lain, kami dipertemukan dengan sifat dan kisah yang berbeda. Dia adalah sosok pendengar yang baik, dia selalu menatap mataku saat aku bercerita entah apa kisah itu. Sosok yang jauh diatas pikiranku, dia sungguh baik.
Aku menangisi sesuatu disaat aku bahkan tidak mendapati dirinya yang melihatku, aku menangisinya mengharap dia tahu betapa aku peduli padanya. Aku berdoa dalam diam, berharap dia tahu betapa aku ingin dia mengerti bahwa aku disini selalu mengharap yang terbaik dalam dirinya. Aku tersenyum disaat dia bahkan tidak menoleh sedikitpun saat aku berharap dia sekedar menatap mata ini.
Alasan dimana hati ini direngut rasa sayang yang bahkan tanpa disadari telah menyakiti raga ini. Rasa sederhana dimananya namanya adalah alasan bagiku untuk terus menangis demi membuatnya sadar akan rasa ini.
Dia adalah yang pertama, yang membuatku bertahan akan sikapnya yang selalu buatku bertanya-tanya sejauh mana sayang ini padanya. Sayang yang berubah menjadi tulus hingga suatu saat harus berlalu.
Hati bukan bongkahan barang yang harus selalu didiamkan. Hati adalah barang yang harus dirawat. Barang yang layak dibersihkan, ditaruh di tempat yang seharusnya. Bukan sesuatu yang pantas didiamkan dan diletakkan tidak pada tempatnya.
Karena suatu saat kau akan sadar, barang itu menangis, menangisimu, mengharap kau selalu menjaga barang itu.
Raga itu hampir menyatu, dia mengerti diriku, begitu juga diri ini yang mengerti dirinya, yang selalu mencoba menjadi tempat naungan tawa disaat dia membutuhkannya dari kerasnya kehidupan ini.
Mencintaimu adalah anugrah. Tapi bukan untuk kupertahankan. Mencintaimu adalah tangis yang suatu saat harus terhapuskan oleh tawa. Mencintaimu adalah ucap yang suatu saat akan terganti..."
Aku menangis. Ya, tau kah kau? Aku bukan wanita yang mudah melupakan sesuatu. Hujan diluar hampir sebanding dengan air mata yang menetes di pipi ini. Aku mengingat kisah dimana aku pernah menulis sebuah kisah dimana aku berkhayal kau pergi, kau pergi jauh dengan adanya seseorang yang lain dalam hidupmu.
Dan aku disini terdiam. Melihatmu menggandeng tangan orang lain. Tapi aku sadar, dengan mengingat kisah aku mengerti, sedalam itulah cinta ini padamu. Cinta yang dengan susah payah kupertahankan sampai seseorang tiba dihidupku, membangunkanku, mengelus rambutku dan mengatakan "Aku disini, jangan menangis lagi..", yang membisikkan padaku bahwa aku sedang dalam mimpi buruk. Tidak, ini bukan mimpi buruk, bersamamu adalah mimpi indah. Dan aku tidak melupakan itu.
Maafkanlah diri ini. Semua canda tawa yang dilewati adalah mimpi indah yang tak terelakkan. Jangan pernah lupakan itu, karena aku disini, tidak akan melupakan itu sampai kapanpun. Sampai suatu saat aku bertemu lagi denganmu dengan kehidupan yang berbeda
Aku mengambil nafas panjang, membersihkan air mata diwajah ini lalu tersenyum. Berharap tidak hanya aku disini yang tersenyum, tapi dirinya. Yang kuharap membaca kisah ini jauh disanaya,
Terima Kasih.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS