Ranah senyum itu, aku tidak pernah melihatnya hingga semalu begini. Jarak menentu yang memisahkan jiwa ini bagai riak sungai satu dengan lainnya, berjauhan tapi seirama. Sesekali mata ini bertemu dan dalam sekejab itu pula harus melempar pandang kembali. Diskusi renyah ini terasa hangat dan penuh, ada tawa, sekelebat topik yang dibicarakan, adu mulut yang berbobot, sunyi senyap dalam diam karena memikirkan kata-kata magis apa lagi yang akan mengejutkan. Malam itu terasa lengkap, setidaknya dengan diam aku mengakari kata-kata yang dalam sekejab dapat merubah suasana ini menjadi sunyi bak pemakaman.
Aku belum pernah, sekalipun lupa bagaimana jiwa ini pernah berteduh di sebilah hati dan kasih sayang yang pernah ada. Bagaimana bentuk dan sebungkus bahagia itu tersimpan rapi dan selalu bersih dari debu kekosongan. Aku tidak pernah sendiri, bayang-bayang yang mengikuti bak dewa yang selalu ada dan merengkuh jiwa, dan tanpa disadari dibalik gelap itu menyembunyikan keputusan yang tidak selamanya ada. Karena terkadang manusia memilih keputusan yang baik bagi dirinya tanpa tahu apa yang akan terjadi kelak.
Tapi keadaan merubah, kedua kaki ini melangkah menuju jalan yang tidak pernah terpikirkan. Dimana orang-orang baru, suasana baru, keputusan baru, diri yang baru. Dalam sebingkai hal-hal baru itu aku menemukan setitik hitam, membentuk bayangan baru, seseorang yang baru. Seseorang yang datang dalam diam, dalam tenangnya, dalam hal-hal yang luar biasa sepele dan tidak diduga. Walau hanya setitik hitam, aku belum pernah sekalipun bertemu manusia hitam itu. Benar-benar hitam, sampai-sampai aku hanya dapat membayangkannya dalam gelap. Waktu yang tertumpah hanya singkat, sesingkat matahari tenggelam diufuk timur sana. Sungguh rana yang indah, pemandangan bak surgawi dunia, tapi hanya sedetik saja lalu hilang ditelan gelapnya malam.
Sungguh sederhana, amat sederhana. Bagaimana setitik hitam itu terbungkus dengan indahnya dalam ruang jiwa. Manusia yang tidak pernah kuduga tiba dalam diam, dalam kesederhanaannya, dalam renyahnya tawa dan canda yang diciptakannya, aku benar-benar merasakan sesuatu yang sederhana dalam hal kasih sayang. Sekelebat cara untuk lari dan sembunyi, hingga keadaan yang tidak mempertemukan, akan tetapi dalam keadaann itulah aku percaya, bahwa hati manusia tidak pantas dikurung dalam kesengsaraan menahan kata. Karena suatu saat kita hanya bisa berucap sebelum waktu tidak mengembalikan kesempatan itu kembali. Biarkan pena menari diatas kertas putih, biarkan dia berteriak, biarkan dia menangis, biarkan dia jatuh cinta, karena hati tahu kemana harus menumpahkan seluruh luru lara-nya.
Suatu hari disore yang gelap, awan abu-abu hampir menutupi langit yang terang, suara guntur nun jauh disana mengiringi langkah berat kami. Aku berjalan pelan dibelakang, menatap awan gelap mulai menutupi hampir setiap inci pandanganku di angkasa, mengayomi desir angin dan dinginnya sore itu. Dia hanya berjalan ringan didepan, wajahnya tidak menoleh sekalipun dan hanya menatap kedepan. Aku mengamati dalam diam, sesekali berpikir, 'apa yang ada dipikiran manusia ini?'. Sungguh, itu adalah pertanyaan yang terlintas setiap detik sebelum bibir ini mencoba membuka pembicaraan. Mencoba sok seru walau tahu akan gagal nantinya. Tiba-tiba dia bicara tanpa menolehkan wajahnya, membuka pembicaraan setelah sekian lamanya kami terdiam dalam keadaan galau ini.
"Mau hujan ya?." Katanya tenang sembari menatap langit. Aku mengangkat alis dan menatap langit yang sedang dipandanginya.
"Hmm.." Kataku singkat, masih memandangi langit diatas sana. Wajahnya seketika menoleh sebentar, menatap wajahku dengan datar penuh arti, dan tampa disuruh pun aku tersenyum memasang ekspresi bercanda.
"Iya, mau hujan." Kataku meralat kembali. Dia kembali menatap jalan didepan dan mulai berjalan cepat. Aku tersenyum kecil. Dalam hati membisikkan betapa lucunya sore ini, betapa konyolnya diriku membaca semua ini, betapa polosnya langit diatas kami yang menemani kami sejak tadi, dengan waktu yang kami lewati bersama ini.
Kembali ke waktu saat ini. Dimana kami duduk tidak begitu berjauhan, mata kami yang sesekali bertemu dan obrolan hangat yang kami lalui. Saat matanya menceritakan sesuatu dengan tatapan yang optimistik, dengan gerak tangannya yang tegak menjelaskan, dengan suaranya yang renyah seraya berkomat-kamit lancar dengan opini di kepalanya yang genius. Aku tahu, aku benar-benar tahu. Akar pembicaraan yang kurangkai itu justru akan menghancurkanku sendiri, akan membuatku jatuh dan terasa jauh. Sungguh aku benci harus berucap selamat tinggal, membayangkan menatap matanya walau terkadang hati menjawab tidak akan terbaca apapun dari mata itu kembali. Akulah yang selama ini tersiksa, dan akulah yang selama ini menikmati, akulah yang lari, dan akulah yang kembali pula, dan akulah yang selalu melihat tanpa harus terlihati.
Aku menolehkan wajahku dari pembicaraan, menatap kembali jalanan diluar tempat kami sedang berkumpul. Terdiam sejenak dan mencoba melampaui pikiran, aku benar-benar sengsara. Teringat setelah pertemuan di sore yang hujan itu, aku menembus titik-titik hujan seraya memeluk tas gendongku. Menatap langit sepanjang perjalanan. Wajah dan badan ini basah kuyup. Aku berbisik dalam hati. Aku telah mengagumi seseorang dengan kesederhaannya, dengan kegeniusannya, dengan kelakuannya, dengan apapun mengenai dia yang terlintas dalam setiap gerak-geriknya. Dan dalam setiap tabu yang kudapat, aku telah menemukan dan mengenal titik hitam itu, aku jauh mengenalnya sekarang, aku ingin menghiasi titik hitam itu di kertas putih yang kugenggam. Tapi rana hitam itu pada akhirnya hanya bayangan, bayangan yang tidak akan pernah bisa kuraih, hanya bisa kupandang. Tidak bisa kunikmati hanya bisa dibayangi. Tidak bisa dicintai hanya bisa mencintai.