Ara Kisah Empat

Kamis, 02 Februari 2017



Sepanjang perjalanan itu kami tahu, aku tahu. 
Tiada jeda menggebu diantara dua tangan itu.
Yang tahu dimana tempat jiwa ini bertemu.
Yang tahu kapan aku dan kamu berlebur tawa dan sendu.

Kau benar, "kamu masih mau berteman sama aku yang kaya gini?" adalah rahasia yang akupun tak tahu. Hampir tiga kali lebih kau bertanya itu setelah membuang kisah rahasia hidup yang kau pendam selama itu. Untuk kesekian kali, kaki ini berhenti, kaki ini tertegun, 

hati ini pulang

aku pulang.


Pernahkah kau mendengar bahwa manusia memiliki satu jiwa di masing-masing raga dan tidak akan ada yang menggantikannya? Kurasa aku sudah sangat jauh berjalan, kita saling jauh berjalan. Tapi selalu kutemukan pulang dalam dua mata dan senyum itu. Aku selalu temukan dirimu yang membelah kegesitan dalam kekuranganku, dan menghilangkannya dengan cara yang ajaib, yang aku tak tahu caranya—tapi kau selalu tidak lari untuk melakukan itu. 

Mereka selalu lari, mereka selalu pergi. Mereka selalu lupa, mereka selalu melukai.
Kuharap tidak darimu, kita sudah saling tahu masing-masing tangan itu, kisah-kisah itu. 

Singkatmu hanya tegukan manis dalam lelahnya jeraku. 
Tidak ada yang bisa menggantikan momen yang detiknya membuatku tidak ingin ada esok dan kemarin.
Hanya hari itu, hanya dua insan kesepian itu.

"Selalu ada cerita kalau kita ketemu." Kata perempuan itu dengan nada sedikit tertawa.
"Selalu susah kan?" Tanya lelaki itu.
"hmm
Tapi ga kerasa.." Jawab perempuan itu dengan pelan dan dalam.

Keduanya menoleh untuk saling tersenyum. Damai. Hangat.


"..untuk entah keberapa kalinya.. aku pulang.."





Koordinat -7.418869 , 112.693482. 

Tulisan Pukul Dua Pagi

Sabtu, 14 Januari 2017

“Hi,

Aku belum pernah berani menulis sesuatu yang memalukan sebenarnya. Setidaknya untuk hiburan aku pribadi. Tapi malam ini rasanya aku ingin bercerita, dengan dia yang aku tidak tahu siapa nanti. Tapi aku tidak akan memaksa untuk tidak mem-post-kan, anggap saja diary. Ya.. semoga kau tidak tertawa nanti.

Aku percaya di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Kita semua punya Yang Maha Kuasa yang tidak semata-mata memberi kejadian tanpa alasan. Tahun ini umurku 22, dan dengan berat hati aku mengakui masih sendiri. Berbeda dengan umur-umur kepala satu yang sebelumnya, aku jarang sendiri, selalu ada orang baru yang menempati romansa-romansa remaja (ya.. namanya juga remaja). Tapi salah seorang lelaki bilang semakin bertambah umur, semakin rumit untuk mencari. Bagi dia begitu, karena dia lelaki, tapi bagiku justru menunggu itu lebih rumit, ya.. karena kadang bingung siapa yang harus ditunggu. Maka di kejadian terakhirku memegang hubungan dan pada akhirnya kandas juga, aku memutuskan untuk berubah. Bukan berubah menjadi sesuatu, lebih tepatnya berubah pandangan.

Mungkin memulai dari diri sendiri akan lebih afdol jadinya.

Sebenarnya ini bukan tulisan curhat mengenai potongan-potongan malang yang kualami. Ternyata, semakin aku terlihat merana semakin aku percaya ini dimaksudkan untukku belajar.

Kau, dimananapun nanti kita bertemu dan menghabiskan waktu hingga akhir bersama, aku harap saat ini kita berdua sama-sama belajar meski di jalan yang berbeda.

Percayalah, aku saat ini sedang belajar, dan akan terus begitu. Mungkin diumurku yang sekarang ini menentukan kapan mengakhiri masa lajang dan memikirkan soal berkeluarga adalah hal yang wajib, alasanannya sih “perempuan itu rawan kalau belum mikir kaya gitu..”. Sejujurnya, aku tidak tahu kapan bertemu denganmu nanti, dan semoga ketika sudah, aku tidak menyesali mengapa aku tidak memikirkan kalimat itu.

Aku percaya, selama seseorang masih berusaha belajar, mencari, dan menjadi lebih baik maka Tuhan akan menyiapkan yang baik di akhir. Dan aku percaya proses tidak akan menghianati hasil. Maka dari itu. saat ini aku sedang belajar untuk menjalaninya. Berteman dengan orang-orang yang berbeda pandangan, yang mengajari banyak hal, yang mengajari kenapa dia kesal dengan hidupnya, kenapa dia merasa beruntung dengan hidupnya, kenapa dia gemas dengan hidupnya. Justru aku bingung posisiku dimana jika ditanya diantara ketiganya.

Mungkin ini salah satu hal yang paling aku suka, aku lebih suka menonton dan mendengar.. jikalau pun aku harus turun, aku turun di jalan yang berbeda, dijalanku sendiri. Main aman kali ya pendapatmu kalau dengar ini.. tapi entah kenapa aku lebih menganggapnya keluar dari hal pada umumnya. Satu hal, aku bosan dengan staknansi, membayangkan aku harus melakukan sesuatu yang monoton dari jam 7 sampai jam 4 sore adalah hal yang berusaha kujauhi. Semoga kau bisa menerima ini nanti..

Aku pernah punya cita-cita tinggi, tapi lama kelamaan keadaan menunjukkan seorang aku tidak perlu mimpi tinggi-tinggi untuk merasa tinggi. Jelas sekali bukan perfeksionis yang musti terlihat luar biasa dalam segala hal didepan orang-orang. Aku lebih suka sesuatu yang biasa saja tapi unik dan indah untuk dinikmati.

Aku sedang berusaha tidak berekspektasi tinggi jika kita akhirnya bertemu. Aku hanya ingin merasa “ternyata pantulan kaca diriku adalah lelaki yang seperti ini”. Orang yang senang jika kuajak bercerita seperti halnya aku yang senang mendengar orang bercerita dan tidak keberatan jika minta ditemani kemana saja sebagaimana aku yang suka menemani teman-temanku. Terkadang dalam hal seperti ini yang dibutuhkan adalah seorang yang bisa nememani secara fisik dan batin, bukankah indah jika kau menemukan kenyamanan di satu jiwa dan tidak tertarik untuk menemukan kenyamanan di jiwa yang lain?

Dunia ini sungguh luas, kita bisa dimana saja saat ini, entah itu jauh bahkan dekat sekalipun. Tapi jika suatu ketika kita bertemu dan akhirnya berhenti untuk saling mencari dan menunggu, aku harap misiku tidak berhenti disitu saja untuk terus belajar. Dengan mu entah siapa, aku tetap akan belajar, bahkan mungkin dengan kisah-kisah hidup kita sebelum kita bertemu, atau ketika sudah bersama dan sudah memiliki teman baru dalam lingkaran kita berdua.

Semoga Tuhan terus mengasah otak dan pribadi kita untuk terus menjadi lebih baik. Semoga aku terus berjuang sebagaimana seperti mu dan miliyaran manusia di bumi yang juga dalam posisi yang sama. Dan semoga aku bisa memberikan tulisan ini padamu dan bersembunyi malu melihat ekspresi itu ketika membacanya.


Selamat malam."


2.13 AM, 'somewhat' day in January 2017.

Jawaban

Minggu, 27 November 2016


Dia menarik selendang biru lautnya, dipautkan di pundaknya yang bungkuk dan berkata dengan nada mendramatisir. 


"Tahu tidak? Musuh paling susah di dunia ini siapa?." Kami saling menoleh satu sama lain mencari jawaban, sampai gadis yang duduk paling depan berkata dengan pelan.
"Setan ya pak." Kami semua berdeham kecil, menahan tawa. Guru agama didepan kami memasang tampang meremeh sambil menggeleng jelas.
"Nafsu pak?." Kataku. Beliau terkejut kecil.
"Bedanya sama setan/iblis apa?." Aku diam. Mencari jawaban. Lalu beliau kami tertawa kecil dan melanjutkan.

"Diri kita sendiri."Kami terdiam mendengar jawaban tersebut. Mencoba menalarkan dengan jelas.
"Apa yang kalian sebutkan tadi, itu cuma elemen aja. Kalian yang punya badan, kalian toh yang rasakan? 
Males belajar, males sholat, ngaji, terus apa lagi?.." Kami mendengarkan ucapannya dengan atmosfer ruangan tanpa suara sedikitpun. Beliaunya masih memikirkan kata-kata.
"..malu untuk minta maaf?.. malu untuk berbuat sesuatu?.. takut?.." katanya melanjutkan dengan uraian tanya. 

"Sampai kapanpun musuh manusia itu ya dirinya sendiri. Inget ya.."
"Kan manusia pernah juga salah pak." Kata gadis yang duduk disebelahku.
"Bukan itu kesimpulannya. Kalau kesimpulannya itu, jawabannya sudah tahu, khilaf kan." Kami diam. Suara hujan diluar semakin hilang, aku menoleh sedikit ke kiri melihat keluar jendela. Awan berwarna abu-abu terang. Beberapa menit lagi bel sekolah berbunyi, tapi baru beberapa menit disini aku masih belum mengerti.

"Belajar untuk selalu melihat pada diri sendiri. Manusia memang tidak akan pernah bisa sempurna, tapi jangan selalu lupa untuk kembali pada diri sendiri. Sudah benar kah saya? Sudah berani kah saya hari ini?.. sudah sholat 5 waktu belum saya hari ini?.. hayo.." Beliau menekankan suaranya pada bahasan sholat 5 waktu sambil menunjuk muka kami satu-satu. Kami tertawa malu dengan ucapannya. Hari itu aku tersenyum, satu hal yang kupahami bahwa sampai sejauh manapun kita pergi, label agama akan selalui mengikuti. Dan diumur kami semua saat itu, hal yang paling kami rasakan adalah bagaimana kami bisa mentoleransi menjaga agama kami; dalam arti sholat kami, dengan baik. Itu alasan tawa malu mewarnai wajah berkerudung putih kami ketika beliau memberi nasehat sore itu. 


Malam ini secara tiba-tiba aku mengingat kejadian 10 tahun lalu. Bagaimana untaian tulisan sejak 2010 yang hingga malam ini aku tulis, sudah sejauh ini rupanya aku melewati banyak kejadian-kejadian, bertemu banyak orang, dekat dan menyukai seseorang, pelajaran, dan mimpi-mimpi yang secara tidak langsung aku tulis dalam cerita-cerita yang kuciptakan. Tapi tidak sekalipun aku membahas, apakah selama ini aku sudah benar? 
Mungkin 10 tahun lalu beliau menekankan mengenai agama karena pada umur tersebut, itu adalah masalah yang dihadapi anak-anak pada umumnya. Tapi diumur yang sekarang, apakah masih itu masalah yang dilalui?

Benar dan tidak benarnya sesuatu yang sudah dilalui dan yang akan dilalui, itu kembali lagi pada diri sendiri. Dan saat ini, permasalahan yang dilalui adalah.. yang sejujurnya membuatku menulis malam ini.. adalah ketakutanku sendiri. Cukup dengan motivasi, cukup dengan kata-kata bijak orang sana sini, semua akan kembali pada diri. Menjadi berani itu bukan hal yang susah, menjadi berani juga bukan soal berani bicara langsung atau berani mengambil keputusan. Tapi berani untuk menyelesaikan sesuatu dan melanjutkan sesuatu yang baru. Hidup akan terus berputar, kau akan terus bertemu orang yang baru, dan kau akan terus meninggalkan orang yang lama, atau bisa jadi.. orang tersebut akan terus bertahan dalam hidupmu, tidak ada yang tahu.

Seorang sahabat pernah berkata, 

"Selesaikan dulu satu persatu. Bagaimana kamu bisa jalan terus kalau masalah yang lain kamu tinggal gitu saja? Jadilah orang yang ga lari-lari lagi, atur diri untuk berani maju dengan meninggalkan hal yang sudah selesai. Susah memang, aku juga lagi belajar. Banyak berkaca, banyak menelaah, banyak belajar. Kata-kata jangan menyesal di akhir itu sudah biasa loh, tapi jangan sampai kau meninggalkan sesuatu yang belum selesai." 

Beliau benar, nasehat yang umurnya sudah 10 tahun itu benar, ujarku dalam hati. Nasehat yang awalnya kupahami hanya dalam kasus sholat 5 waktu saja itu benar. Semua akan kembali pada diri sendiri, setidaknya malam ini aku memutuskan untuk tidak lari. Suatu malam lalu ketika aku berani bicara sembari menangis didepannya, aku merasa hal yang kulakukan itu benar, malam itu juga aku memutuskan bahwa menjadi pemberani itu bukan hal yang mudah. Bukan soal berani wawancara didepan orang penting, bukan soal berani menyapa seseorang yang kau sukai lebih dulu, bukan soal berani mengakui kesalahan yang sebenarnya bukan salahmu tapi kau lakukan demi bisa berdamai.

Tapi berani mengakui dan menerima bahwa kau juga punya peran untuk menyelesaikannya, dan dengan memperbaikinya, kau akan menjadi lebih baik menjalani hal setelahnya.

.. setidaknya selesaikanlah untuk dirimu sendiri. Karena kau hidup dan, karena itu hanya sekali.



"Rahasia ada pada saat sekarang ini. Kalau kau menaruh perhatian pada saat sekarang, kau bisa memperbaikinya. Dan kalau kau memperbaiki saat sekarang ini, apa yang akan datang juga akan lebih baik." —Paulo Coelho (The Alchemist)


Nov 27, 2016 (Aufa Andiani Aziz)

'Uncontrollably' To Not Post It

Sabtu, 10 September 2016


I'm not trying to act to much about something, atau mungkin semacam spoiler dan sebagainya. I'm not actually the 'Kpop-something' lovers sih, but some of the drama's changed my perspektif about how people somehow act from the story that writers made for the story-line. And im really adore about how Korean people really made it. Dari semua drama yang aku suka, dan bahkan sampai membekas jadi sesuatu sebagai pelajaran (esh) adalah drama yang keluar di pertengahan bulan 2016 yang jatuh pada saat musim panas, Uncontrollably Fond. Awalnya ga curiga bakal sad ending, karena alur plot episode 1 sampai 2 ga kelihatan bakal seribet apa sampai ntar tamatnya. Well then, alur yang datar di awal memang kadang bohongin banget. 

Kim Woo Bim memang really made it, sejak awal aku tau dia main drama, karakter yang dia dapet memang (bisa dikatakan) kaya gitu, emang udah khas dia banget. Dan buat aku pribadi karakter kaya gitu kalau dibikin cerita lumayan kompleks karena pendirian dan omongan hati dia bakal sering banget sama dan sejalan tapi dia menunjukkannya dengan cara yang keras kepala, ini yang menurut aku jadi tantangan buat penulis. Suzy Bae yang jadi lead actress nya juga ternyata ngga menang tampang doang di drama ini, buat aku pribadi (yang beberapa orang aku tanyain gimana pendapat mereka beranggapan ga cocok meraninnya) tapi aku puas dengan akting dia yang dijalanin sampai 20 episode ini. Lalu ada juga second actor yang diperanin Lim Juh Hwan yang bener-bener kharismatik banget sepanjang aku nontonin dia akting, dan si Lim Ju Eun sebagai second actress yang (kalau info dari internet) sepanjang proses filming orangnya murah senyum dan menyenangkan banget, tapi giliran floor on the script atau pas udah masuk akting dia keren dan menurutku bisa banget bawain karakter itu dengan sangat baik.

Menurut aku pribadi, alur ceritanya yang bener-bener realistik dan pure as a human being, sangat nunjukin gimana manusia itu jalan dengan instingnya dan memang ga perlu ada palsu-palsuan dalam jalanin hidupnya. Si lead actor yang diperanin WooBin disini mengidap penyakit kronis yang berhubungan dengan otak. Penyakit ini memvonis dia hidup tinggal 3 bulan lagi ketika akhirnya seakan-akan semuanya datang ke dia dan dia harus beresin hal-hal yang salah dengan cara dia sendiri. Pemalsuan tabrak lari yang membunuh ayahnya lead actress yang sangat dia cintai, ayahnya yang ngga sadar kalau dia anaknya sendiri dan ikut memalsukan tabrak lari itu dengan menggunakan jabatannya sebagai jaksa tertinggi di Korea, ibunya yang ngga suka dia jadi artis besar korea padahal dulu sangat mendukung dia buat jadi jaksa kaya ayahnya, kisah romansa dia dengan lead actress bener-bener kompleks dan ga mudah buat dijalanin, dan masalah-masalah lainnya yang disuguhin dengan alur-alur yang pas banget kalau diikutin.

Jika diikutin plotnya, bakal kelihatan bahwa itu semacam hal yang harus dilakukan seorang manusia untuk membenarkan sesuatu yang seharusnya benar tapi selama ini salah, sesuai dengan keadaan dan cara dia. Bagusnya, disini (walau ini nyatanya kisah fiksi) karakter ini mendapat kesempatan untuk tahu kapan dia meninggal, dan dia mendapat kesempatan untuk memperbaiki hal-hal yang salah dalan hidupnya. Tapi bukan disitu poin yang bisa didapatkan, tapi dengan cara dia mengambil jalan untuk memperbaikinya, toh memang semua orang akan meninggal akhirnya tapi tidak dengan hal-hal yang sia-sia, itusih poin penting yang aku dapetin pribadi. Di cerita juga dibumbui dengan role play yang dibuat oleh lead actor dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Jika ditonton, penonton bakal dipenuhi pemikiran dan pendapat "kenapa sih harus kaya gitu? bukannya itu nyakitin ya?" "loh kok dia jadi kaya gitu?" "kasian banget anjir seharusnya kan bisa kaya gini, ga harus kaya gitu" tapi setelah nonton dan tau pilihan-pilihan lain yang ada, kesimpulan bakal muncul di masing-masing perspektif dan individu. Temen aku yang juga sudah nonton ini dan baru pertama kali nonton drama korea ikut memberi apresiasi dengan plot alur ceritanya.

Like I said before kalau aku ngga bermaksud spoiler, dan memang ga akan spoiler. Karena memang alur ceritanya terlalu panjang dan masing-masing person bakal beda naggepin maksudnya. So, aku saranin nonton dan ikutin alurnya. 

Some of people sometimes terlalu remehin hal-hal yang melodrama sih (karena ini menurutku melodrama dan ngga action sama sekali), well memang terkadang terkesan berlebihan dan terlalu manutin perasaan,  tapi kalau menurut aku pribadi sih, mencoba buat berbaur dengan banyak hal juga tidak salah. Kalau memang tiba-tiba disana ada orang yang aslinya keras kepala dan ga percaya bahwa happy ending is doesn't exist, then try to see and believe bahwa disana ada orang yang hidupnya terlalu bahagia dan apa-apa yang dia inginkan selalu ada tapi dia merasa bosan dan tidak pernah rasain hidup yang menantang, sama aja kan? Dan itu berlaku juga untuk sebaliknya, then try to be grateful, all-the-time.

And for a ratings, aku sedikit kaget juga kenapa rating ending nya 8,5%, ini ngga setinggi drama epic-epic lainnya. Tapi itu kembali lagi pada orang-orang yang nonton dan ngerti maksudnya. Buat aku drama ini juara, benar-benar menghabiskan air mata di 3 episode terakhirnya, bagaimana masing-masing karakter berubah pola sesuai dengan insting mereka masing-masing sebagai manusia. This drama is truly beautiful, realistic, and pure as a human being. Kamu bakal nemuin poin about learn life (the most important point from this story), family insting(father-mother-son), and love (even.. kalau menurutku bener-bener endless love huhu) dalam satu package cerita. 

Thank you so much for the writer, Mr. Lee Kyoung-Hee, wherever you are, hehe and for all the team filmed dan tentu saja buat para pemainnya yang keren-keren.

Happy watching if your interested. 
*And for the record, soundtrack-soundtrack nya juga rekomen.




Ocean; Introducing Pacific.

Minggu, 28 Agustus 2016




Terlalu banyak hal kompleks didunia ini, manusia dan cara berpikirnya, serta hal-hal sepele yang tidak masuk akal seperti skenario Tuhan yang tiada satu orang yang tahu jalannya.

Ketika itu umurku baru 9 tahun. Belum genap 10 tahun untuk tahu bagaimana dunia itu sebenarnya. Semua baik-baik saja, tentu saja. Buku-buku yang sudah banyak terbaca menandakan aku sangat menyukai hal-hal magis dan bagaimana hal-hal baik akan selalu menang melawan hal-hal yang jahat. Terima kasih untuk J.K Rowling yang mengajarkanku percaya akan hal itu, jelas ini bukan dari didikan orang tua. Poin plus saat itu, beruntung sejak Sekolah Dasar aku sudah banyak membaca buku-buku yang judulnya baru dikenal orang-orang sekitarku ketika aku sudah remaja, setidaknya begitu pandangan pribadiku saat ini.

Back to 2007,
Pada suatu ketika gadis itu duduk sendirian, menuliskan sesuatu di kertasnya. Aku hanya memperhatikan setiap wajah-wajah baru yang akan menemaniku selama satu tahun kedepan, setidaknya begitu. Dia selalu duduk sendirian, terkadang hanya satu orang perempuan yang duduk mengajaknya bicara, tapi selain itu tidak ada yang mengajaknya sekedar berbincang. Raut wajahnya terlihat tidak bersahabat, akupun tidak tertarik untuk bicara dengannya, tapi dengan parasnya yang cantik dan serius memberikan pandangan padaku bahwa dia orang yang cerdas. Hingga suatu saat, kami sekelas kalah dalam permaianan melawan guru yang mengharuskan kami menerima hukuman dengan mengerjakan tugas yang pada saat itu, lumayan berat untuk dikerjakan.

Gadis itu tiba-tiba mengankat tangannya lalu bicara,
"Saya boleh minta keringanan bu?." Dia bicara diantara keramaian kami yang mulai mengeluh untuk menerima hukuman. Bagiku, pernyataan itu baiknya dikatakan oleh ketua kelas, dan sangat jelas pula ketua kelas hanya diam dan nurut dengan aturan permainan. Bagi kami semua sekelas, gadis yang jarang bicara dan sering mendapatkan nilai bagus dikelas akhirnya bicara. 

"Kamu mau minta keringanan apa?." Dia diam, memikirkan sesuatu. Karena kami sekelas isinya perempuan semua, kamipun hanya bisa diam melihat guru dan gadis itu dengan atmoster takut bercampur setuju asal tidak dengan tugas itu.
"Kalau saya nyanyi didepan kelas bu?." Katanya sembari sumringah. 
"Kamu yang nilainya paling tinggi itu bukan?." 
"Bukan bu, saya tengah-tengah. Saya cuma berpendapat saja kalau boleh minta keringanan. Teman-teman sepertinya juga setuju." Katanya. Baru masuk Sekolah Menengah sudah berani melobby guru menurutku tindakan yang belum pernah kutemui sebelumnya. Kami pun akhirnya membantunya mengeluarkan suara kami untuk setuju. 

Beruntung guru kami tidak begitu menakutkan dan akhirnya setuju. Gadis itu maju kedepan dengan jalannya yang casual dan mulai menyanyikan sebuah lagu barat yang baru kutahu judulnya.. ya ketika aku sudah tingkat dua di masa itu, If You're Not The One dari Daniel Bedingfield. 

Suaranya bagus, nadanya pas dan bahasa Inggrisnya sudah selancar itu. Benar-benar membuatku kagum dan teman-teman sekelas juga melucutkan ekspresi yang sama. Setelah dia menyanyikan lagu itu, dan hukuman yang ditiadakan serta teman-teman yang mulai mau berteman dengan dia kamipun menjadi dekat. Kami banyak menghabiskan waktu bersama dan mengenal satu sama lain. 


Agustus 2016,
Malam itu kami berkumpul. Bertiga, setelah hampir 6 bulan tidak bersua. Wajah-wajah yang selalu ada dalam umur-umur dan kejadian-kejadian tak terlupa dalam hidup. Sembilan tahun juga aku bersama gadis itu, gadis yang serontak paling berani dikelas ketika awal kami mengenal satu sama lain. Gadis yang baru diumurnya yang 7 tahun memergoki ayahnya berselingkuh dengan wanita lain dan diumur yang sama harus melihat perceraian kedua orang tuanya secara langsung, gadis yang sejak dimasa Sekolah Menengah Pertama harus berjuang dewasa sendirian dengan kondisinya sedangkan teman-temannya yang lain masih dirangkul oleh orang tuanya. Begitu setelahnya, kejadian-kejadian yang secara nyata kulihat sendiri bagaimana gadis itu berjuang sendiri melihat dunia. Tidak ada yang sempurna, begitu pendanganku setelah bersamanya hampir 10 tahun lamanya, sebagai teman terbaiknya.

"I wanna hate my life, but instead, I can't, this is what I have.
So many girls over there who has a big dream, big goals; a man who loves her someday, high education that can make her more smarter, family who always support her, friends, anything.
Once upon a time, I had that memories, and in that day as well my life shows my reality, it makes me awake, my real life, and I can't runaway for that. Am I scared? Sure.
So what I doing now is, I wanna life, just for today, every single day I said that to myself in the mirror after I woke up.
Tomorrow? I don't know.
I just wanna do my best for the day that I had, and for dream, no one knows, even me. But like you guys know, you can always get up from a dream, face reality and catch it." (Pacific, 2016)



(to be continued)

[1]

Jumat, 15 Juli 2016

"Untill you realize that no one will understand and 'can be' understand you about anything in your life, except youself. "

A Sheet of Promise—And Dreams

Sabtu, 20 Februari 2016

I wrote it on tissues, because that's the only paper we had. 
"If we can catch our dream together. No matter how far we go, we have to meet each other." —February 20, 2016 
"Netherlands."
"Germany."
"Well.. let say UK and France for vacation." He said slowly. 
"Viva La Europe!!." I said. We looked each otherthen laugh.
... far away from we sat, Coldplay song just played : "My missionaris in a foreign field; For some reason I can't explain; I know St Peter won't call my name; Never an honest word; But that was when I rules the world." (Viva La Vida)



My

Ara Kisah Tiga; Senyum Tiga Perempat

Rabu, 17 Februari 2016

Malam memang tempat baik untuk berduka dengan hati. Begitu pula malam ini, ketika saya memutuskan untuk menulis sesuatu, pertanyaan berbalik kembali "apa lagi yang mau kamu tulis?", "inspirasi apa lagi kali ini?", "masih begitu saja?". Yang terakhir yang paling menyakitkan. Hampir semua cerpen yang saya tulis disini adalah bentuk perasaan final yang tak pernah saya utarakan didepan orang-orang terdekat. Can people call it lonely? Maybe, saya mungkin punya banyak sahabat yang setia mendengar dan memberi arahan kemanapun yang baiknya saya lewati. Tapi tidak selain disini, setiap tombol huruf yang saya tekan adalah bentuk pena tak terlihat yang bergerak bukan karena apa yang saya inginkan, tapi bahasa dari dalam diri yang menggerakkan. Saya sedikit bersyukur hidup dalam era dimana dunia maya terkadang adalah sahabat yang cukup mengerti.

Kembali lagi, beberapa saat lalu saya bertemu Ara. Ara sebenarnya adalah nama pena dari seseorang yang, entah kenapa—sebenarnya hanya satu orang. Tapi sosoknya bisa saya temukan dibeberapa orang dalam hidup saya. Tapi kali ini benar-benar Ara, Ara yang pertama—dan saya berdoa dia juga Ara yang terakhir. Masih sama, belum ada perubahan dari cara dia berjalan, cara dia menggerakkan tangannya saat kakinya bergerak, cara dia melihat sekitar sebelum dia melihat fokus kedepan, cara dia tersenyum seperempat gigi ketika mata ini bertemu, cara dia tertegun sedikit dengan tangan kiri yang mengepal di mulut menahan tawa kecil, cara bisa melambai pelan, cara dia bicara dengan logatnya. Sedihnya, Ara benar-benar membuat saya merasa pulang hari itu. Beberapa kalimat bijak pernah berkata bahwa, 'rumah' bukan hanya sebuah tempat bagi seseorang. 'Rumah' adalah perasaan dimana kau merasa disitulah dirimu pernah berada, dengan bagaimana dirimu apa adanya. 'Rumah' bisa berupa tempat dimana dirimu pernah membuat memori yang akan teringat sepanjang masa. 'Rumah' juga bisa berupa seseorang yang dengan melihatnya, dirimu merasa tenang dan entah bagaimana—seakan tidak perlu berpura-pura lagi didepannya. Ara adalah salah satu dari rumah yang saya miliki, selain bapak dan sahabat nomor satu di dunia saya.

Kami bertukar pandang tidak percaya, bagaimana waktu merubah begitu banyak garis wajah yang dulu sangat ceria dan berisi, kini garis itu lebih tegas, mata yang lebih hangat dan senyum yang lebih tegar dari sebelumnya. Saya tersenyum hangat, berusaha memeluk momen dengan perlahan.
"Sehat?." Kata saya sembari bersemangat. Dia masih tertawa kecil. Saya juga kembali tertawa kecil, sedikit tidak percaya, waktu benar-benar keajaiban yang tidak bisa disangkal manusia.
"Alhamdulillah." Kata dia lembut.
Kami berjalan pelan. Seperti biasa, saya bukan tipe orang yang suka mendinginkan suasana. Ini bukan pertemuan canggung karena kami sudah saling mengenal selama hampir 6 tahun. Saya membuatnya tertawa dengan komentar badannya yang sekarang lebih kurus dan tingginya yang sudah bertambah. Sembari menanyakan kabar—entah kenapa, tingkah laku yang tiba-tiba biasanya saya munculkan didepan orang tua saya keluar begitu saja. Sedikit melirik kearahnya sembari bicara dan terus bercerita dengan bersemangat, sesekali membuat ekspresi dalam bicara, mengomentari apapun yang saya lihat didepan saya, membuat guyonan kecil lalu tertawa sendiri. Dia diam mendengar seraya memperhatikan saya bicara dengan senyum tiga perempatnya.
"Kamu masih sama." Kata-kata yang membuat saya terdiam dari bicara yang panjang, lalu melihatnya sambil mengangkat sebelah alis.
"Masak?."
Dia mengangkat bahu dengan ekspresi tidak tahu menahu lalu berjalan memimpin didepan, meninggalkan saya terdiam.
...
Saya mungkin sama seperti wanita lainnya, mungkin juga berbeda. Momen yang akan terus saya kenang mungkin hingga nanti, ketika saya benar-benar menemukan seseorang yang tepat; entah siapa nantinya, adalah ketika saya ingat melihat matanya pada siang lalu itu. Memohon untuk berhenti, memohon untuk pergi. Tanpa tiada seorang pun yang tahu, saat itu—mungkin di masa mendatang—bahwa dia benar-benar pernah datang dan tulus memberi sesuatu yang berharga. Dan disaat itu pula saya tetap berusaha ingin pergi.

Senyum Tiga Perempat—Bahkan hal yang sederhana akan terus tergiang jika kita benar-benar ingin mengingatnya. Dan saya memutuskan untuk terus mengingatnya, Ara.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

(ARA—mimpi saya masih sama, saya tetap ingin membuat novel sebelum umur saya sampai 30. Mimpi yang pernah saya tulis di buku harian ketika saya di bangku Sekolah Dasar. Masih banyak buku sastra yang musti saya baca, dan mungkin—masih harus banyak pengalaman yang harus saya jalani. Tapi jika suatu ketika saya sudah sampai, ARA akan menjadi judul pertama saya. Amin.)


Something's Gotta Leave

Kamis, 01 Oktober 2015

Dia membalik badan, tidak sekalipun menoleh lagi. Entah bagaimana raut mukanya bercampur muram, puas, dan pandangannya sedikit.. terluka. Dia berjalan cepat, seakan meninggalkan segalanya larut dalam pondasi waktu yang lamban. Adrenalin seorang wanita bukan seharusnya seperti ini, karena biasanya wanita akan menangis lalu tetek bengeknya akan berpuisi luka dalam hati. Tapi justru dia berdoa dalam hati untuk tidak beri rasa apa-apa oleh Tuhan, dia berharap tidak menitikkan air mata, dia berharap tidak berpuisi, dia berharap untuk tidak kembali.
Sebelumnya, bahkan sikap dan gayanya pada saat itu sudah menunjukkan bahwa dia peduli. Dia memberanikan diri mengatakan pada dunia—pada dirinya sendiri, bahwa dia telah membuka hati. Baginya perasaan ini yang sudah lama ditolaknya adalah perasaan ketergantungan, tapi semakin dia terluka, semakin dia mencoba lari—dan semakin itu pula akhirnya jawaban seakan membawanya kembali. Bodoh, tapi dia merasa bukan dia yang bodoh, dia menyukai lelaki yang bodoh.
Bukannya keberadaan dan nyatanya seseorang ada disana bukan hal yang mustahil tidak terlihat? Dalam setiap tikungan yang ada, dia hanya menonton orang baru yang datang lalu membuatnya dilupakan, orang yang datang dengan keindahannya membuat segalanya serasa salah dan percuma. Sedangkan dia hanya mendengarkan lalu memberi senyuman mendukung, lalu.. mendukung atas apa? Atas hatinya yang bersembunyi? Bukan. Atas bagaimana orang bisa tidak melihat kabaikan yang ada ketika melihat keindahan semata. Dan sekali lagi, waktu hanya memberi kesan kosong atas kejadian yang tidak bernilai sama sekali. Buatnya semua seakan abu-abu. Buatnya semua seakan sama. Buang-buang waktu,

             Dan seperti ucapannya dalam hati ketika dia berjalan cepat saat itu, dia tidak ingin kembali. Seseorang lebih pantas mendapat ini daripada dia, seseorang lebih mengerti dan pada akhirnya.. seseorang akan lebih menghargai. Bukankah cukup jika kau mendapatkan hal sesederhana dihargai? Ini bukan soal bagaimana menemukan orang yang tepat lalu menyimpan rasa yang tulus terhadapnya, tapi tentang bagaimana seseorang bisa dilihat keberadaannya, bukan hanya fisiknya, tapi jiwa.. hatinya. Dan akhirnya.. saat berbelok ditikungan suara-suara memanggil namanya dari belakang, dia tidak menoleh dan terus berjalanseperti hati wanita itu yang perlahan tergerak untuk pergi.

Ara Kisah Dua

Sabtu, 28 Februari 2015



Kami bergegas lari, setelah karcis tiket kami lolos dari pengawasan dan jam stasiun berdenting tajam 3 kali, kami hanya punya 2 dentang lagi sebelum kereta berjalan. Tapi kami berdua masih berlari konyol, sembari tertawa memegang tas bawaan kami, sore itu sehabis hujan dan udara terasa sejuk nyaman dengan ditemani rintik hujan kecil. Kami berhenti di depan gerbong dan dia menyuruhku masuk lebih dulu dengan gaya tangan mempersilahkan, dalam hati bergumam "hah yang benar saja.." aku menaiki pintu gerbong tanpa undakan dan itu terasa sulit bagiku mengingat badanku yang cukup mungil untuk ukuran wanita dewasa. Dia mengambil satu tas berat ditangan kiriku yang, .. yaa bisa dibilang mengusahkanku untuk masuk. Setelah sudah didalam, dia menyusul dibelakang dan kereta tepat berjalan. Kami menghela nafas lega di pertengahan peron, kami menyenden berhadapan dan memandang satu sama lain lalu tertawa lagi. Dia menyalurkan tanganku meminta tiket kami, setelah kuberikan dia memimpin jalan dan kami mulai mencari tempat duduk. 

Setengah perjalanan kami isi dengan mengobrol berat. Mengenai rencana kuliah setelah ini, bagaimana kami akan menghabiskan waktu liburan, ajakan untuk traveling bersama. Dan siapa sangka, ini pertama kali kami pulang bersama dimana dia akan mampir ke kota asalku. Aku menghela nafas sebentar setelah perbincangan panjang kami, kucek jam tangan di tanganku dan waktu menunjukkan pukul  enam lebih. Aku menoleh melihatnya, dia menutup matanya mencoba untuk tidur. Aku tertawa meringis dalam diam lalu menoleh kearah jendela kereta, memperhatikan langit yang kini sudah menampilkan gradasi warnanya. Seakan matahari melepas keberadaannya dengan digantikan biru gelapnya langit malam, awan putih mengepul siaga dilangit-langit angkasa. Sayang sekali aku tidak ada kamera untuk menyimpan gambar itu. Seketika mataku tertuju menuju bungkusan tas persegi dibawah kakiku. Jantung ini berdegup sedikit cepat, aku selalu ceroboh dalam melakukan kejutan, mungkin beberapa berhasil dengan bantuan orang-orang. Seperti ulang tahun ayah atau keluarga yang memang kami atur bersama. Kali ini, aku sendirian, dan kali ini tidak boleh gagal. Ingatku dalam hati.

"Tidur?." Kataku menyenggol lengannya. Dia membuka mata dan refleks melihatku.
"Belum. Kenapa?." Katanya. Aku mengernyit, berpikir.
"Hm.. sudah berapa orang yang menelponmu hari ini?." Dia melipat alisnya yang tebal hingga seakan segaris.
"Memang segitu banget ya?." Katanya sembari membuang muka. Aku sedikit terkejut.
"Ibumu? Ayahmu?." Tanyaku lagi, heran. Dia melihatku keheranan.
"Hanya sebatas sms saja. Mereka tidak heboh. Memangnya kamu?." Katanya sedikt tertawa. Aku sedikit tersinggung mendengarnya.
"Aku?." Kataku menekankan suara. Dia sedikit siaga, seakan menungguku meledak.
"Iya. Aku kan laki-laki, memang harus dengan dikirimin makanan dan paket segala?." Katanya lagi. Wajahnya tenang, mencairkan suasana. Aku terdiam cukup lama. 

Dia mengenakan headsetnya dan mulai mendengarkan lagu. Aku membuka buku favoritku dan membaca. Kami mulai lunglai dengan kesibukan masing-masing. Aku mengingat dia pernah bercerita bahwa pada hari kelahirannya, saat itu ibunya belum meninggal dan adiknya belum ada. Ibunya selalu menyiapkan makanan favorit dia, ayam kaldu dan pepes terong. Dia bercerita bahwa pepes terong bikinan ibunya benar-benar tiada dua, sungguh aneh membayangkan wajah pria seperti dia yang dikagumi hampir wanita satu jurusannya memiliki selera kedesa-desaan. Dan dari ketidak warasan kami dalam menilai masing-masinglah yang membawa kami menjadi sahabat karib selama masa  awal perkuliahan. Saling membantu satu sama lain walau jurusan kami berjauhan, ocehan cerewet dia dalam mengomentari kendaraanku yang kotor tidak pernah kubersihkan, dan ya.. pada akhirnya dia yang turun tangan membersihkannya, lalu kebiasaan dia yang belajar untuk ujian H-12 jam bahkan dengan sks lebih dari 4 adalah malapetaka yang sulit kubayangkan. Dia dengan lagak bijaksananya menjelaskan bahwa dengan belajar terlalu giat dari kapan lalu akan merusak sel otak karena terlalu sering dipikirkan, sungguh bukan teori biologis yang masuk akal dalam pengalaman pendidikan manapun yang pernah kuketahui. Tapi lucunya, nilai kami selalu balapan, dengan jangka waktu belajarku yang lebih panjang dari dia, dia bisa dengan santai seakan berjalan bersebelahan denganku, ya.. setidaknya dalam hal akademik. Aku menyenggol dia lagi, dan dia menoleh padaku seraya membuka headsetnya. Menungguku bicara.

"Memang tidak ada wanita spesial yang memberimu selamat?." Kataku langsung pada inti. Dia menatapku sedikit lama dan akhirnya menggelengkan kepala. Aku menyiasati mencoba menyalurkan pandanganku padanya.
"Mungkin kau yang tidak peka..." Kataku.
"Memangnya aku harus begitu?." Katanya menskak ku. Demi Tuhan.. aku merasa terserang dengan ucapannya. Aku tertawa kecil.
"Aku hanya bertanya."
"Itu bukan tanya, itu memberi anggapan." Katanya singkat. Aku diam, dalam hati menyumpah serapah seandainya jika laki-laki ini bukan sahabatku mungkin aku sudah berbohong dan pergi lalu memutuskan duduk dengan penumpang lain.
"Ya oke. Aku hanya penasaran." kataku akhirnya. Kami duduk dalam diam, kini aku menggunakan headsetnya dan dia sibuk berdiam diri, menatap kosong kedepan. Tiba-tiba dia menyenggol lenganku dan melihatku. Aku membuka headsetku dan menunggunya bicara.
"Aku tidak pernah baik didepan wanita. Mengambil langkah untuk memiliki hubungan, tau kan? Dengan kekakuan kita nanti, haha lucu membayangkan jika aku akan begitu nanti. Semua terjadi semenjak apa yang dilakukan ayahku padaku, pada ibuku. Maka dari itu, sejak ibuku meninggal disaat aku masih sekolah dasar, dan aku harus tinggal dengan ibu angkat dan anak-anaknya. Kau tahu kan? Usaha ayahku untuk keluarga barunya, untuk adik-adik angkatku dan istrinya. Seakan aku hanya menumpang jika pulang nanti. Mungkin itu alasan aku takut mengambil hubungan, harus menemaninya belanja, membelikannya hadiah ulang tahun, membayari dia makan.." Lalu dia diam. Aku masih menatapnya.
"Aku merasa belum layak." Katanya mengakhiri.
"Jadi selama ini..?."
"Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Terakhir aku merayakan ulang tahun ketika umurku 8 tahun, bersama ibuku." 
Katanya singkat. Aku masih menatapnya. Dia kini kembali ke posisi duduk semula lalu kembali menatap kedepan, menonton tv kereta api. Dengan ucapannya yang seakan menskak ku tadi, dan bagaimana dia menjelaskan mengapa dia begitu. Aku merasa sedikit guncangan di hati kecil ini, mengingat bagaimana perlakuan dia padaku sebagai teman. Mengingat wajahnya yang basah kuyup kehujanan dan menjemputku didepan mall sehabis aku menonton dengan kakak tingkat, usahanya yang lari dari ruang kuliah menuju lapangan kampus demi melihatku pertanding karate di perlombaan, dan yang senantiasa mengirimkan obat alergi jika aku tiba-tiba kambuh di kelas. Aku menoleh memandangnya lagi. Lagu yang menyala di telingaku seakan memberi makna.. "..people fall in love in mysterious ways.."

Aku berdiri dan membawa tas persegi disebelahku lalu berjalan menuju gerbong sebelah, masih memakai headsetku. Setelah sekiranya jauh dari dia. Aku membuka bungkus persegi dan membuka sebungkus puncake coklat dengan butiran keju meleleh diatasnya. Lalu menggoroh tas tersebut dan menemukan sepotong lilin merah yang sudah terpakai, kebetulan bekasku ketika aku berulang tahun. Aku terdiam, merasa bersalah hanya memberikan kejutan kecil untuknya. Lalu secara tiba-tiba tangan ini mengambil handphone disaku dan mulai sibuk melakukan sesuatu dengannya....


Malam itu pukul 9, setelah perberhentian terakhir di sebuah stasiun. Kini jendela hanya menontonkan gelapnya malam dan sunyinya gerbong karena banyak penumpang tertidur. Aku berjalan perlahan dari belakang hingga beberapa centi lagi dibelakang dia, salah satu headset kupasangkan ditelinga kanannya karena itu yang dapat kujangkau. Sebuah lagu menyala menyanyikan lagu selamat ulang tahun yang tak lain adalah suaraku yang kurekam ketika aku masih digerbong makan. Dia melihatku berjalan membawa pancake coklat dan sebatang lilin merah diatasnya. Dia berdiri dan memberiku waktu untuk tersenyum padanya. Wajahnya tak terbaca, entah dia terkejut atau mungkin tidak menyukainya. Aku berjalan menuju tempat dudukku, lalu menghadap padanya hingga lagu ulang tahun dalam headset kami terhenti. Dalam bisikan, aku menyuruhkan meniup lilin secepatnya karena ini didalam gerbong ber-AC. Dia tertawa lalu melalukannya dan seketika mencabut lilin itu dan menaruh disakunya, jaga-jaga agar asapnya tidak keluar terlalu banyak. Aku tertawa tanpa suara, begitupun dia. 

Kue pancake mungil yang tadi utuh kini sudah setengah dimana kami memakannya bersama. Headset masih terpasang tapi tanpa suara. Lalu dia berbisik. 
"Takut penumpang lain bangun?." Katanya pelan. Aku tertawa.
"Aku tidak berani mengajak mereka bekerja sama denganku untuk ramai-ramai nyanyi buat kamu." Kataku polos. Dia tertawa, lalu tangannya mengacak-acak rambutku. Sampai aku menyadari ada yang tertinggal saat itu. Aku duduk tegap dan membuka headphone lalu menyalakan history recorderku.

".. Selamat ulang tahun! Aku bingung harus melakukan apa untuk kejutan ini. Dan harus semeriah apa. Jadi.. mau dimaafkan kan jika hanya begini saja? haha.." Dalam sunyi kami mendengarkan, dia menyadari suaraku lalu menoleh melihatku dari sebelah. Dan tentu saja, aku tidak menoleh padanya saat itu.
".. aku tidak akan mengatakan hal ini untuk kedua kali melalui mulutku. Karena kamu tahu aku sangat pemalu. Jadi biarkan aku bicara melalui recorder ini agar aku tidak perlu malu untuk mengucapkannya lagi. Mungkin kau akan terus menutup hati itu untuk orang lain, tapi ketahuilah.. dengan menjelaskan dirimu yang seperti ini dengan wanita lain seperti kau bercerita padaku, mereka akan mengerti. Dan percaya, mereka akan menyayangimu dengan adanya dirimu yang seperti ini. Seperti aku yang senantiasa menjadi telingamu. Mungkin dengan terbukanya dirimu dengan keluargamu yang baru, kau akan menemukan momen yang sempat hilang selama 12 tahun ini. Seperti aku yang senantiasa kau tunjukkan dirimu yang sebenarnya, dan aku yang tidak pernah berusaha lari dari itu. Mungkin dengan hadirku disini, sebagai manusia yang paling banyak kurangnya dalam hidupmu, dan banyaknya kurangnya dirimu juga dalam hidupku. Seperti dalam tenangnya ulang tahunmu yang ke-20 ini, kita masih akan terus memberi percikan kejutan satu sama lain dan masih bisa saling tersenyum bersama, berdua. Jadi.. semoga kau terus bahagia. Dan tentu saja, salah satunya bahagia bersama sahabatmu yang paling pandai menyusahkanmu.. Salam." 
Recorder selesai. Jantung ini masih bergedup kencang. Dari samping aku merasakan dia yang masih menoleh padaku. Aku memberanikan diri menoleh dan melihat kedua matanya. Aku memberi senyum padanya dimana dia juga memberi senyum hangat yang selalu terlihat di mataku. Setidaknya untuk saat ini, aku percaya. Seperti pada lirik lagu yang menemaniku menyiapkan kejutan kecil ini, 
"..we found love right where we are.."
Tepat malam itu. Aku merasakan momen yang seharusnya aku harapkan dari orang lain yang jauh disana, orang yang amat kusayangi daridulu dengan syarat. Tapi disini, malam ini. Aku menyadari orang ini yang selama ini benar ada didepan mata, dan tidak kusadari-- benar-benar tanpa syarat kusayangi..





Slightly Watching, Deep Understanding

Jumat, 27 Februari 2015


"Semua seakan tertumpah dimangkuk kecil ini. Kuah sup putih telur didalamnya yang tinggal setengah lagi ini datar menampilkan bayangan wajahku yang samar. Kulirik kesebalh kiri, jam tangan hitam kusangku menunjukkan pukul setengah delapan dengan jarum detik yang bergerak konstan. Aku sekejap menyenden kembali di meja, menutup mata menahan amarah kecilku. Lalu membuka mataku dengan posisi kepala menatap atap ruangan. Kini restoran mungil kesayangan kami ini sudah lumayan penuh pengunjung. Dari pria-pria kantoran dengan tas pundak coklat seraya membaca koran dan meneguk kopi serta roti bakar yang belum tersentuh untuk dimakan, ocehan wanita yang menyuruh anaknya untuk sarapan dan beberapa pengunjung sepertiku.. sedang menunggu seseorang.

Aku meluruskan gaya dudukku dan meneguk susu putihku lalu memandang kursi didepanku yang kosong dengan sup putih telur yang masih penuh, roti dengan selai kacang, serta air putih yang belum tersentuh. Aku menelan ludah, menahan air mata yang hampir menggenag dimata. Rupanya hari ini tidak perlu diramalkan kembali, aku tahu dia tidak akan datang, seperti biasanya. Aku berdiri beranjak memakai mantel coklat dan memeluk tas mungilku lalu meninggalkan uang disebelah piringku. Lalu pergi. Jalanku cepat, tapi aku bisa merasakan langkah berat diriku sendiri. Berusaha menahan air mata yang, lucunya, terlihat memalukan jika harus menangis. Mengatur nafas lalu berjalan normal."

Diwaktu yang sama, seorang pria menatap jalan raya, melihat langkah wanita yang beberapa saat lalu pergi dengan cepat dan meninggalkan meja makannya dengan makanan yang masih belum tersentuh. Dia terdiam lalu lanjut menggambar dengan sketsanya. Bukan hal yang langka, tapi hari ini bukan hari wanita itu datang untuk pertama kalinya, dalam benaknya..

"Hari itu, setelah dua hari kunjunganku yang terkahir di cafe mungil itu. Aku dengan langkah berani berjalan masuk kedalamnya. Kali ini aku memesan dua air putih, aku merasa tidak perlu makan hari ini. Durasi perkiraan waktu di kepalaku seakan sudah menjadwal bahwa hari ini hanya sebentar, dan sepertinya, untuk yang terakhir aku akan berkunjung kemari. Aku duduk ditempat yang sama, tidak melepas mantelku dan menaruh tas mungilku dipaha. Aku memandang jalanan berharap melihatnya lewat dan melihatku. Lalu mata ini bergerak beberapa centi dari kaca cafe dan melihat seorang pria duduk tenang sedang sibuk dengan kertasnya. Wajahnya terkena pantulan sinar pagi, aku hanya melirik sebentar dan seketika dia menoleh lalu mata kami bertemu. Aku segera menunduk bahkan sebelum aku berkedip. Aku terus menunduk sampai aku menyadari seseorang duduk didepanku. Aku terus menunduk, dan entah mengapa semua terasa konyol. Hari demi hari menunggu sesuatu yang bisa dengan mudahnya datang kapan saja ia mau, diri terasa mengoreksi keganjilan yang tidak seharusnya ada. Lalu aku menaikkan wajahku dan menatap matanya. Wajah yang sama seperti yang aku lihat setahun lalu, pertemuan janji kami disini, tepat ditempat ini dengan posisi duduk yang sama. Aku melihat wajahnya, turun ke pundak, memperhatikan garis lurus pundaknya dengan mantel biru dongkernya, melihat sedikit debu diatasnya dan tersenyum sedikit, melihat dua kancing pertama yang tertutup di mantelnya sedangkan sisanya sengaja tidak ditutup, benar-benar khas dia yang kuhapal betul bahkan sampai saat ini. Mataku terus meraba dan tanpa disadari mataku kabur dengan air mata yang tidak turun sebagai salam pertemuan sejak satu tahun kami berjanji untuk bertemu kembali. Dan pandangan mata ini terhenti, dibalik jarinya, jari manisnya, melengkung sempurna cincin perak dengan ukiran sederhana, aku melengkungkan alisku dan melihat matanya. 
Dia memandangku dengan orehan wajah yang dalam. Aku tersenyum kecil, menahan air mata yang siap keluar. Dengan mengatur posisi duduk dan menampilkan wajah sebaik mungkin.
"Selamat ya." Kataku sembari tersenyum. Dia hanya mengangguk tersenyum. Aku tertawa dan meneguk air putihku kembali. 
"Aku minta maaf, aku lupa harus kemari. Kau tahu? Banyak yang harus dilakukan." Katanya ringan. Aku tersenyum.
"Tentu saja, aku tahu. Sibuk sekali pasti.."
Kami berbincang renyah. Seakan teman lama yang bertemu kembali. Dia bercerita perkawinannya, dan bagaimana dia tidak mengundangku karena terlalu jauh dari rumahku dan tahu bahwa aku tidak mungkin diperbolehkan oleh orang tua angkatku bepergian sejauh itu, bagaimana rencana kepindahan mereka, dan rasa tidak percayanya dia bahwa akhirnya akan menikah dengan wanita itu.
"..maksudku. Kau tahu kan bahwa semua memang dari awal adalah akting? Kau sahabatku. Aku tidak tahu harus bercerita kepada siapa lagi... tapi kau tahu kan? Benar-benar tidak disangka akan begini. Aku yang denganmu hanya sebatas pengalih perhatian saja. Dan dia yang rupanya memperhatikan aku seperti aku juga memperhatikan dia.. ajaib sekali bukan? Bukannya dunia ini sukar ditebak? " Katanya sembari memasang wajah tidak percaya sekaligus bahagia. Aku tertawa renyah padanya. Setuju.
"Dia benar-benar cemburu padamu. Kau tahu? Tidak ada yang bisa dekat sebagai teman sebaik kau padaku. Dia menitip salam padamu, asal kau tahu.." Katanya lagi. Aku tertawa lebar.
"Kirimkan salamku untuknya. Aku akan berkunjung kalau sempat." Kataku meyakinkan.
"Harus. Beritahu aku, aku akan menjemputmu nanti." Katanya. Dia berdiri dari kursinya dan meluruskan lipatan mantelnya. Aku juga ikut berdiri, lalu dia ke kasir dan membayar pesanan kami. Aku mengikutinya sampai keluar hingga di depan cafe. Dia berbalik dari melihatku, memandangku lama sekali dengan mata kecoklatan terlihat jelas terpantul matahari pagi. Seketika dia menarik tubuhku dan memelukku, lama. Aku menepuk punggungnya dan terus berdoa didalam hati untuk tidak menangis, untuk terus tidak terlalu mengambil momen ini. Dalam pelukan kami, dia bertanya.
"Kau tidak benar-benar menunggu di cafe ini seperti janji hari itu kan?." katanya lembut. Aku terdiam, air mata ini tidak menepati janjinya, dia terus turun selama tubuh ini masih didalam pelukannya. Aku masih tidak menjawab. Dia terus memelukku, entah bagaimana dunia ini terasa sangat lucu menunjukkan jalan kecilnya bagiku. Dalam hati aku menyimpulkan bahwa pelukan ini memberikanku waktu untuk menjawab, tanpa harus melihat matanya, tanpa harus menangis konyol didepannya.
"Tentu saja tidak. Hari ini tepat kita terakhir bertemu, setahun lalu. Firasatku bilang kau akan datang. Dan memang benar.." Kataku pelan. Dia mempererat pelukannya, dan berbisik ditelingaku.
"Maafkan aku." Aku sekali lagi menitikkan air mata kecil ini. Beban hati terasa tumpah di pundak ini, pundak yang senantiasa menemani sebagai sosok laki-laki nomor satu didunia bagiku, aku tidak pernah mengenal ayahku semenjak kejadian yang merubah segalanya dalam hidupku, tapi sosoknya bagai ayah bagiku, sosok yang kucintai, kusayangi, kuhormati. Sahabat nomor satu bagiku, dan juga..
"Terima kasih sudah mau datang." Kataku pelan. Dia melepas pelukanku dan tersenyum melihatku. Tangis ini terhenti tepat dia melihatku, terkontrol mengingat sudah sesering apa aku menunggu ditempat ini dan terus menangis setelahnya. Dia melambai tanganku dan berbalik pergi.  
Aku masih terus melihat punggungnya yang berjalan menjauh. Dan tanpa harus kuawali, air mata ini turun begitu saja. Aku benci harus mengakuinya. Tapi dalam diam, dalam segala momen dimana kami berdua menghabiskan waktu bersama, aku benar-benar menginginkannya. Dan secara nyata, rupanya dengan keinginan itu, akulah yang memang harus melepasnya.."

Pria itu memperhatikan dalam diam. Wanita itu tetap diam diluar, memperhatikan sesuatu yang sudah jauh berjalan. Dari samping, rautan wajah itu nampak hilang. Bukan wajah yang dibaca oleh pria itu, tapi momen dimana hal sesederhana seperti perpisahan tidak akan membuat dunia berhenti menunjukkan takdir lainnya. Ketika sebentuk kasih yang harus rela terlepaskan demi seutuhnya kebahagiaan hingga menimbulkan kehilangan yang amat dalam. Dan dalam diam, pria itu memahami. Bahwa tidak selamanya apapun yang kau simpan akan selamanya baik-baik saja. Ada kalanya suatu ketika, .. kau harus bicara. Setidaknya lebih dahulu jujur pada diri sendiri. Maka dengan ini kau akan paham bagaimana dunia menunjukkan jalannya padamu.



 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS