A Sheet of Promise—And Dreams

Sabtu, 20 Februari 2016

I wrote it on tissues, because that's the only paper we had. 
"If we can catch our dream together. No matter how far we go, we have to meet each other." —February 20, 2016 
"Netherlands."
"Germany."
"Well.. let say UK and France for vacation." He said slowly. 
"Viva La Europe!!." I said. We looked each otherthen laugh.
... far away from we sat, Coldplay song just played : "My missionaris in a foreign field; For some reason I can't explain; I know St Peter won't call my name; Never an honest word; But that was when I rules the world." (Viva La Vida)



My

Ara Kisah Tiga; Senyum Tiga Perempat

Rabu, 17 Februari 2016

Malam memang tempat baik untuk berduka dengan hati. Begitu pula malam ini, ketika saya memutuskan untuk menulis sesuatu, pertanyaan berbalik kembali "apa lagi yang mau kamu tulis?", "inspirasi apa lagi kali ini?", "masih begitu saja?". Yang terakhir yang paling menyakitkan. Hampir semua cerpen yang saya tulis disini adalah bentuk perasaan final yang tak pernah saya utarakan didepan orang-orang terdekat. Can people call it lonely? Maybe, saya mungkin punya banyak sahabat yang setia mendengar dan memberi arahan kemanapun yang baiknya saya lewati. Tapi tidak selain disini, setiap tombol huruf yang saya tekan adalah bentuk pena tak terlihat yang bergerak bukan karena apa yang saya inginkan, tapi bahasa dari dalam diri yang menggerakkan. Saya sedikit bersyukur hidup dalam era dimana dunia maya terkadang adalah sahabat yang cukup mengerti.

Kembali lagi, beberapa saat lalu saya bertemu Ara. Ara sebenarnya adalah nama pena dari seseorang yang, entah kenapa—sebenarnya hanya satu orang. Tapi sosoknya bisa saya temukan dibeberapa orang dalam hidup saya. Tapi kali ini benar-benar Ara, Ara yang pertama—dan saya berdoa dia juga Ara yang terakhir. Masih sama, belum ada perubahan dari cara dia berjalan, cara dia menggerakkan tangannya saat kakinya bergerak, cara dia melihat sekitar sebelum dia melihat fokus kedepan, cara dia tersenyum seperempat gigi ketika mata ini bertemu, cara dia tertegun sedikit dengan tangan kiri yang mengepal di mulut menahan tawa kecil, cara bisa melambai pelan, cara dia bicara dengan logatnya. Sedihnya, Ara benar-benar membuat saya merasa pulang hari itu. Beberapa kalimat bijak pernah berkata bahwa, 'rumah' bukan hanya sebuah tempat bagi seseorang. 'Rumah' adalah perasaan dimana kau merasa disitulah dirimu pernah berada, dengan bagaimana dirimu apa adanya. 'Rumah' bisa berupa tempat dimana dirimu pernah membuat memori yang akan teringat sepanjang masa. 'Rumah' juga bisa berupa seseorang yang dengan melihatnya, dirimu merasa tenang dan entah bagaimana—seakan tidak perlu berpura-pura lagi didepannya. Ara adalah salah satu dari rumah yang saya miliki, selain bapak dan sahabat nomor satu di dunia saya.

Kami bertukar pandang tidak percaya, bagaimana waktu merubah begitu banyak garis wajah yang dulu sangat ceria dan berisi, kini garis itu lebih tegas, mata yang lebih hangat dan senyum yang lebih tegar dari sebelumnya. Saya tersenyum hangat, berusaha memeluk momen dengan perlahan.
"Sehat?." Kata saya sembari bersemangat. Dia masih tertawa kecil. Saya juga kembali tertawa kecil, sedikit tidak percaya, waktu benar-benar keajaiban yang tidak bisa disangkal manusia.
"Alhamdulillah." Kata dia lembut.
Kami berjalan pelan. Seperti biasa, saya bukan tipe orang yang suka mendinginkan suasana. Ini bukan pertemuan canggung karena kami sudah saling mengenal selama hampir 6 tahun. Saya membuatnya tertawa dengan komentar badannya yang sekarang lebih kurus dan tingginya yang sudah bertambah. Sembari menanyakan kabar—entah kenapa, tingkah laku yang tiba-tiba biasanya saya munculkan didepan orang tua saya keluar begitu saja. Sedikit melirik kearahnya sembari bicara dan terus bercerita dengan bersemangat, sesekali membuat ekspresi dalam bicara, mengomentari apapun yang saya lihat didepan saya, membuat guyonan kecil lalu tertawa sendiri. Dia diam mendengar seraya memperhatikan saya bicara dengan senyum tiga perempatnya.
"Kamu masih sama." Kata-kata yang membuat saya terdiam dari bicara yang panjang, lalu melihatnya sambil mengangkat sebelah alis.
"Masak?."
Dia mengangkat bahu dengan ekspresi tidak tahu menahu lalu berjalan memimpin didepan, meninggalkan saya terdiam.
...
Saya mungkin sama seperti wanita lainnya, mungkin juga berbeda. Momen yang akan terus saya kenang mungkin hingga nanti, ketika saya benar-benar menemukan seseorang yang tepat; entah siapa nantinya, adalah ketika saya ingat melihat matanya pada siang lalu itu. Memohon untuk berhenti, memohon untuk pergi. Tanpa tiada seorang pun yang tahu, saat itu—mungkin di masa mendatang—bahwa dia benar-benar pernah datang dan tulus memberi sesuatu yang berharga. Dan disaat itu pula saya tetap berusaha ingin pergi.

Senyum Tiga Perempat—Bahkan hal yang sederhana akan terus tergiang jika kita benar-benar ingin mengingatnya. Dan saya memutuskan untuk terus mengingatnya, Ara.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

(ARA—mimpi saya masih sama, saya tetap ingin membuat novel sebelum umur saya sampai 30. Mimpi yang pernah saya tulis di buku harian ketika saya di bangku Sekolah Dasar. Masih banyak buku sastra yang musti saya baca, dan mungkin—masih harus banyak pengalaman yang harus saya jalani. Tapi jika suatu ketika saya sudah sampai, ARA akan menjadi judul pertama saya. Amin.)


 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS