
Kau tau? Jika aku adalah manusia satu-satunya didunia ini, maka aku akan memilih untuk hidup tanpa apapun. Jika aku adalah makhluk terakhir yang ada didunia ini, aku akan memilih mati bahkan berharap untuk tak pernah dihidupkan lagi. Tapi bagaimana dengan mereka? Soe Gok Gie, Kitou Aya, Anne Frank bahkan Lady Diana dan mereka-mereka yang lain. Mereka adalah manusia yang hidup dengan mimpi yang buta, mereka menutup mata sebelum apa yang mereka inginkan tercapai. Bagaimana dengan mereka yang hidup dengan penuh kebahagiaan? Dan bagaimana dengan mereka-mereka yang hidup kebalikan dari semua itu? Pernahkah kau sadari bahwa jika kau bercermin, wajahmu terlihat baik-baik saja, tapi bagaimana dengan wajahmu yang terpantulkan? Apakah dia juga baik-baik saja?
“Aku tau bagaimana diriku yang sekarang.” Ujarnya, sembari tersenyum padaku.
“Setidaknya kau tetap ingin ke Jepang kan?.” Ujarku tertawa kecil.
“Aku sudah janji pada ibuku. Aku akan menepatinya.” Katanya lirih. Aku mengangguk setuju.
“Menurutku, neraka adalah tempat orang-orang terbuang, orang-orang yang mati, orang-orang yang tenggelam di air mata mereka sendiri. Mungkin aku akan kesana suatu saat nanti.” Katanya tiba-tiba. Kami berdua terdiam. Aku meneguk kopiku lagi. Kami sudah duduk 2 jam dengan pembicaraan tanpa akhir. Dia bukan orang yang spesial untukku, dia sama denganku. Kami bertemu dengan kesamaan yang banyak. Itu yang membuat kami selalu bersama, dan terkadang kami merasa kembar.
“Aku takut.” Kataku sembari tersenyum. Dia menoleh padaku.
“Aku pernah bermimpi, tapi dulu.” Kataku lagi, kini aku benar-benar tertawa. Dia tersenyum lalu meneguk kopinya, aku tahu dia menunggu.
“Aku berada di sebuah panggung, aku melihat diriku yang lain sedang berbicara membacakan puisi. Tetapi para penonton tak memperdulikan aku yang sedang berbicara, aku melihat adegan itu dengan heran. Mengapa semua orang tak mendengarkanku? Lalu ketika aku mendekati diriku, aku menyadari, diriku yang membacakan puisi itu menangis.” Kataku. Dia mendengar ceritaku dengan alis mengkerut. Lalu aku melanjutkan ceritaku.
“Aku masih tak mengerti apa yang terjadi, lalu aku mendengar suaraku yang membacakan puisi. Entah mengapa, ketika aku tertidur pun, aku merasakan air mataku benar-benar jatuh. Aku yang melihat diriku membacakan puisi juga menangis. Tapi aku masih tak tahu apa yang dibacakan diriku di puisi itu. Aku benar-benar takut, bahkan sampai saat ini.”
“Lalu adegan itu terganti, kau tau? Seperti sebuah film. Lenyap begitu saja.” Kataku setengah tertawa. “Dan aku berdiri lagi ditempat yang sama, sebuah panggung, para penonton dan diriku yang lain. Tapi, adegan itu tak berwarna, Hitam Putih, tidak seperti yang sebelumnya. Diriku mulai membacakan puisi yang lain, aku menunggu. Aku melihat diriku yang lain membacakannya dengan bibir yang bergerak, tapi aku tak bisa mendengar satu kata pun. Aku tak tahu apa yang dibacakan diriku yang disana, hingga akhirnya aku menyadari. Semua penonton menangis, tapi diriku yang membacakan puisi tak meneskan air mata sedikitpun, sepertiku yang asli. Aku masih tak mengerti apa yang terjadi, karena aku tak mendengar apa yang kukatakan disana. Hingga akhirnya aku terbangun. Mataku sembab, aku merasakannya.” Kataku mengakhiri. Dia diam, ekspresinya datar. Aku berharap dia mengatakan sesuatu.
“Apa aku pantas untuk takut?.” Kataku.
“Apa aku pantas untuk bilang ‘tidak’?.” Katanya seraya tertawa. Aku tersenyum kecil.
“Banyak hal didunia ini yang belum kita tahu artinya, kau sendiri tau arti dari kata ‘cinta’?.” Katanya dengan suara menghina.
“Cinta itu buta.” Ujarku singkat. Dia tertawa.
“Hanya itu?.” Katanya dengan nada suara menghina.
“Well, Kahlil Gibran bilang, cinta adalah saat dimana kau mau berkorban demi rasa kasih sayangmu. Bella Swan bilang, cinta adalah mati, maksudnya kau rela memberi apapun demi cinta itu. Romeo bilang, cinta adalah anggur, kau akan mabuk jika sudah merasakannya. Dewi Lestari bilang, cinta adalah ketika kau merasa dia adalah belahan jiwamu. Lalu, bagaimana denganmu?.” Katanya memberi pentunjuk.
“Sejujurnya, aku lebih setuju dengan anggapan Kahlil. Cinta itu tak adil, jika memang kita bahagia ketika jatuh cinta, mengapa kita harus sakit di akhirnya?.”
“Entahlah, mungkin karena kita tak diharuskan menghabiskan waktu untuk lama-lama merasakan cinta.” Katanya nyeplos, aku tertawa.
“
Hey.. kita masih 16 tahun. Kau tak akan memperburuk masa mudamu dengan menangis di kamar seharian karena baru putus kan?.” Katanya melontarkan kata-kata itu dengan sejujur-jujurnya. Mungkin dia benar, buat apa menghabiskan waktu merasakan sakit jika sudah tahu akhirnya? Dia mengambil handphone di sak celana jinsnya, dia memencet beberapa tombol lalu mengantongi handphonenya lagi. Aku memerhatikan setiap gerak-geriknya. Lalu dia menatapku.
“APA?.” Katanya histeris. Aku terheran-heran. Ekspresinya seperti melihatku hantu.
“
Well, aku heran. Cobalah untuk sesekali PDKT sama perempuan. Itu yang sms tadi pacar kamu?.” Kataku. Ekspresinya antara marah dan tersinggung. Aku tertawa lalu meneguk kopinya yang tinggal sedikit.
“Kita tidak akan membicarakan ini lagi kan? Itu bukan pacarku, itu pembantuku.” Katanya mengingatkan. Aku mengangkat bahu. Dia meneguk kopinya lagi, aku mengalihkan pandanganku menuju pekarangan bunga. Begitu banyak warna dilapangan kecil itu, matahari seakan menyiram bunga-bunga itu dengan sinarnya. Mereka bergerak kesana kemari mengikuti arah angin. Entah mengapa aku merasa iri, dunia ini masih menyimpan sesuatu yang indah seperti mereka. Haruskah kita bersyukur? Tentu saja. Itu kata pertama yang terpikirkan dikepalaku. Mungkin yang dikatakan temanku ini benar, suatu hari dia pernah bilang, “Bukankah kita diberi semua ini bukan untuk kesia-siaan?.” Aku tersenyum kecil, aku merasa sedikit bersyukur aku masih bisa melihat ini semua.
“Jadi bagaimana dengan novelmu?.” Katanya membuyarkan lamunanku.
“Sudah ada 8 buku.” Kataku bodoh.
“Dan tidak kau terbitkan?.” Katanya sedikit tidak percaya. Sekitar 12 detik aku terdiam sebelum menjawab pertanyaannya.
“Bukan saatnya mereka dipublikasikan.” Kataku polos. Dia memasang tampang tak percaya, dia menggelengkan kepalanya. Aku tahu apa yang akan dia jawab.
“8 Novel dan salah satunya sudah kau buat lebih dari 3 tahun! Apa yang kau pikirkan?!.” Rupanya perkiraanku benar. Beberapa hal yang kupikir sulit untuk kumengerti, dan herannya, orang-orang tertentu yang mengerti diriku juga merasakannya. Pertama, tawaran sekolah di Jakarta gratis. Jelas aku menolak, jika bukan karena orang tua dan sahabat mungkin aku sudah terbang ke Jakarta sejak tahun ajaran baru di SMA. Kedua, biaya kuliah di tanggung jawab nenekku, orang tuaku benar-benar menolak mentah-mentah tawaran itu. Begitu juga denganku, buat apa aku meraup uang masa tua seorang nenek-nenek sedangkan aku masih bisa menabung sendiri? Tapi untuk masalah ini memang belum ada jalan keluarnya, aku harap aku bisa mengatur itu sendiri mengingat aku akan kuliah jauh dari orang tua. Bibiku adalah dosen di UGM, dan aku mulai membuka diri untuk masuk disana, seperti kata ayahku “Niat dulu, banyak-banyak berdoa. Itu kan pilihanmu sendiri nak.”. Yah, aku pasti bisa menghadapinya. Dan ketiga, menjadi penulis. Aku hanya bisa tertawa jika membicarakan masalah ini.
“Aku merasa konyol jika harus menerbitkannya.” Kataku tertawa renyah. Karena kopiku sudah habis, dan kurasanya cangkir miliknya juga sudah kosong. Maka aku memutuskan untuk mengisi cangkir kami.
“Mau kopi lagi?.” Kataku menawarkan.
“Enggak.” Katanya sembari memejamkan matanya. Aku bediri lalu masuk ke dalam rumah. Adik-adikku sedang menonton tv dan ibuku sedang menulis sesuatu di meja makan. Beliau membaca kata perkata begitu detailnya sampai alisnya mengkerut sempurna seakan terlihat segaris. Kaca matanya yang persegi panjangnya yang melekat di tulang hidungnya begitu dekat jaraknya dengan tulisan di kertas.
“Buk, jangan kecapekan ya?.” Ujarku mengingatkan. Ibu tidak menjawab, aku tahu bahwa jika sudah begitu ibu pasti tak peduli dengan apapun. Bahkan mungkin jika terjadi gempa ibu akan terus menulis. Ini adalah sifat yang diturunkan secara sempurna padaku. Aku kembali teras dan duduk di kursiku lagi. Dia diam dengan tatapan tak tahu arah, matanya kosong. Jika bukan aku, mungkin orang lain akan mengira dia kesurupan atau sebangsanya. Tapi aku tahu dia sedang berpikir, bukan melamun. Kami sudah berteman sekitar 3 tahun, kami bertemu pertama kali karena sebuah lagu. Ya, kami bertemu karena sebuah lagu. Judulnya
Nobody’s Home dari penyanyi
Avril Lavigne. Lagu itu sejak pertama kali kudengar, adalah lagu yang paling cocok untukku. Dan ketika aku mendengar lagu itu lewat handset, dia duduk disebelahku lalu melihat layar hpku dan membaca judul lagu yang kudengar. Aku tidak melihat reaksi dia ketika itu, aku sedang menikmati lagu sembari melihat orang lalu lalang didepan toko. Dan ketika lagu itu habis, dia menepuk pundakku lalu tersenyum dan berkata, “Maaf, aku kira selera musik mu buruk, ternyata aku salah.”. Karena kalimat itu, kami berteman selama 3 tahun. Kami punya selera, mimpi, dan harapan yang sama. Walau cita-cita kami berbeda, tapi kami punya keyakinan bahwa kami bisa mewujudkannya.
Dia ingin menjadi seorang mangaka, dan aku ingin menjadi seorang penulis. Dia adalah sahabat laki-lakiku. Sudah lebih dari sepuluh orang bilang kami adalah sepasang kekasih, aku sama sekali tidak setuju dan tentu saja aku menyangkalnya, kami bukanlah sepasang kekasih. Kau bisa bayangkan bagaimana Sir Athur Conan Doyle dan Mr. Watson, atau gampangnya, seorang manusia dan hewan peliharaannya. Itulah kami, kami saling membutuhkan. Aku mungkin bisa menangis di depan teman perempuanku, tapi mereka hanya bisa memeluk dan menepuk pundakku lalu memberi kata semangat. Tapi dia, dia tidak memeluk atau menepuk pundakku. Tapi dia memberi gambaran bahwa yang aku alami bukan apa-apa jika dibandingkan masalah orang lain, kata-kata itu yang buatku mengangkat kepala dan berhenti menangis. Dia memberi kata-kata yang bisa buatku bangun dari keterpurukan dan tersenyum bahkan tertawa. Banyak hal yang tak bisa kita deskripsikan didunia ini, itulah yang terjadi pada kami. Kami tak tahu banyak tentang diri kita.
Kami cukup berdiam lama sekarang. Dan akhirnya dia berhenti dari lamunannya lagi, lalu berkata.
“Eh, apa kabar sama orang tuamu?.” Ujarnya penasaran. Aku melengkungkan bibirku. Jelas aku tak ingin membahas hal semacam ini. Tapi toh aku mau membicarakannya, anak muda memang selalu punya alasan.
“Mereka lebih baik.” Kataku. Dia menganggukkan kepala, lalu menungguku mengucapkan sesuatu.
“
Well, aku tak berani beranggapan mereka benar-benar sudah akur.” Kataku.
“Kau tak mau bicara pada ayahmu?.” Katanya mengoreksi. Lama bagiku untuk menjawab.
“Tidak.” Kataku singkat. Dia menghela nafas.
“Kau orang yang parah.” Katanya seraya membuang muka. Aku sedikit mengkerutkan dahi ketika dia bicara begitu.
“Terkadang diam adalah pilihan terbaik dalam suatu masalah.” Kataku menyimpulkan.
“Orang tuamu akan tetap begitu tapi kau tetap memilih diam?.” Katanya menekan. Aku mulai mengatur posisi dudukku, lututku kupeluk dengan kedua tanganku.
“Orang dewasa memang tak tahu apa yang dipikirkan anak kecil. Tapi justru karena anak kecil lah mereka bisa mengoreksi diri mereka. Kau anak mereka, begitu juga adik-adikmu. Kau seorang kakak. Kau terlalu lama berdiam diri.” Katanya sedikit menekan pada suaranya. Aku masih terdiam dalam posisiku. Bagiku masalah keluargaku bukan topik hangat untuk dibicarakan a,ntara aku dan dia. Aku sudah terlalu lama memendam rasa tertekan, takut, sedih. Itu alasan mengapa aku tertutup pada orang-orang. Aku lebih suka berdiam diri di luar ruamh daripada kumpul di mall bersama teman-teman, aku lebih suka sendirian. Jika aku melihat diriku di cermin, aku merasa Hitam Putih. Aku merasa kusam dan tak berwarna.
“Dunia ini penuh dengan kebohongan. Aku tak pernah setuju jika ada seseorang bilang dia bahagia dengan apa yang dimilikinya. Mereka egois. Mereka tak memiliki hati. Bagaimana dengan nasib orang-orang yang tak punya diluar sana? Mereka butuh makan, mereka butuh tempat tinggal, mereka butuh uang. Tapi mereka bahagia, walau hanya mengais di tempat sampah, setidaknya mereka bisa makan bersama dengan keluarga mereka, hidup mereka lengkap.” Ujarku.
“Dan anehnya, aku benar-benar iri dengan orang-orang yang seperti itu.” Kataku setengah tertawa.
“Kita tidak hidup di hutan. Hutan lebih buruk, kau akan melihat keluargamu dimakan oleh pemangsa. Atau bahkan kau akan melihat keluargamu memakan hewan-hewan lainnya. Mereka semua berputar, itulah hidup.” Ujarnya. Aku terdiam dan merasakan air mata membendung mataku.
“Cobalah untuk sedikit berpikir apa yang akan terjadi nanti. Kita semua berjuang, aku berjuang dan kau juga. Jika kau menulis beribu-ribu kata di setiap lembar untuk membuang semua emosimu, untuk apa? Kau ingin menangis di ceritamu? Kau tak akan pernah bahagia. Cobalah untuk sedikit saja berpikir untuk dirimu sendiri. Apa yang kau lakukan sekarang sama dengan menyiksa dirimu.” Air mataku turun perlahan-lahan. Wajahnya tidak menunjukkan rasa kasihan atau simpati, justru dia memasang tampang menghina.
“Ibarat, kau sudah terlalu lama tertidur. Apa aku perlu menyiramkan air untuk membuatmu bangun?.” Katanya. Bibirku sedikit melengkungkan senyuman. Matahari mulai menampakkan ketidak hadirannya, siang pun berganti malam. Kami sudah mengobrol sekitar 2 jam lebih. Awan mulai hitam pekat, titik-titik sinar bintang berhias dilangit. Bulan melingkar tenang seakan tertidur. Dia mulai beranjak dari duduknya, aku menyusul untuk berdiri lalu merapikan rambutku dan wajahku. Tidak banyak air mata hari ini. Aku bersyukur tak harus masuk kamar mandi dan cuci muka lalu mendengar adik-adikku bilang mataku sembab, sangat memalukan memamerkan tangis dimata orang banyak. Dia memakai sepatunya lalu mengambil kunci motor di sakunya.
“Ibumu?.” Katanya sembari menunjuk pintu rumahku.
“Dia mungkin sedang sholat.” Kataku singkat. Jika dia ijin pulang pada ibuku, ibu pasti berkomen untuk menyuruhnya sesekali menginap disini. Kami memang sudah seperti saudara. Dia berjalan menuju motornya, lalu memasukkan lidah kunci pada lubang kunci motor lalu keluar dari pagar rumahku. Dia memakai helmnya lalu membenarkan spion motor dan memedal gas.
“Ada kata terakhir?.” Ucapnya. Aku selalu didesakkan dengan kata-kata ini. Ini seperti sebuah janji, jika kau mengatakan apapun yang ada didalam isi hatimu, kau harus lakukan sesuatu agar sesuatu itu tak menjanggal lagi.
“Hmmm.. I want to be free?.” Kataku setengah tertawa.
“Sudah bosan.” Katanya berpikir. Aku berpikir lagi. Mataku mengarah pada langit berbintang di atas. Berharap ada sesuatu yang dapat memberiku masukan. Dan aku melihat semuanya didepan mataku, semua yang berwarna, langit, tanah, rumah-rumah, tumbuhan, dia bahkan aku. Kami semua berwarna. Tuhan benar-benar luar biasa membuat sesuatu seragam ini. Aku benar-benar buta.
“Aku ingin
berwarna.” Kataku tersenyum. Dia tersenyum lalu mengangguk sekali lalu pergi bersama motornya menembus angin malam.