Bulan bersinar terang, bulat dan putih keperakan. Tiada suara kecuali bisikan malam dari binatang kecil. Tapi ditempat lain, seorang wanita itu berjalan tergesa-gesa. Suara hentakan sepatu hak tingginya mengaung di lorong yang ia lewati. Wajahnya terlihat khawatir sekaligus takut. Wanita itu masih memakai pakaian tidur dan rambutnya yang merah menyala diikat buntut kuda dengan paksa.
“Nyonya, anaknya perempuan.” Sahut seorang gadis yang tiba-tiba dari belokan. Wanita itu menghela nafas.
“Biarkan ibunya menginap sebentar, lalu pulangkan dia kembali ke desanya.” Ujar wanita itu tegas.
“Tapi nyonya, bayi itu masih membutuhkan asi..”
“Aku adalah ibunya sekarang!.” Ujar wanita itu mengerang pada gadis itu. Gadis itu menunduk lalu pergi. Wanita itu kembali berjalan dengan cepat.
Rumah sebesar itu bukan tempat yang bagus untuk mencari kesunyian. Tiada rahasia dirumah itu. Semua pembantu dan pengawal sibuk dengan apa yang mereka lakukan. Para pembantu wanita mondar-mandir disekitar lorong. Wanita itu tetap berjalan, ia berhenti di pintu yang sedikit terbuka. Wanita itu menghela nafas, lalu membukanya perlahan. Ruangan itu sempit, penerangan hanya berasal dari 4 lilin yang mengitari sebuah kasur berkanopi yang ditiduri seorang wanita lemah yang setengah tertidur. Sulit dipercaya rumah semegah dan sebesar ini memiliki kamar seperti ini, lebih mirip kamar sapu. Wanita itu merintih, banyak pembantu yang mengitarinya, mengelap keringat di dahinya. Wanita itu berjalan perlahan menuju wanita lemah itu, semua pembantu menunduk seakan memberi hormat dan memberi jalan.
“Aku harap dia laki-laki, Charlotte.” Ujarnya tanpa belas kasihan. Wanita bernama Charlotte itu menolehkan kepalanya dengan perlahan dan memandang wanita itu. Dia tersenyum lalu menghela nafas.
“Aku lebih suka kalau dia perempuan.” Katanya seraya tersenyum. “Dia pasti cantik.” Ujarnya lagi.
“Aku rasa tidak.” Ujar wanita itu dengan sinis.
“Bersihkan bayi itu lalu tidurkan dia di kamarku!.” Ujarnya lagi pada para pembantu yang sedang memandikan seorang bayi kecil. Charlotte memasang tampang bingung.
“Apa yang kau lakukan Hellena?.” Ujarnya terkejut. Wanita bernama Hellena menatap matanya lagi.
“Perjanjian selesai, kau hanya melahirkan anak itu. Lalu dia akan menjadi milikku.” Ujarnya lalu berbalik pergi.
“Hey! Apa maksudmu!?.” Ujar Charlotte setengah berteriak. Hellena berhenti tepat sebelum dia keluar dari pintu. Ia diam lalu berbalik.
“Tinggalkan kami!.” Ujarnya kasar. Para pembantu bergegas menuruti.
“TIdak! Biarkan aku melihat putriku.” Ujar Charlotte. Hellena menatap Charlotte dengan alis mengkerut.
“Berikan bayi itu.” Ujarnya pada seorang wanita paruh baya yang menggendong bayi mungil dengan selimut putih satin. Bayi itu diserahkan perlahan-lahan pada Hellena. Para pembantu menutup pintu, lalu sunyi.
“Aku punya hak atas anak itu. Aku lah ibu yang melahirkannya.” Ujar Charlotte setengah menangis. Ekspresi Hellena datar seakan tak peduli.
“Anak ini adalah putri ayahnya. Akulah istri ayahnya sekarang. Perjanjian usai, ayahnya hanya ingin putri ini, bukan dirimu.” Ada penekanan pada kata “dirimu” ketika Hellena mengatakannya. Charlotte benar-benar lengah. Dia menarik nafas lalu mulai menggerakkan tubuhnya, kakinya yang telanjang menyentuh lantai yang dingin. Dia berjalan sempoyongan, Hellena tetap pada tempatnya. Charlotte lemah, dia berkeringat, tubuhnya masih langsing walau seusai melahirkan. Dia berdiri di depan Hellena. Mereka saling bertatapan. Air mata turun dari pelopok mata Charlotte. Dia mengangkat tangannya lalu mengelus pelan pipi bayi mungil itu. Jarinya yang berkeringat dan kotor bertemu dengan kulit putih mulus dari sang bayi.
“Bisakah aku bertemu dengannya lagi?.” Ujar Charlotte yang masih mengeluarkan air mata. Hellena lama diam. Lalu dia bicara pelan seperti bisikan.
“Akan lebih baik kalau dia tidak mengenalmu. Dia akan menjadi putri yang cantik, kaya, dan mempesona. Dia pasti akan kecewa mendengar bahwa dia lahir dari rahim wanita sepertimu.” Katanya tanpa perasaan. Charlotte memandang Hellena dengan tampang hina.
“Kau adalah perempuan busuk.” Ujarnya pelan. Hellena puas dengan ucapannya, dia berbalik menuju pintu. Meninggalkan Charlotte diam membatu. Ketika pintu berdecit terbuka, Hellena menoleh kembali pada Charlotte.
“Satu pesanku kakakku sayang.” Katanya dengan wajah bahagia. Charlotte memandangnya, matanya merah menahan marah dan tangis.
“Anakmu akan kuberi nama Gweelov, dan Viantz dari marga ayahnya. Gweelov adalah nama kuberi. Jangan khawatir, aku akan membuat anakmu cantik seperti dirimu. Tapi aku tak akan membuat dia buta akan cintanya, seperti kau buta pada cintamu pada suamiku. Anak ini..” Hellena mengecup lembut dahi bayi digendongannya.
“Akan mejadi putri yang dicintai semua lelaki di kota ini.” Katanya sembari tersenyum puas. Dia menutup pintu tanpa memandang Charlotte lagi. Diruangan sunyi dan sepi itu, terdengar isak tangis seorang wanita yang telah melahirkan seorang gadis paling rupawan di kota itu. Malam itu masih sunyi, bulan kini tertutup awan hitam. Wanita bernama Charlotte berjalan lemah menuju jendela kamarnya, dia memanjat dan berdiri di ambang jendela, rambutnya yang coklat legam, persis dengan rambut putrinya terbang lembut. Air mata terakhir keluar ketika wanita itu jatuh dari jendela.. Malam itu seakan tersihir, tak ada suara apapun.. Bulan kini muncul dibalik awan.
“Aku Gweelov Viantz,
Ibu pernah bilang padaku, “Percayalah, kau adalah putriku yang cantik. Kau akan menemukan banyak lelaki yang akan berbaris untuk menikahimu, kau akan bahagia.”. Bagiku, dunia terlalu sempurna untuk gadis sepertiku. Apa ada maksud dibalik ini?...”