Let's Embrace the Reality, eh?

Kamis, 12 Juni 2014

Aku mencabut pena di sakuku, menorehkan ujungnya pada kertas putih. Sepersekian detiknya diam membeku tanpa angan dan bayangan akan menuliskan entah apa. Matahari masih muncul menghiasi langit dipenutup hari. Deru kendaraan dipadukan klakson, suara bising dari mulut-mulut yang bicara, langkah kaki yang berjalan seakan meninggalkan waktu yang tersisa, dan langit bagai jam transparan yang jarumnya terus bergerak seirama dengan setiap kedipan mata. Ini bukan khayal, karena aku pernah mengalaminya. Selama sepersekian detik itu aku merasa hampa, bukan hanya merasa kosong atau hilang, tapi hampir merasa tertinggal.

Bagaimana bisa aku melupakan irama jantung ini berdegub kencang, andrenalin bergerak bak tangki air memanas menunggu hasil yang selama ini hanya ada dalam impian. Hanya sepersekian persen manusia didunia menginginkan masa depan yang tidak baik, sisanya tentu mereka menginginkan hal yang jauh lebih baik. Berderet-deret manusia dalam imajinasi seorang anak berumur 8 tahun ketika ditanya ingin menjadi apa. Dokter, insinyur, penyiar televisi, artis, polisi, bos, penasehat, psikolog, direktur, ilustrator, arsitek, disainer, hakim, dll. Wajah-wajah impian mereka ketika dewasa nanti.

Tapi aku masih ingat masa ketika kaki ini berlari-lari kecil dan mempersiapkan kalimat yang seandainya akan terucap dikala mereka bertanya padaku. Wajahku binar, berharap ini adalah langkah awal yang baik. Diwaktu lain, seorang pernah memberi nasihat padaku. "Dunia ini terlalu rumit bahkan pilihan pun tidak ada akhirnya, tapi ada satu yang berakhir, yaitu ketika kau menyerah, ya-- benar-benar menyerah sampai tidak tahu harus bagaimana lagi." 

Tanganku menyentuh daun pintu perak itu, jantungku masih berpicu dan aku menarik nafas panjang seraya membukanya. Seorang wanita perawakan keibuan duduk tenang, wajahnya berpacu pada kertas dimana ia menuliskan sesuatu disana. Dia mendongak dan menyadari keberadaanku. Dia tersenyum dan membuka kaca mata perseginya, lalu mempersilahkanku duduk. Aku berjalan tenang dan duduk dengan pelan. Mulutnya bergerak dan menafsirkan kalimat-kalimat yang buatku terdiam, adrenalin yang tadinya membuatku beku kini mencair, nafasku mulai teratur lagi, tapi mata ini secara tidak disuruh memberikan pandangan kecewa. Aku gagal.

Bukan pertama kali aku merasa begini, hari itu ketika aku merasa satu langkah lebih dekat lagi, aku justru mundur beberapa langkah dibelakang. Waktu mundur kembali ketika malam yang dingin ditemani hujan rintik-rintik dikamarku yang sunyi, aku bercerita panjang mengenai apa yang kulalui, apa yang sudah kupilih. Dan dia diam, aku menunggu respon ataupun kata yang muncur di layar leptop, dan sebuat kalimat muncul "lucu sekali, bahkan dirimu sendiri tidak tahu siapa dirimu." Sesuatu membalikkan halaman yang kini tertorehkan pena dan pensil yang tercoret sana-sini.

Aku ingin memperbaiki hari itu. Bukan untuk siapapun, tapi untukku. Aku rindu harapan dan mimpi yang kata 'orang-orang besar' adalah sesuatu yang tidak akan mati. Kisah dimana editor menolakku untuk yang pertama kali dan ucapan yang kini tergiang dari sahabatku paling nomor satu didunia dimana ia berkata aku terlalu jauh dari jalan yang seharusnya.

Satu lagi, untuk semua anak yang berusia 8 tahun dengan cita-citanya, dan untuk anak yang 11 tahun lalu pernah ditanyai gurunya ingin menjadi apa, dan dia menjawab "Saya mau jadi penulis, saya tidak mau terkenal. Saya hanya ingin menjadi penulis, agar buku saya bisa dikenang."

Dan pena itu kini menari-nari di kertas, menorehkan angan dan kisah masa lalu yang hampir hilang dimakan debu-- hilang direbut kondisi dan tuntuan tak pasti. Tapi dibalik itu, aku masih belum menyerah, bahkan diantara pilihan yang berderet rapi dihadapan.

Sore itu, diantara semua kondisi yang ada ini, aku masih disini. Setidak begitu.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS