Kami bergegas lari, setelah karcis tiket kami lolos dari pengawasan dan jam stasiun berdenting tajam 3 kali, kami hanya punya 2 dentang lagi sebelum kereta berjalan. Tapi kami berdua masih berlari konyol, sembari tertawa memegang tas bawaan kami, sore itu sehabis hujan dan udara terasa sejuk nyaman dengan ditemani rintik hujan kecil. Kami berhenti di depan gerbong dan dia menyuruhku masuk lebih dulu dengan gaya tangan mempersilahkan, dalam hati bergumam "hah yang benar saja.." aku menaiki pintu gerbong tanpa undakan dan itu terasa sulit bagiku mengingat badanku yang cukup mungil untuk ukuran wanita dewasa. Dia mengambil satu tas berat ditangan kiriku yang, .. yaa bisa dibilang mengusahkanku untuk masuk. Setelah sudah didalam, dia menyusul dibelakang dan kereta tepat berjalan. Kami menghela nafas lega di pertengahan peron, kami menyenden berhadapan dan memandang satu sama lain lalu tertawa lagi. Dia menyalurkan tanganku meminta tiket kami, setelah kuberikan dia memimpin jalan dan kami mulai mencari tempat duduk.
Setengah perjalanan kami isi dengan mengobrol berat. Mengenai rencana kuliah setelah ini, bagaimana kami akan menghabiskan waktu liburan, ajakan untuk traveling bersama. Dan siapa sangka, ini pertama kali kami pulang bersama dimana dia akan mampir ke kota asalku. Aku menghela nafas sebentar setelah perbincangan panjang kami, kucek jam tangan di tanganku dan waktu menunjukkan pukul enam lebih. Aku menoleh melihatnya, dia menutup matanya mencoba untuk tidur. Aku tertawa meringis dalam diam lalu menoleh kearah jendela kereta, memperhatikan langit yang kini sudah menampilkan gradasi warnanya. Seakan matahari melepas keberadaannya dengan digantikan biru gelapnya langit malam, awan putih mengepul siaga dilangit-langit angkasa. Sayang sekali aku tidak ada kamera untuk menyimpan gambar itu. Seketika mataku tertuju menuju bungkusan tas persegi dibawah kakiku. Jantung ini berdegup sedikit cepat, aku selalu ceroboh dalam melakukan kejutan, mungkin beberapa berhasil dengan bantuan orang-orang. Seperti ulang tahun ayah atau keluarga yang memang kami atur bersama. Kali ini, aku sendirian, dan kali ini tidak boleh gagal. Ingatku dalam hati.
"Tidur?." Kataku menyenggol lengannya. Dia membuka mata dan refleks melihatku.
"Belum. Kenapa?." Katanya. Aku mengernyit, berpikir.
"Hm.. sudah berapa orang yang menelponmu hari ini?." Dia melipat alisnya yang tebal hingga seakan segaris.
"Memang segitu banget ya?." Katanya sembari membuang muka. Aku sedikit terkejut.
"Ibumu? Ayahmu?." Tanyaku lagi, heran. Dia melihatku keheranan.
"Hanya sebatas sms saja. Mereka tidak heboh. Memangnya kamu?." Katanya sedikt tertawa. Aku sedikit tersinggung mendengarnya.
"Aku?." Kataku menekankan suara. Dia sedikit siaga, seakan menungguku meledak.
"Iya. Aku kan laki-laki, memang harus dengan dikirimin makanan dan paket segala?." Katanya lagi. Wajahnya tenang, mencairkan suasana. Aku terdiam cukup lama.
Dia mengenakan headsetnya dan mulai mendengarkan lagu. Aku membuka buku favoritku dan membaca. Kami mulai lunglai dengan kesibukan masing-masing. Aku mengingat dia pernah bercerita bahwa pada hari kelahirannya, saat itu ibunya belum meninggal dan adiknya belum ada. Ibunya selalu menyiapkan makanan favorit dia, ayam kaldu dan pepes terong. Dia bercerita bahwa pepes terong bikinan ibunya benar-benar tiada dua, sungguh aneh membayangkan wajah pria seperti dia yang dikagumi hampir wanita satu jurusannya memiliki selera kedesa-desaan. Dan dari ketidak warasan kami dalam menilai masing-masinglah yang membawa kami menjadi sahabat karib selama masa awal perkuliahan. Saling membantu satu sama lain walau jurusan kami berjauhan, ocehan cerewet dia dalam mengomentari kendaraanku yang kotor tidak pernah kubersihkan, dan ya.. pada akhirnya dia yang turun tangan membersihkannya, lalu kebiasaan dia yang belajar untuk ujian H-12 jam bahkan dengan sks lebih dari 4 adalah malapetaka yang sulit kubayangkan. Dia dengan lagak bijaksananya menjelaskan bahwa dengan belajar terlalu giat dari kapan lalu akan merusak sel otak karena terlalu sering dipikirkan, sungguh bukan teori biologis yang masuk akal dalam pengalaman pendidikan manapun yang pernah kuketahui. Tapi lucunya, nilai kami selalu balapan, dengan jangka waktu belajarku yang lebih panjang dari dia, dia bisa dengan santai seakan berjalan bersebelahan denganku, ya.. setidaknya dalam hal akademik. Aku menyenggol dia lagi, dan dia menoleh padaku seraya membuka headsetnya. Menungguku bicara.
"Memang tidak ada wanita spesial yang memberimu selamat?." Kataku langsung pada inti. Dia menatapku sedikit lama dan akhirnya menggelengkan kepala. Aku menyiasati mencoba menyalurkan pandanganku padanya.
"Mungkin kau yang tidak peka..." Kataku.
"Memangnya aku harus begitu?." Katanya menskak ku. Demi Tuhan.. aku merasa terserang dengan ucapannya. Aku tertawa kecil.
"Aku hanya bertanya."
"Itu bukan tanya, itu memberi anggapan." Katanya singkat. Aku diam, dalam hati menyumpah serapah seandainya jika laki-laki ini bukan sahabatku mungkin aku sudah berbohong dan pergi lalu memutuskan duduk dengan penumpang lain.
"Ya oke. Aku hanya penasaran." kataku akhirnya. Kami duduk dalam diam, kini aku menggunakan headsetnya dan dia sibuk berdiam diri, menatap kosong kedepan. Tiba-tiba dia menyenggol lenganku dan melihatku. Aku membuka headsetku dan menunggunya bicara.
"Aku tidak pernah baik didepan wanita. Mengambil langkah untuk memiliki hubungan, tau kan? Dengan kekakuan kita nanti, haha lucu membayangkan jika aku akan begitu nanti. Semua terjadi semenjak apa yang dilakukan ayahku padaku, pada ibuku. Maka dari itu, sejak ibuku meninggal disaat aku masih sekolah dasar, dan aku harus tinggal dengan ibu angkat dan anak-anaknya. Kau tahu kan? Usaha ayahku untuk keluarga barunya, untuk adik-adik angkatku dan istrinya. Seakan aku hanya menumpang jika pulang nanti. Mungkin itu alasan aku takut mengambil hubungan, harus menemaninya belanja, membelikannya hadiah ulang tahun, membayari dia makan.." Lalu dia diam. Aku masih menatapnya.
"Aku merasa belum layak." Katanya mengakhiri.
"Jadi selama ini..?."
"Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Terakhir aku merayakan ulang tahun ketika umurku 8 tahun, bersama ibuku."
Katanya singkat. Aku masih menatapnya. Dia kini kembali ke posisi duduk semula lalu kembali menatap kedepan, menonton tv kereta api. Dengan ucapannya yang seakan menskak ku tadi, dan bagaimana dia menjelaskan mengapa dia begitu. Aku merasa sedikit guncangan di hati kecil ini, mengingat bagaimana perlakuan dia padaku sebagai teman. Mengingat wajahnya yang basah kuyup kehujanan dan menjemputku didepan mall sehabis aku menonton dengan kakak tingkat, usahanya yang lari dari ruang kuliah menuju lapangan kampus demi melihatku pertanding karate di perlombaan, dan yang senantiasa mengirimkan obat alergi jika aku tiba-tiba kambuh di kelas. Aku menoleh memandangnya lagi. Lagu yang menyala di telingaku seakan memberi makna.. "..people fall in love in mysterious ways.."
Aku berdiri dan membawa tas persegi disebelahku lalu berjalan menuju gerbong sebelah, masih memakai headsetku. Setelah sekiranya jauh dari dia. Aku membuka bungkus persegi dan membuka sebungkus puncake coklat dengan butiran keju meleleh diatasnya. Lalu menggoroh tas tersebut dan menemukan sepotong lilin merah yang sudah terpakai, kebetulan bekasku ketika aku berulang tahun. Aku terdiam, merasa bersalah hanya memberikan kejutan kecil untuknya. Lalu secara tiba-tiba tangan ini mengambil handphone disaku dan mulai sibuk melakukan sesuatu dengannya....
Malam itu pukul 9, setelah perberhentian terakhir di sebuah stasiun. Kini jendela hanya menontonkan gelapnya malam dan sunyinya gerbong karena banyak penumpang tertidur. Aku berjalan perlahan dari belakang hingga beberapa centi lagi dibelakang dia, salah satu headset kupasangkan ditelinga kanannya karena itu yang dapat kujangkau. Sebuah lagu menyala menyanyikan lagu selamat ulang tahun yang tak lain adalah suaraku yang kurekam ketika aku masih digerbong makan. Dia melihatku berjalan membawa pancake coklat dan sebatang lilin merah diatasnya. Dia berdiri dan memberiku waktu untuk tersenyum padanya. Wajahnya tak terbaca, entah dia terkejut atau mungkin tidak menyukainya. Aku berjalan menuju tempat dudukku, lalu menghadap padanya hingga lagu ulang tahun dalam headset kami terhenti. Dalam bisikan, aku menyuruhkan meniup lilin secepatnya karena ini didalam gerbong ber-AC. Dia tertawa lalu melalukannya dan seketika mencabut lilin itu dan menaruh disakunya, jaga-jaga agar asapnya tidak keluar terlalu banyak. Aku tertawa tanpa suara, begitupun dia.
Kue pancake mungil yang tadi utuh kini sudah setengah dimana kami memakannya bersama. Headset masih terpasang tapi tanpa suara. Lalu dia berbisik.
"Takut penumpang lain bangun?." Katanya pelan. Aku tertawa.
"Aku tidak berani mengajak mereka bekerja sama denganku untuk ramai-ramai nyanyi buat kamu." Kataku polos. Dia tertawa, lalu tangannya mengacak-acak rambutku. Sampai aku menyadari ada yang tertinggal saat itu. Aku duduk tegap dan membuka headphone lalu menyalakan history recorderku.
".. Selamat ulang tahun! Aku bingung harus melakukan apa untuk kejutan ini. Dan harus semeriah apa. Jadi.. mau dimaafkan kan jika hanya begini saja? haha.." Dalam sunyi kami mendengarkan, dia menyadari suaraku lalu menoleh melihatku dari sebelah. Dan tentu saja, aku tidak menoleh padanya saat itu.
".. aku tidak akan mengatakan hal ini untuk kedua kali melalui mulutku. Karena kamu tahu aku sangat pemalu. Jadi biarkan aku bicara melalui recorder ini agar aku tidak perlu malu untuk mengucapkannya lagi. Mungkin kau akan terus menutup hati itu untuk orang lain, tapi ketahuilah.. dengan menjelaskan dirimu yang seperti ini dengan wanita lain seperti kau bercerita padaku, mereka akan mengerti. Dan percaya, mereka akan menyayangimu dengan adanya dirimu yang seperti ini. Seperti aku yang senantiasa menjadi telingamu. Mungkin dengan terbukanya dirimu dengan keluargamu yang baru, kau akan menemukan momen yang sempat hilang selama 12 tahun ini. Seperti aku yang senantiasa kau tunjukkan dirimu yang sebenarnya, dan aku yang tidak pernah berusaha lari dari itu. Mungkin dengan hadirku disini, sebagai manusia yang paling banyak kurangnya dalam hidupmu, dan banyaknya kurangnya dirimu juga dalam hidupku. Seperti dalam tenangnya ulang tahunmu yang ke-20 ini, kita masih akan terus memberi percikan kejutan satu sama lain dan masih bisa saling tersenyum bersama, berdua. Jadi.. semoga kau terus bahagia. Dan tentu saja, salah satunya bahagia bersama sahabatmu yang paling pandai menyusahkanmu.. Salam."
Recorder selesai. Jantung ini masih bergedup kencang. Dari samping aku merasakan dia yang masih menoleh padaku. Aku memberanikan diri menoleh dan melihat kedua matanya. Aku memberi senyum padanya dimana dia juga memberi senyum hangat yang selalu terlihat di mataku. Setidaknya untuk saat ini, aku percaya. Seperti pada lirik lagu yang menemaniku menyiapkan kejutan kecil ini,
"..we found love right where we are.."Tepat malam itu. Aku merasakan momen yang seharusnya aku harapkan dari orang lain yang jauh disana, orang yang amat kusayangi daridulu dengan syarat. Tapi disini, malam ini. Aku menyadari orang ini yang selama ini benar ada didepan mata, dan tidak kusadari-- benar-benar tanpa syarat kusayangi..