Ara Kisah Dua

Sabtu, 28 Februari 2015



Kami bergegas lari, setelah karcis tiket kami lolos dari pengawasan dan jam stasiun berdenting tajam 3 kali, kami hanya punya 2 dentang lagi sebelum kereta berjalan. Tapi kami berdua masih berlari konyol, sembari tertawa memegang tas bawaan kami, sore itu sehabis hujan dan udara terasa sejuk nyaman dengan ditemani rintik hujan kecil. Kami berhenti di depan gerbong dan dia menyuruhku masuk lebih dulu dengan gaya tangan mempersilahkan, dalam hati bergumam "hah yang benar saja.." aku menaiki pintu gerbong tanpa undakan dan itu terasa sulit bagiku mengingat badanku yang cukup mungil untuk ukuran wanita dewasa. Dia mengambil satu tas berat ditangan kiriku yang, .. yaa bisa dibilang mengusahkanku untuk masuk. Setelah sudah didalam, dia menyusul dibelakang dan kereta tepat berjalan. Kami menghela nafas lega di pertengahan peron, kami menyenden berhadapan dan memandang satu sama lain lalu tertawa lagi. Dia menyalurkan tanganku meminta tiket kami, setelah kuberikan dia memimpin jalan dan kami mulai mencari tempat duduk. 

Setengah perjalanan kami isi dengan mengobrol berat. Mengenai rencana kuliah setelah ini, bagaimana kami akan menghabiskan waktu liburan, ajakan untuk traveling bersama. Dan siapa sangka, ini pertama kali kami pulang bersama dimana dia akan mampir ke kota asalku. Aku menghela nafas sebentar setelah perbincangan panjang kami, kucek jam tangan di tanganku dan waktu menunjukkan pukul  enam lebih. Aku menoleh melihatnya, dia menutup matanya mencoba untuk tidur. Aku tertawa meringis dalam diam lalu menoleh kearah jendela kereta, memperhatikan langit yang kini sudah menampilkan gradasi warnanya. Seakan matahari melepas keberadaannya dengan digantikan biru gelapnya langit malam, awan putih mengepul siaga dilangit-langit angkasa. Sayang sekali aku tidak ada kamera untuk menyimpan gambar itu. Seketika mataku tertuju menuju bungkusan tas persegi dibawah kakiku. Jantung ini berdegup sedikit cepat, aku selalu ceroboh dalam melakukan kejutan, mungkin beberapa berhasil dengan bantuan orang-orang. Seperti ulang tahun ayah atau keluarga yang memang kami atur bersama. Kali ini, aku sendirian, dan kali ini tidak boleh gagal. Ingatku dalam hati.

"Tidur?." Kataku menyenggol lengannya. Dia membuka mata dan refleks melihatku.
"Belum. Kenapa?." Katanya. Aku mengernyit, berpikir.
"Hm.. sudah berapa orang yang menelponmu hari ini?." Dia melipat alisnya yang tebal hingga seakan segaris.
"Memang segitu banget ya?." Katanya sembari membuang muka. Aku sedikit terkejut.
"Ibumu? Ayahmu?." Tanyaku lagi, heran. Dia melihatku keheranan.
"Hanya sebatas sms saja. Mereka tidak heboh. Memangnya kamu?." Katanya sedikt tertawa. Aku sedikit tersinggung mendengarnya.
"Aku?." Kataku menekankan suara. Dia sedikit siaga, seakan menungguku meledak.
"Iya. Aku kan laki-laki, memang harus dengan dikirimin makanan dan paket segala?." Katanya lagi. Wajahnya tenang, mencairkan suasana. Aku terdiam cukup lama. 

Dia mengenakan headsetnya dan mulai mendengarkan lagu. Aku membuka buku favoritku dan membaca. Kami mulai lunglai dengan kesibukan masing-masing. Aku mengingat dia pernah bercerita bahwa pada hari kelahirannya, saat itu ibunya belum meninggal dan adiknya belum ada. Ibunya selalu menyiapkan makanan favorit dia, ayam kaldu dan pepes terong. Dia bercerita bahwa pepes terong bikinan ibunya benar-benar tiada dua, sungguh aneh membayangkan wajah pria seperti dia yang dikagumi hampir wanita satu jurusannya memiliki selera kedesa-desaan. Dan dari ketidak warasan kami dalam menilai masing-masinglah yang membawa kami menjadi sahabat karib selama masa  awal perkuliahan. Saling membantu satu sama lain walau jurusan kami berjauhan, ocehan cerewet dia dalam mengomentari kendaraanku yang kotor tidak pernah kubersihkan, dan ya.. pada akhirnya dia yang turun tangan membersihkannya, lalu kebiasaan dia yang belajar untuk ujian H-12 jam bahkan dengan sks lebih dari 4 adalah malapetaka yang sulit kubayangkan. Dia dengan lagak bijaksananya menjelaskan bahwa dengan belajar terlalu giat dari kapan lalu akan merusak sel otak karena terlalu sering dipikirkan, sungguh bukan teori biologis yang masuk akal dalam pengalaman pendidikan manapun yang pernah kuketahui. Tapi lucunya, nilai kami selalu balapan, dengan jangka waktu belajarku yang lebih panjang dari dia, dia bisa dengan santai seakan berjalan bersebelahan denganku, ya.. setidaknya dalam hal akademik. Aku menyenggol dia lagi, dan dia menoleh padaku seraya membuka headsetnya. Menungguku bicara.

"Memang tidak ada wanita spesial yang memberimu selamat?." Kataku langsung pada inti. Dia menatapku sedikit lama dan akhirnya menggelengkan kepala. Aku menyiasati mencoba menyalurkan pandanganku padanya.
"Mungkin kau yang tidak peka..." Kataku.
"Memangnya aku harus begitu?." Katanya menskak ku. Demi Tuhan.. aku merasa terserang dengan ucapannya. Aku tertawa kecil.
"Aku hanya bertanya."
"Itu bukan tanya, itu memberi anggapan." Katanya singkat. Aku diam, dalam hati menyumpah serapah seandainya jika laki-laki ini bukan sahabatku mungkin aku sudah berbohong dan pergi lalu memutuskan duduk dengan penumpang lain.
"Ya oke. Aku hanya penasaran." kataku akhirnya. Kami duduk dalam diam, kini aku menggunakan headsetnya dan dia sibuk berdiam diri, menatap kosong kedepan. Tiba-tiba dia menyenggol lenganku dan melihatku. Aku membuka headsetku dan menunggunya bicara.
"Aku tidak pernah baik didepan wanita. Mengambil langkah untuk memiliki hubungan, tau kan? Dengan kekakuan kita nanti, haha lucu membayangkan jika aku akan begitu nanti. Semua terjadi semenjak apa yang dilakukan ayahku padaku, pada ibuku. Maka dari itu, sejak ibuku meninggal disaat aku masih sekolah dasar, dan aku harus tinggal dengan ibu angkat dan anak-anaknya. Kau tahu kan? Usaha ayahku untuk keluarga barunya, untuk adik-adik angkatku dan istrinya. Seakan aku hanya menumpang jika pulang nanti. Mungkin itu alasan aku takut mengambil hubungan, harus menemaninya belanja, membelikannya hadiah ulang tahun, membayari dia makan.." Lalu dia diam. Aku masih menatapnya.
"Aku merasa belum layak." Katanya mengakhiri.
"Jadi selama ini..?."
"Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Terakhir aku merayakan ulang tahun ketika umurku 8 tahun, bersama ibuku." 
Katanya singkat. Aku masih menatapnya. Dia kini kembali ke posisi duduk semula lalu kembali menatap kedepan, menonton tv kereta api. Dengan ucapannya yang seakan menskak ku tadi, dan bagaimana dia menjelaskan mengapa dia begitu. Aku merasa sedikit guncangan di hati kecil ini, mengingat bagaimana perlakuan dia padaku sebagai teman. Mengingat wajahnya yang basah kuyup kehujanan dan menjemputku didepan mall sehabis aku menonton dengan kakak tingkat, usahanya yang lari dari ruang kuliah menuju lapangan kampus demi melihatku pertanding karate di perlombaan, dan yang senantiasa mengirimkan obat alergi jika aku tiba-tiba kambuh di kelas. Aku menoleh memandangnya lagi. Lagu yang menyala di telingaku seakan memberi makna.. "..people fall in love in mysterious ways.."

Aku berdiri dan membawa tas persegi disebelahku lalu berjalan menuju gerbong sebelah, masih memakai headsetku. Setelah sekiranya jauh dari dia. Aku membuka bungkus persegi dan membuka sebungkus puncake coklat dengan butiran keju meleleh diatasnya. Lalu menggoroh tas tersebut dan menemukan sepotong lilin merah yang sudah terpakai, kebetulan bekasku ketika aku berulang tahun. Aku terdiam, merasa bersalah hanya memberikan kejutan kecil untuknya. Lalu secara tiba-tiba tangan ini mengambil handphone disaku dan mulai sibuk melakukan sesuatu dengannya....


Malam itu pukul 9, setelah perberhentian terakhir di sebuah stasiun. Kini jendela hanya menontonkan gelapnya malam dan sunyinya gerbong karena banyak penumpang tertidur. Aku berjalan perlahan dari belakang hingga beberapa centi lagi dibelakang dia, salah satu headset kupasangkan ditelinga kanannya karena itu yang dapat kujangkau. Sebuah lagu menyala menyanyikan lagu selamat ulang tahun yang tak lain adalah suaraku yang kurekam ketika aku masih digerbong makan. Dia melihatku berjalan membawa pancake coklat dan sebatang lilin merah diatasnya. Dia berdiri dan memberiku waktu untuk tersenyum padanya. Wajahnya tak terbaca, entah dia terkejut atau mungkin tidak menyukainya. Aku berjalan menuju tempat dudukku, lalu menghadap padanya hingga lagu ulang tahun dalam headset kami terhenti. Dalam bisikan, aku menyuruhkan meniup lilin secepatnya karena ini didalam gerbong ber-AC. Dia tertawa lalu melalukannya dan seketika mencabut lilin itu dan menaruh disakunya, jaga-jaga agar asapnya tidak keluar terlalu banyak. Aku tertawa tanpa suara, begitupun dia. 

Kue pancake mungil yang tadi utuh kini sudah setengah dimana kami memakannya bersama. Headset masih terpasang tapi tanpa suara. Lalu dia berbisik. 
"Takut penumpang lain bangun?." Katanya pelan. Aku tertawa.
"Aku tidak berani mengajak mereka bekerja sama denganku untuk ramai-ramai nyanyi buat kamu." Kataku polos. Dia tertawa, lalu tangannya mengacak-acak rambutku. Sampai aku menyadari ada yang tertinggal saat itu. Aku duduk tegap dan membuka headphone lalu menyalakan history recorderku.

".. Selamat ulang tahun! Aku bingung harus melakukan apa untuk kejutan ini. Dan harus semeriah apa. Jadi.. mau dimaafkan kan jika hanya begini saja? haha.." Dalam sunyi kami mendengarkan, dia menyadari suaraku lalu menoleh melihatku dari sebelah. Dan tentu saja, aku tidak menoleh padanya saat itu.
".. aku tidak akan mengatakan hal ini untuk kedua kali melalui mulutku. Karena kamu tahu aku sangat pemalu. Jadi biarkan aku bicara melalui recorder ini agar aku tidak perlu malu untuk mengucapkannya lagi. Mungkin kau akan terus menutup hati itu untuk orang lain, tapi ketahuilah.. dengan menjelaskan dirimu yang seperti ini dengan wanita lain seperti kau bercerita padaku, mereka akan mengerti. Dan percaya, mereka akan menyayangimu dengan adanya dirimu yang seperti ini. Seperti aku yang senantiasa menjadi telingamu. Mungkin dengan terbukanya dirimu dengan keluargamu yang baru, kau akan menemukan momen yang sempat hilang selama 12 tahun ini. Seperti aku yang senantiasa kau tunjukkan dirimu yang sebenarnya, dan aku yang tidak pernah berusaha lari dari itu. Mungkin dengan hadirku disini, sebagai manusia yang paling banyak kurangnya dalam hidupmu, dan banyaknya kurangnya dirimu juga dalam hidupku. Seperti dalam tenangnya ulang tahunmu yang ke-20 ini, kita masih akan terus memberi percikan kejutan satu sama lain dan masih bisa saling tersenyum bersama, berdua. Jadi.. semoga kau terus bahagia. Dan tentu saja, salah satunya bahagia bersama sahabatmu yang paling pandai menyusahkanmu.. Salam." 
Recorder selesai. Jantung ini masih bergedup kencang. Dari samping aku merasakan dia yang masih menoleh padaku. Aku memberanikan diri menoleh dan melihat kedua matanya. Aku memberi senyum padanya dimana dia juga memberi senyum hangat yang selalu terlihat di mataku. Setidaknya untuk saat ini, aku percaya. Seperti pada lirik lagu yang menemaniku menyiapkan kejutan kecil ini, 
"..we found love right where we are.."
Tepat malam itu. Aku merasakan momen yang seharusnya aku harapkan dari orang lain yang jauh disana, orang yang amat kusayangi daridulu dengan syarat. Tapi disini, malam ini. Aku menyadari orang ini yang selama ini benar ada didepan mata, dan tidak kusadari-- benar-benar tanpa syarat kusayangi..





Slightly Watching, Deep Understanding

Jumat, 27 Februari 2015


"Semua seakan tertumpah dimangkuk kecil ini. Kuah sup putih telur didalamnya yang tinggal setengah lagi ini datar menampilkan bayangan wajahku yang samar. Kulirik kesebalh kiri, jam tangan hitam kusangku menunjukkan pukul setengah delapan dengan jarum detik yang bergerak konstan. Aku sekejap menyenden kembali di meja, menutup mata menahan amarah kecilku. Lalu membuka mataku dengan posisi kepala menatap atap ruangan. Kini restoran mungil kesayangan kami ini sudah lumayan penuh pengunjung. Dari pria-pria kantoran dengan tas pundak coklat seraya membaca koran dan meneguk kopi serta roti bakar yang belum tersentuh untuk dimakan, ocehan wanita yang menyuruh anaknya untuk sarapan dan beberapa pengunjung sepertiku.. sedang menunggu seseorang.

Aku meluruskan gaya dudukku dan meneguk susu putihku lalu memandang kursi didepanku yang kosong dengan sup putih telur yang masih penuh, roti dengan selai kacang, serta air putih yang belum tersentuh. Aku menelan ludah, menahan air mata yang hampir menggenag dimata. Rupanya hari ini tidak perlu diramalkan kembali, aku tahu dia tidak akan datang, seperti biasanya. Aku berdiri beranjak memakai mantel coklat dan memeluk tas mungilku lalu meninggalkan uang disebelah piringku. Lalu pergi. Jalanku cepat, tapi aku bisa merasakan langkah berat diriku sendiri. Berusaha menahan air mata yang, lucunya, terlihat memalukan jika harus menangis. Mengatur nafas lalu berjalan normal."

Diwaktu yang sama, seorang pria menatap jalan raya, melihat langkah wanita yang beberapa saat lalu pergi dengan cepat dan meninggalkan meja makannya dengan makanan yang masih belum tersentuh. Dia terdiam lalu lanjut menggambar dengan sketsanya. Bukan hal yang langka, tapi hari ini bukan hari wanita itu datang untuk pertama kalinya, dalam benaknya..

"Hari itu, setelah dua hari kunjunganku yang terkahir di cafe mungil itu. Aku dengan langkah berani berjalan masuk kedalamnya. Kali ini aku memesan dua air putih, aku merasa tidak perlu makan hari ini. Durasi perkiraan waktu di kepalaku seakan sudah menjadwal bahwa hari ini hanya sebentar, dan sepertinya, untuk yang terakhir aku akan berkunjung kemari. Aku duduk ditempat yang sama, tidak melepas mantelku dan menaruh tas mungilku dipaha. Aku memandang jalanan berharap melihatnya lewat dan melihatku. Lalu mata ini bergerak beberapa centi dari kaca cafe dan melihat seorang pria duduk tenang sedang sibuk dengan kertasnya. Wajahnya terkena pantulan sinar pagi, aku hanya melirik sebentar dan seketika dia menoleh lalu mata kami bertemu. Aku segera menunduk bahkan sebelum aku berkedip. Aku terus menunduk sampai aku menyadari seseorang duduk didepanku. Aku terus menunduk, dan entah mengapa semua terasa konyol. Hari demi hari menunggu sesuatu yang bisa dengan mudahnya datang kapan saja ia mau, diri terasa mengoreksi keganjilan yang tidak seharusnya ada. Lalu aku menaikkan wajahku dan menatap matanya. Wajah yang sama seperti yang aku lihat setahun lalu, pertemuan janji kami disini, tepat ditempat ini dengan posisi duduk yang sama. Aku melihat wajahnya, turun ke pundak, memperhatikan garis lurus pundaknya dengan mantel biru dongkernya, melihat sedikit debu diatasnya dan tersenyum sedikit, melihat dua kancing pertama yang tertutup di mantelnya sedangkan sisanya sengaja tidak ditutup, benar-benar khas dia yang kuhapal betul bahkan sampai saat ini. Mataku terus meraba dan tanpa disadari mataku kabur dengan air mata yang tidak turun sebagai salam pertemuan sejak satu tahun kami berjanji untuk bertemu kembali. Dan pandangan mata ini terhenti, dibalik jarinya, jari manisnya, melengkung sempurna cincin perak dengan ukiran sederhana, aku melengkungkan alisku dan melihat matanya. 
Dia memandangku dengan orehan wajah yang dalam. Aku tersenyum kecil, menahan air mata yang siap keluar. Dengan mengatur posisi duduk dan menampilkan wajah sebaik mungkin.
"Selamat ya." Kataku sembari tersenyum. Dia hanya mengangguk tersenyum. Aku tertawa dan meneguk air putihku kembali. 
"Aku minta maaf, aku lupa harus kemari. Kau tahu? Banyak yang harus dilakukan." Katanya ringan. Aku tersenyum.
"Tentu saja, aku tahu. Sibuk sekali pasti.."
Kami berbincang renyah. Seakan teman lama yang bertemu kembali. Dia bercerita perkawinannya, dan bagaimana dia tidak mengundangku karena terlalu jauh dari rumahku dan tahu bahwa aku tidak mungkin diperbolehkan oleh orang tua angkatku bepergian sejauh itu, bagaimana rencana kepindahan mereka, dan rasa tidak percayanya dia bahwa akhirnya akan menikah dengan wanita itu.
"..maksudku. Kau tahu kan bahwa semua memang dari awal adalah akting? Kau sahabatku. Aku tidak tahu harus bercerita kepada siapa lagi... tapi kau tahu kan? Benar-benar tidak disangka akan begini. Aku yang denganmu hanya sebatas pengalih perhatian saja. Dan dia yang rupanya memperhatikan aku seperti aku juga memperhatikan dia.. ajaib sekali bukan? Bukannya dunia ini sukar ditebak? " Katanya sembari memasang wajah tidak percaya sekaligus bahagia. Aku tertawa renyah padanya. Setuju.
"Dia benar-benar cemburu padamu. Kau tahu? Tidak ada yang bisa dekat sebagai teman sebaik kau padaku. Dia menitip salam padamu, asal kau tahu.." Katanya lagi. Aku tertawa lebar.
"Kirimkan salamku untuknya. Aku akan berkunjung kalau sempat." Kataku meyakinkan.
"Harus. Beritahu aku, aku akan menjemputmu nanti." Katanya. Dia berdiri dari kursinya dan meluruskan lipatan mantelnya. Aku juga ikut berdiri, lalu dia ke kasir dan membayar pesanan kami. Aku mengikutinya sampai keluar hingga di depan cafe. Dia berbalik dari melihatku, memandangku lama sekali dengan mata kecoklatan terlihat jelas terpantul matahari pagi. Seketika dia menarik tubuhku dan memelukku, lama. Aku menepuk punggungnya dan terus berdoa didalam hati untuk tidak menangis, untuk terus tidak terlalu mengambil momen ini. Dalam pelukan kami, dia bertanya.
"Kau tidak benar-benar menunggu di cafe ini seperti janji hari itu kan?." katanya lembut. Aku terdiam, air mata ini tidak menepati janjinya, dia terus turun selama tubuh ini masih didalam pelukannya. Aku masih tidak menjawab. Dia terus memelukku, entah bagaimana dunia ini terasa sangat lucu menunjukkan jalan kecilnya bagiku. Dalam hati aku menyimpulkan bahwa pelukan ini memberikanku waktu untuk menjawab, tanpa harus melihat matanya, tanpa harus menangis konyol didepannya.
"Tentu saja tidak. Hari ini tepat kita terakhir bertemu, setahun lalu. Firasatku bilang kau akan datang. Dan memang benar.." Kataku pelan. Dia mempererat pelukannya, dan berbisik ditelingaku.
"Maafkan aku." Aku sekali lagi menitikkan air mata kecil ini. Beban hati terasa tumpah di pundak ini, pundak yang senantiasa menemani sebagai sosok laki-laki nomor satu didunia bagiku, aku tidak pernah mengenal ayahku semenjak kejadian yang merubah segalanya dalam hidupku, tapi sosoknya bagai ayah bagiku, sosok yang kucintai, kusayangi, kuhormati. Sahabat nomor satu bagiku, dan juga..
"Terima kasih sudah mau datang." Kataku pelan. Dia melepas pelukanku dan tersenyum melihatku. Tangis ini terhenti tepat dia melihatku, terkontrol mengingat sudah sesering apa aku menunggu ditempat ini dan terus menangis setelahnya. Dia melambai tanganku dan berbalik pergi.  
Aku masih terus melihat punggungnya yang berjalan menjauh. Dan tanpa harus kuawali, air mata ini turun begitu saja. Aku benci harus mengakuinya. Tapi dalam diam, dalam segala momen dimana kami berdua menghabiskan waktu bersama, aku benar-benar menginginkannya. Dan secara nyata, rupanya dengan keinginan itu, akulah yang memang harus melepasnya.."

Pria itu memperhatikan dalam diam. Wanita itu tetap diam diluar, memperhatikan sesuatu yang sudah jauh berjalan. Dari samping, rautan wajah itu nampak hilang. Bukan wajah yang dibaca oleh pria itu, tapi momen dimana hal sesederhana seperti perpisahan tidak akan membuat dunia berhenti menunjukkan takdir lainnya. Ketika sebentuk kasih yang harus rela terlepaskan demi seutuhnya kebahagiaan hingga menimbulkan kehilangan yang amat dalam. Dan dalam diam, pria itu memahami. Bahwa tidak selamanya apapun yang kau simpan akan selamanya baik-baik saja. Ada kalanya suatu ketika, .. kau harus bicara. Setidaknya lebih dahulu jujur pada diri sendiri. Maka dengan ini kau akan paham bagaimana dunia menunjukkan jalannya padamu.



 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS