Can you feel it?
Senin, 28 November 2011
Aku melangkahkan kaki dengan mantap, aku tau hari ini akan menjadi luar biasa. Tanganku mengepal erat, aku gugub untuk pulang. Ini bukan pertama kalinya aku gugub pulang kerumahku, ya rumahku. Bagaimana mungkin aku gugub kerumahku sendiri? Terlalu banyak kisah didunia ini, ya kan? Aku membuang semua resah dan gelisah, yang aku mau saat ini adalah, aku ingin pulang. Bertemu ayah dan ibuku, saudaraku yang setiap harinya tak pernah kudengar kabarnya. Ibuku selalu bilang, "Mereka sedang bermain.." atau "belum pulang sekolah.." malah parahnya "Mereka sedang sibuk..". Aku tahu itu alasan sempurna untuk tidak bicara denganku, aku tertegun pasrah mengingat hal itu. Ketika kaki ini mulai melangkah kaki menuju belokan, gemuruh petir mulai bersuara dari atas, awan mulai gelap dan angin berhembus liar melewati rambutku. Hujan akan turun sebentar lagi, aku senang sekali hujan, air yang menetes-netes dan bau air menyentuh tanah. Aku selalu merindukan suasana ini. Kucoba tersenyum sebentar. Sesekali kulihat anak-anak kecil berlarian melewatiku, mereka pulang memasuki pintu rumah mereka, ibu mereka menunggu dengan setia, ada yang tersenyum ada yang marah dan ada yang langsung memeluk mereka. Keluarga adalah tempat pertama, dan akan menjadi tempat terakhir yang paling tenang didunia. Mataku sedikit membendung, aku rindu ibuku, aku rindu ayahku yang selalu setia memberi kuliah malam ketika kami melihat acara TV tentang pendidikan. Ayahku adalah orang paling genius yang pernah kutemui, dan dia nyata. Bukan seperti J.K Rowling atau Albert Einsten yang aku kenal dari karya-karya mereka, tapi ini nyata, aku melihat sinar matanya ketika dia bicara tentang sesuatu yang luar biasa tentang planet bumi, tentang ciptaan Tuhan. Dan ibuku, dia adalah wanita terbaik, aku tau dibalik setiap marahnya ada sesuatu yang kami sebut "cinta". Jika dibayangkan, seorang ibu tidak akan membiarkan sesuatu melukai anak-anaknya, dan suaminya. Aku ingin seperti dia kelak. Mereka berdua adalah segalanya, aku tidak ada arti apa-apa dimata orang lain, tapi dimata mereka, aku adalah segala-galanya.
Titik-titik hujan mulai turun, membasahi jalanan yang kering, bau air bertemu tanah mulai tercium, rambutku mulai basah, baju dan tasku kurasa sudah diujung tanduk, aku benar-benar basah kuyub. Beberapa langkah lagi aku sampai, petir menyambar dengan kerasnya. Aku ingin masuk rumah, diluar dingin sekali. Aku berlari menuju rumahku yang mulai terlihat diujung mata, entah kenapa aku benar-benar bersemangat, sebentar lagi aku aman dari hujan ini, rumahku sudah menungguku. Kubuka pagar dan menaruh tasku yang berat, kuangkat buku-buku jariku dan hampir mengetok pintu ketika sesuatu yang lebih menyengat membakar telingaku. Sesuatu yang lebih parah dari petir yang kudengar diluar. Tangan ini hampir setengah senti lagi menyentuh pintu, kubiarkan diriku mendengar apa yang terjadi didalam.
"...kau tidak tahu apa-apa!!." Ucap seorang lelaki biacar, ayahku.
"Aku kurang apa?!." Bentakan campur isak tangis membalas, ibuku menangis.
"LIHAT AKU!!." Ucap ibuku lagi dalam raungan.
"Dia akan pulang sebentar lagi!." Ucap ayahku.
"Biar dia dengar! Dia tahu! Harus diselesaikan malam ini!..." Ibuku menjawab
Sesuatu bagai merobohkan bangunan yang kubangun ketika aku membayangkan bagaimana rasanya pulang, aku masih terpaku. Tidak tahu harus berbuat apa. Aku tersadar, "Dimana adik-adikku?." Aku berjalan menuju jendela. Melihat tanda-tanda mereka disuatu ruangan. Ketika aku melihat jendela yang lampunya dimatikan, aku mengintip sedikit, adik-adikku sedang duduk berdua. Terdiam tak berkata, aku tidak tahu apa yang mereka lakukan, entah menangis, entah menunggu. Air mata ini jatuh seketika, aku ingin membawa mereka keluar. "Tolong Tuhan.. Mereka masih sangat kecil, lakukan sesuatu.." Doaku dalam hati. Aku tidak berharap mereka melihatku, aku mundur dari tempatku. Inilah yang terjadi, aku selalu lupa bagaimana diriku yang sebenarnya.
Seseorang pernah berkata padaku, Rumah adalah tempat yang selalu menjadi kunjungan terakhir bagimu, dan itu adalah tempat yang menciptakan suasana hati yang tenang dan akan selalu membuatmu rindu ingin pulang. Aku selalu ingin pulang, tapi tidak dengan kenyataan yang seperti ini. Aku berlari keluar pagar, kutinggalkan tasku tersender di tembok dekat pintu. Aku berlari, membiarkan dadaku, nafasku, isakku bercampur jadi satu. Aku tidak tahu kemana kaki ini melangkah, hujan ini masih berguyur deras membasahi tubuhku, rambutku, wajahku. Air mata dan hujan bercampur jadi satu di wajah ini. Kau tahu bagaimana rasanya menangis dengan keadaan seperti ini? Apakah kau pikir kau tenang dengan hujan ini, dan lega? Tidak bagiku. Aku sakit, benar-benar sakit. Aku butuh mereka yang tahu apa yang terjadi padaku, aku butuh payung yang menutupiku dari jarum-jarum air ini, aku butuh pelukan untuk hangatkan hatiku yang dingin, aku butuh seseorang membisikkan sesuatu yang buatku sadar bahwa aku sedang dalam cobaan. Dan hal paling menyakitkan dalam berharap adalah, kau hanya bisa membayangkannya, dan terjadi tidak terjadinya harapan itu, kau hanya bisa menerima. Tidakkah hidup terlalu sulit?
Aku berhenti dari lariku, aku tidak tahu persis dimana aku berada, air hujan ini benar-benar menutup semua yang ada didepannya. Aku terdiam, membayangkan diriku yang bahagia. Menyakitkan sekali membayangkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang terjadi sebenarnya. Aku sadar, apa yang kubayangkan seakan cerminan diriku dari bayangan. Bayangan adalah semu, bohong, pantulan bias yang sempurna. Dan aku melihat diriku yang jauh berbeda dengan diriku yang sebenarnya. Aku benar-benar berantakan, aku tidak tahu harus kutaruh mana lingsutan kekesalahn, emarah, benci, dan takut ini, aku tidak tahu harus kemana lagi kaki ini berlari, aku tidak tahu harus kepada siapa lagi aku bersandar. Orang yang kupercaya telah jauh, jauh dari diriku yang berdiri disini. Aku butuh mereka.. Sangat butuh..
Selasa, 08 November 2011
Udara tak sedingin yang kukira. Mantel buluku tak mampu melindungi tubuhku yang terbuka. Laju kereta kuda buatku bosan duduk di kursi empuk hingga menunggu tiba di acara. Ibuku hanya bisa sesekali meilirikku tanpa bicara. Dan sejujurnya akupun tak segan-segan harus bertanya mengapa. Aku bosan bicara. Membuang waktu. Begitulah aku..
Sinar lampu mulai menghiasi jendela-jendela kereta. Dan yang paling indah, sebuah istana megah berdiri tak jauh dari tempat keretaku berjalan. Suara langkah kaki kuda makin cepat. Dan anehnya, jantungku mulai memburu. Aku tak pernah suka pesta. Aku benci berdandan. Memakai gaun panjang dan sepatu indah yang hiasi kakiku. Tapi ini pesta istimewa. Keluargaku diundang acara perayaan putra sulung keluarga istana. Ayahku adalah perdana menteri jadi tak heran aku haru diundang di acara kerajaan ini. Acara pertunangan sang Pangeran. Aku tak begitu peduli. Rupanya rasa tidak sukaku pada pesta diketahui ibuku. Ia membantuku penggunakan gaunku yang sejujurnya, memang indah dan mewah.
"Kau cantik." Kata ibuku memandangku lewat cermin. Ku pandang wajahnya hingga tubuhku yang berselimut gaun satinku. Aku hanya bisa menggeleng, tidak setuju.
"Nikmatilah malam ini sayang. Acara ini istimewa."
"Aku tak pernah bisa beradaptasi dengan hal semacam ini." Kataku mengingatkan.
"Hanya malam ini saja." Kata ibuku memohon. Aku hanya diam. Ia memberiku sebuah topeng berhias manik-manik indah. Bening dan mengkilat. Kata ibu, warna ini cocok dengan warna mataku. Ini lebih baik. Setidaknya, ada sesuatu yang bisa menutupi wajahku. Dan baiknya, ini memang pesta topeng. Benar-benar membosankan.
Kereta tiba di depan pintu istana, aku dan ibu turun dengan perlahan. Ibuku tersenyum padaku dan menuntunku berjalan memasuki aula. Ketika pintu terbuka lebar, aku hanya bisa mengambil nafas panjang. Banyak orang berbincang, tertawa, minum dan memamerkan oksesori mereka. Tapi sesekali aku sadar beberapa diantara mereka memandang ke arah kami. Entah apa yang dilihat mereka, tapi aku harap bukan Aku.
"Bisa kutinggal sebentar kan? Ibu ingin bicara dengan kenalan ibu." Kata ibuku tiba-tiba,
"Ya. Tentu." Kataku.
"Baiklah. Nikmati sebisamu." Kata ibuku dan ia berpaling menjauh.
Aku mulai berjalan. Kakiku gugub mencari tempat nyaman untuk diduduki. Ketika aku menemukan kursi kosong dekat balkon, kulihat seseorang berdiri sendiri disana. Seorang lelaki seperti sedang memandang sesuatu. Rasa lelahku untuk duduk hilang, ingin rasanya menemuinya dan melihat apa yang dilihatnya. Kaki ini rupanya bergerak tanpa aku harus menyuruhnya. Ketika aku sampai di balkon, ia sedang memandang ke langit diatas. Ia memakai topeng hitam perak dengan ukiran emas. Ia menoleh padaku, aku sedikit terkejut. Pandangan matanya hitam, misterius. Aku tetap diam di tempat. Ini salahku mengganggu ia sendiri.
"Maaf." Kataku seraya menelan ludah.
"Apa aku mengenalmu?." Katanya.
"Tidak. " Aku memutuskan omonganku. Ia menunggu.
"Maaf. Ini tidak sopan, aku tahu. Maaf." Kataku dan mulai berbalik meninggalkannya. Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku begitu gugub?. Aku bahkan tak berani menoleh padanya.
"Tunggu." Aku terkesiap diam ditempat. Hatiku mulai gugub. Ia bicara lagi.
"Kau tidak menggangu. Aku hanya sedang melihat bintang." Aku tetap diam dan tak membalikkan tubuhku padanya.
"Apa kau salah satu diantara tamu?." Aku mengambil nafas, dan berbalik padanya.
"Ya." Dia memandang mataku lama sekali. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini, atau bisa dibilang, aku akan langusng membuang muka jika ada seseorang menatapku sebegitu rupanya. Tapi aku tak ada niat membuang muka. Akupun memandang mata hitam itu, mata yg bening diantara batas-batas kelopak topengnya. Rupanya keheningan ini membuatnya sadar lebih dahulu dari aku.
"Apa kau bosan dengan suasana pesta ini?." Katanya seperti mengoreksi. Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan itu.
"Maaf, aku memang tidak begitu suka dengan hal semacam ini."
"Oh. Bisa kulihat itu." Katanya seraya tersenyum.
"Kalau kau tak keberatan, mungkin kau mau melihat pemandangan dari sini." Katanya lagi seraya menatap langit luas diatas. Aku melihat arah yang ia lihat. Langit luas dan hamparan bintang terbantang indah diatas kita, seakan-akan karpet hitam menutup kami. Indah.. Luas..
“Aku belum pernah melihat bintang seindah ini.” Kataku memuji. Lelaki itu memandangku.
“Kupikir, diluar istana kau bisa melihat yang jauh lebih indah dari ini.” Katanya dengan tertawa.
“Ya, tapi singguh...” Aku berjalan maju manuju bibir balkon dan tetap memandang langit. “Ini sungguh indah.” Aku tidak menolehkan wajahku menatap lelaki dibelakangku. Aku benar-benar menikmati suasana ini.
Lama dalam keheningan..
“Aku tidak pernah menyetujui pertunangan ini.” Kata lelaki disebelahku, nada suaranya menerawang. Aku menolehkan muka padanya. Terheran-heran dengan apa yang ia ucap. Ia membalikkan wajah dan menatapku.
“Ini adalah acara pertunanganku.” Aku spontan menghindar darinya. Jantungku berdegub kencang, rasanya ingin lari dari hadapannya.
“Kau Pangeran.” Aku berkata pelan, hampir seperti bisikan. Ia tetap diam.
“Sejujurnya, gadis itu sangat cantik. Dia adalah keluarga kerajaan dari negeri seberang. Ia putri bangsawan, dia baik pada semua orang, awal aku bertemu dengannya. Aku pikir ia adalah malaikat yang diturunkah Tuhan. Dia amat.. Sempurna.” Aku menunggu.
“Tapi, aku tidak bisa mencintainya. Kau pun pasti berpikir ingin menikahi orang yang kau cinta kan?.” Katanya, dan ia memandangku. “Apa aku menakutimu?”
“Mungkin.” Kataku gugub. “Kau mungkin harus kembali memakaikan cincin di jari tunanganmu, sebelum ada seseorang tahu kau bersama orang lain disini. Maafkan aku.” Aku berjalan menjauhinya. Perasaan bersalah campur sedih menggerautiku. Tunggu, Sedih?.
Aku meninggalkan ia berdiri mematung. Sungguh aku tidak tahu apa yang telah kupikirkan. Kata-kata itu melantur begitu saja dari mulutku. Mungkin tidak sopan, tapi aku tahu aku sudah berbuat benar. Atau, aku yang salah?. Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyadari bahwa ia adalah seorang Pangeran. Aku terhenti dari jalanku, sesuatu membendung mataku...
“Siera! Oh tuhan. Darimana saja kau?.” Ibuku terhuyun-huyun mendatangiku.
“Maaf, aku terlalu jauh berkeliling. Ibu, kau tak apa-apa?.” Kataku.
“Yah, tentu. Tidak sayang, ibu pikir kau melarikan diri karena....” Aku tersenyum.
“Kau menangis?.” Kata ibu lagi dengan pandangan mengoreksi. Aku terkejut, Menangis?
“Oh, tidak Bu. Aku tidak apa-apa.” Kataku meyakinkan.
“Baiklah.” Tampaknya ibu tidak yakin.
“Sebenarnya, para pengawal sedang berkeliling dengan gelisah. Dan sejujurnya, ibu sangat yakin acara ini seharusnya sudah daritadi dimulai. Tapi melihat keadaan, mungkin sang pangeran melarikan diri dari pertunangan. Ibu barusan mendengar bisik-bisik bahwa sang putri sedang cemas karena calon tunangannya hilang.” Aku terdiam.
“Bisakah kita pulang sekarang?.” Kataku memohon. Ibu spontan memandangku kaget.
“Tapi acara ini belum berakhir..”
“Baiklah aku saja yang pulang. Ibu tidak keberatan kan jika disini sendirian? Sungguh bu, ada yang harus aku lakukan.” Kataku. Jujur, aku begitu bodoh hingga aku cengeng begini. Tapi aku benar-benar ingin pulang. Ibuku tetap diam.
“Baiklah. Pulanglah. Bawa antar jemput kita, lalu suruh kembali..”
“Tidak bu, aku pulang sendiri saja. Sungguh aku tidak apa-apa. Aku membawa mantel. Ibu tak perlu khawatir.” Ibuku diam. Tapi aku sudah memasang tampang tidak betah sehingga ibuku mengambil nafas dan akhirnya mengangguk.
“Trims bu.” Aku segera pergi tanpa menoleh pada ibuku lagi. Dan ketika aku sadar aku jauh dari istana, tanpa aku harus aku memulai, air mata ini jatuh..
Sinar lampu mulai menghiasi jendela-jendela kereta. Dan yang paling indah, sebuah istana megah berdiri tak jauh dari tempat keretaku berjalan. Suara langkah kaki kuda makin cepat. Dan anehnya, jantungku mulai memburu. Aku tak pernah suka pesta. Aku benci berdandan. Memakai gaun panjang dan sepatu indah yang hiasi kakiku. Tapi ini pesta istimewa. Keluargaku diundang acara perayaan putra sulung keluarga istana. Ayahku adalah perdana menteri jadi tak heran aku haru diundang di acara kerajaan ini. Acara pertunangan sang Pangeran. Aku tak begitu peduli. Rupanya rasa tidak sukaku pada pesta diketahui ibuku. Ia membantuku penggunakan gaunku yang sejujurnya, memang indah dan mewah.
"Kau cantik." Kata ibuku memandangku lewat cermin. Ku pandang wajahnya hingga tubuhku yang berselimut gaun satinku. Aku hanya bisa menggeleng, tidak setuju.
"Nikmatilah malam ini sayang. Acara ini istimewa."
"Aku tak pernah bisa beradaptasi dengan hal semacam ini." Kataku mengingatkan.
"Hanya malam ini saja." Kata ibuku memohon. Aku hanya diam. Ia memberiku sebuah topeng berhias manik-manik indah. Bening dan mengkilat. Kata ibu, warna ini cocok dengan warna mataku. Ini lebih baik. Setidaknya, ada sesuatu yang bisa menutupi wajahku. Dan baiknya, ini memang pesta topeng. Benar-benar membosankan.
Kereta tiba di depan pintu istana, aku dan ibu turun dengan perlahan. Ibuku tersenyum padaku dan menuntunku berjalan memasuki aula. Ketika pintu terbuka lebar, aku hanya bisa mengambil nafas panjang. Banyak orang berbincang, tertawa, minum dan memamerkan oksesori mereka. Tapi sesekali aku sadar beberapa diantara mereka memandang ke arah kami. Entah apa yang dilihat mereka, tapi aku harap bukan Aku.
"Bisa kutinggal sebentar kan? Ibu ingin bicara dengan kenalan ibu." Kata ibuku tiba-tiba,
"Ya. Tentu." Kataku.
"Baiklah. Nikmati sebisamu." Kata ibuku dan ia berpaling menjauh.
Aku mulai berjalan. Kakiku gugub mencari tempat nyaman untuk diduduki. Ketika aku menemukan kursi kosong dekat balkon, kulihat seseorang berdiri sendiri disana. Seorang lelaki seperti sedang memandang sesuatu. Rasa lelahku untuk duduk hilang, ingin rasanya menemuinya dan melihat apa yang dilihatnya. Kaki ini rupanya bergerak tanpa aku harus menyuruhnya. Ketika aku sampai di balkon, ia sedang memandang ke langit diatas. Ia memakai topeng hitam perak dengan ukiran emas. Ia menoleh padaku, aku sedikit terkejut. Pandangan matanya hitam, misterius. Aku tetap diam di tempat. Ini salahku mengganggu ia sendiri.
"Maaf." Kataku seraya menelan ludah.
"Apa aku mengenalmu?." Katanya.
"Tidak. " Aku memutuskan omonganku. Ia menunggu.
"Maaf. Ini tidak sopan, aku tahu. Maaf." Kataku dan mulai berbalik meninggalkannya. Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku begitu gugub?. Aku bahkan tak berani menoleh padanya.
"Tunggu." Aku terkesiap diam ditempat. Hatiku mulai gugub. Ia bicara lagi.
"Kau tidak menggangu. Aku hanya sedang melihat bintang." Aku tetap diam dan tak membalikkan tubuhku padanya.
"Apa kau salah satu diantara tamu?." Aku mengambil nafas, dan berbalik padanya.
"Ya." Dia memandang mataku lama sekali. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini, atau bisa dibilang, aku akan langusng membuang muka jika ada seseorang menatapku sebegitu rupanya. Tapi aku tak ada niat membuang muka. Akupun memandang mata hitam itu, mata yg bening diantara batas-batas kelopak topengnya. Rupanya keheningan ini membuatnya sadar lebih dahulu dari aku.
"Apa kau bosan dengan suasana pesta ini?." Katanya seperti mengoreksi. Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan itu.
"Maaf, aku memang tidak begitu suka dengan hal semacam ini."
"Oh. Bisa kulihat itu." Katanya seraya tersenyum.
"Kalau kau tak keberatan, mungkin kau mau melihat pemandangan dari sini." Katanya lagi seraya menatap langit luas diatas. Aku melihat arah yang ia lihat. Langit luas dan hamparan bintang terbantang indah diatas kita, seakan-akan karpet hitam menutup kami. Indah.. Luas..
“Aku belum pernah melihat bintang seindah ini.” Kataku memuji. Lelaki itu memandangku.
“Kupikir, diluar istana kau bisa melihat yang jauh lebih indah dari ini.” Katanya dengan tertawa.
“Ya, tapi singguh...” Aku berjalan maju manuju bibir balkon dan tetap memandang langit. “Ini sungguh indah.” Aku tidak menolehkan wajahku menatap lelaki dibelakangku. Aku benar-benar menikmati suasana ini.
Lama dalam keheningan..
“Aku tidak pernah menyetujui pertunangan ini.” Kata lelaki disebelahku, nada suaranya menerawang. Aku menolehkan muka padanya. Terheran-heran dengan apa yang ia ucap. Ia membalikkan wajah dan menatapku.
“Ini adalah acara pertunanganku.” Aku spontan menghindar darinya. Jantungku berdegub kencang, rasanya ingin lari dari hadapannya.
“Kau Pangeran.” Aku berkata pelan, hampir seperti bisikan. Ia tetap diam.
“Sejujurnya, gadis itu sangat cantik. Dia adalah keluarga kerajaan dari negeri seberang. Ia putri bangsawan, dia baik pada semua orang, awal aku bertemu dengannya. Aku pikir ia adalah malaikat yang diturunkah Tuhan. Dia amat.. Sempurna.” Aku menunggu.
“Tapi, aku tidak bisa mencintainya. Kau pun pasti berpikir ingin menikahi orang yang kau cinta kan?.” Katanya, dan ia memandangku. “Apa aku menakutimu?”
“Mungkin.” Kataku gugub. “Kau mungkin harus kembali memakaikan cincin di jari tunanganmu, sebelum ada seseorang tahu kau bersama orang lain disini. Maafkan aku.” Aku berjalan menjauhinya. Perasaan bersalah campur sedih menggerautiku. Tunggu, Sedih?.
Aku meninggalkan ia berdiri mematung. Sungguh aku tidak tahu apa yang telah kupikirkan. Kata-kata itu melantur begitu saja dari mulutku. Mungkin tidak sopan, tapi aku tahu aku sudah berbuat benar. Atau, aku yang salah?. Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyadari bahwa ia adalah seorang Pangeran. Aku terhenti dari jalanku, sesuatu membendung mataku...
“Siera! Oh tuhan. Darimana saja kau?.” Ibuku terhuyun-huyun mendatangiku.
“Maaf, aku terlalu jauh berkeliling. Ibu, kau tak apa-apa?.” Kataku.
“Yah, tentu. Tidak sayang, ibu pikir kau melarikan diri karena....” Aku tersenyum.
“Kau menangis?.” Kata ibu lagi dengan pandangan mengoreksi. Aku terkejut, Menangis?
“Oh, tidak Bu. Aku tidak apa-apa.” Kataku meyakinkan.
“Baiklah.” Tampaknya ibu tidak yakin.
“Sebenarnya, para pengawal sedang berkeliling dengan gelisah. Dan sejujurnya, ibu sangat yakin acara ini seharusnya sudah daritadi dimulai. Tapi melihat keadaan, mungkin sang pangeran melarikan diri dari pertunangan. Ibu barusan mendengar bisik-bisik bahwa sang putri sedang cemas karena calon tunangannya hilang.” Aku terdiam.
“Bisakah kita pulang sekarang?.” Kataku memohon. Ibu spontan memandangku kaget.
“Tapi acara ini belum berakhir..”
“Baiklah aku saja yang pulang. Ibu tidak keberatan kan jika disini sendirian? Sungguh bu, ada yang harus aku lakukan.” Kataku. Jujur, aku begitu bodoh hingga aku cengeng begini. Tapi aku benar-benar ingin pulang. Ibuku tetap diam.
“Baiklah. Pulanglah. Bawa antar jemput kita, lalu suruh kembali..”
“Tidak bu, aku pulang sendiri saja. Sungguh aku tidak apa-apa. Aku membawa mantel. Ibu tak perlu khawatir.” Ibuku diam. Tapi aku sudah memasang tampang tidak betah sehingga ibuku mengambil nafas dan akhirnya mengangguk.
“Trims bu.” Aku segera pergi tanpa menoleh pada ibuku lagi. Dan ketika aku sadar aku jauh dari istana, tanpa aku harus aku memulai, air mata ini jatuh..
Langganan:
Postingan (Atom)