The Theory

Minggu, 02 Juni 2013




Aku melihat dia berjalan menuju kampusnya saat aku duduk dengan buku teorema astrofisikaku. Rambutnya tergerai panjang, berwarna hitam kepirang-pirangan, dengan poni lurus menggantung di atas matanya. Wajahnya lonjong tajam, matanya menilaikan keturunan Indonesia-Mongol, tapi tidak dengan warna kulitnya yang sawo matang. Hari itu dia mengenakan jaket hijau tentara dan kemeja ablos warna merah maroon dipadu dengan celana jeans yang bagian ujungnya dilipat sehingga menampakkan mata kakinya dan sepatu convers hitam, sesuatu menggantung sempurna di lehernya, sebuah kalung berbentuk bintang kecil. Mata kami sempat bertemu ketika aku sadar belum sampei 5 setengah detik dia berpaling meninggalkan mataku yang masih mengawasinya.

Bukan persepsi mata-mata yang buatku memperhatikan dia sedetail itu. Aku sering berpapasan dengan dia ketika duduk dikursi favoritku di belakang kampus untuk membuat aransemen lagu baru di bandku. Dia duduk disana, beralas rumput, sendirian, mengikat rambut panjangnya lalu mendengarkan musik seraya membaca buku sejarah dunia. Aku tidak tahu harus berapa kali aku melihatnya membaca buku itu, sedangkan aku tahu dia adalah mahasiswi ilmu fisika. 

Dari semua kesempatan dan waktu yang dengan tidak sengaja mempertemukan kita, aku mengenal gadis itu dengan seiring waktu yang buatku penasaran padanya, walau tidak pernah bicara secara langsung, aku tahu siapa namanya, Sera. 

Pagi itu aku berjalan menuju kelasku seraya mengalungkan gitar kecil di pundakku. Pelajaran pertama adalah Kalkulus IIA, aku tidak begitu suka matematika, tapi untuk melonjak sampai astrofisika aku harus menyelesaikan hingga semester 1 lagi. Bukan hal yang mudah, tapi terkadang waktu menipu karena 1 tahun bukan waktu yang lama. 

"Ren, nanti jadi latihan kan?." Seseorang menepuk pundakku lalu aku menoleh dan melihat kawanku, Andre. Kami sudah berteman lebih dari 3 tahun, dan kini kami bekerja sama di satu band yang sama.
"Jadi dong, entar gue latihan sebentar ya.. biasa..." Kataku mengoreh senyum nakal. Andre menggelengkan kepala.
"Dibelakang kampus lagi? Please ye.. lu punya studio, Re." Katanya heran. Aku menggelengkan kepala.
"Inspirasi paling murni itu berasal dari alam bro." Kataku bijak.
"Ya terserah. Jam 3 lu kudu di studio, bawa ini juga nih..." Tangannya menepuk gitar kecilku.
"Jagoan kecil lo." Katanya melanjutkan sambil tersenyum memberi semangat,
"Pasti." Kataku mengangkat jempol kiriku. 

Aku berjalan memasuki kelasku dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Dosen menerangkan, mahasiswa mencacat, sebuah siklus perkuliahan yang tak ada habisnya sampai kau wisuda. Oh tidak, kurasa siklus ini bakal terus berlanjut hingga akhir hayat, karena manusia itu punya 2 tugas yang memang harus dilakukan, kalau tidak mendengarkan, ya berbicara. 

Ketika jam menunjukkan pukul 1 siang aku memutuskan meninggalkan kelas dan berjalan menuju belakang kampus. Dalam perjalanan banyak gadis menyapaku dan mengatakan hari ini aku terlihat luar biasa, entahlah aku tidak mengerti apa yang dipikiran gadis-gadis itu, tapi sebagai kaum adam aku puas dengan penilaian itu. 

Aku berhenti sebentar dan menemukan sudah ada penghuni lain yang mendahuluiku hari ini. Sera duduk bersilang kaki dan sedang mendengarkan lagu melalui earphone-nya, dia sedang menulis sesuatu di buku besarnya, ada 2 buku tergeletak dirumput dan semuanya terbuka. Aku menunduk tersenyum, "rupanya tidak ada sejarah hari ini." kataku dalam hati. 

Aku berjalan menuju kursiku dan membuka leptopku dan memakai earphone ku lalu memulai beberapa nada dan mulai bernyanyi lirih, mencoba dari awal lagi lalu menuliskan nada baru di bukuku. Sesekali mata ini melirik ke arah Sera yang masih bergelut dengan kertasnya. Aku mengenalnya pertama kali ditempat ini, tempat favorit kami dari gedung kampus ini. 

Lalu entah sudah berapa lama aku bernyanyi dan bermain gitar disini. Ketika aku sadar Sera menoleh untuk yang pertama kalinya sejak kami senang menghabiskan waktu disini. Dia menatapku dari matanya, dan mata kami bertemu. Aku tidak menghitung berapa lama kami bertatapan jauh begitu aku sadar warna matanya yang gelap lalu beberapa detik kemudian dia berpaling lagi. Selalu begitu, dan aku tahu tidak akan lama lagi aku berharap bisa melihat kedua mata itu lebih lama lagi. Dia membereskan buku-bukunya lalu pergi meninggalkan tempat dia duduk tadi. Meninggalkanku yang terdiam heran dengan apa yang kurasakan. Entahlah, sesuatu tergiang-giang di kepalaku "Teoristis menghubungkan antara alam semesta dengan ilmu perhitungan. Menciptakan dan mengevaluasi metode ilmu perbintangan lalu diamati dengan seksama. Mencoba memahami implikasi model fisika tidak mudah dan memakan banyak waktu dan usaha."

Kurasa Sera tahu itu, dia ahli fisika sedangkan aku dalam bidang perbintangan. Dia seperti fisikawan dalam kubu relativitas bab astrofisikaku. Mencoba memahaninya tak akan pernah bisa selesai, hanya memakan waktu dan usahaku yang hanya bisa menatap matanya saja. Yang hanya bisa memata-matai dia tanpa dia melihatku. Konyol sekali, bahkan secara realistis, memang tidak ada yang tahu mengapa orang bisa jatuh cinta lalu hanya bisa diam dan memendamnya. 

Aku berdiri lalu melipat leptopku dan bergegas pergi menuju studio lebih awal. Sesampainya di studio, teman-teman menyadari sesuatu yang aneh padaku. Aku menatap Andre sebentar, lalu aku tahu, entah apa yang kupikirkan, persahabatan kami memang bukan seperti Sherlock Holmes dan Dr. Watson atau seperti Harry Potter dan Ronald Weasley. Tapi dia selalu menghampiriku, entah dalam keadaan apapun, dan kini aku membutuhkannya.

"Baik-baik aja lo? Sehat?." Dia bertanya. 
"Sehat. Secara harfiah sih." Kataku tertawa kecil. Dia tersenyum lebar lalu berbalik mengarah pada teman-teman yang lain.
"Sebentar ya, sante-sante dulu. Gue keluar bentar sama Reno." Katanya. Aku mengikuti dia keluar studio. Dia berjalan menuju warung kecil tempat biasa kita ngopi atau menikmati rokok sehabis latihan.

"Duduk lo, duduk sini." Ujarnya seraya menepuk kursi sebelahnya. Aku menurutinya lalu dia menyalakan korek api elektriknya dan menyentuhkan si merah di ujung rokok, menghirup nafas panjang lalu membuangnya ke udara.
"Jadi? Cewe itu anak fakultas apa?." Katanya simpati. Aku tertawa kecil, tidak percaya.
"Fisika." Ujarku singkat. Dia menyodorkan sebungkus rokok dan korek elektrik. Aku membiarkan rokok itu tergeletak dan tidak mengambil sebatang pun.
"Alien dari mana dia? Sampe bikin lo gini? Nyentuh Lucky Strike aja engga." Katanya sembari tertawa. Aku tersenyum.
"Gini ya, gua ga perlu nyuruh lo ngaku ke dia, itu jawaban basi. Lagian lo juga tau harus gimana. Kalo kata gua sih, yang namanya orang jatuh cinta seneng banget tapi ya ngenes banget juga. Soalnya gatau harus gimana, apalagi kalo cintanya itu real, lo tau maksudnya real? Ga jatuh cinta asal-asalan gitu lah." Katanya lagi lalu menghisap rokoknya lagi.
"Ndre, kalo katanya Hukum Gauss. Ibarat wanita itu kaya kutub negatif, dia nerima gelombang dari kutub positif, ya itu pria. Jadi mau sejauh apapun kutub negatif pergi, kutub positif bakal selalu nempelin dia." Kataku.
"Entahlah, tapi yang namanya Gauss itu, yang nyiptain teori itu. Bener banget. Tinggal gimana kutub positifnya  nempelin si kutub negatif aja. Iya kan?." Katanya menyimpulkan. Aku tertawa kecil. Andre berdiri dan membayar rokoknya lalu mengajakku kembali ke studio. Aku mengikutinya, dalam hati berharap Gauss benar-benar disampingku dan memberitahukan ku bahwa alam semesta ini berbicara dalam segala macam bahasa dan aku manusia terperangkap dalam bahasa kami sendiri, bahkan dalam pengartian cinta.

Esoknya aku mengambil jam kuliah siang lalu menunggu untuk selesai sesudah sore. Aku ingin pulang malam hari ini. Entah mengapa sehabis kuliah aku ingin melihat sebentar di planetarium kampus. Saat aku berjalan melewati lorong, aku melihat Sera berdiri didepan ruang planetarium. 

Dia mengikat rambutnya hingga tergelung sempurna. Dia makai rok putih rumbai panjang dan hem biru muda polos, menggantungkan tas dan memeluk buku kuliahnya. Aku terkejut, tentu saja. Dia menatapku sebentar lalu tersenyum.

"Sorry. Planetariumnya gaboleh dipake sama anak selain astronom ya?." Katanya sopan. 
"Kamu anak fisika kan? Kok sendirian disini?." Kataku. Dia terdiam sebentar sambil menatap pintu lab yang tertutup.
"Iya aku anak fisika. Aku penasaran aja isinya gimana." Katanya. Aku maju membuka pintu lab dengan kunci yang kubawa. Lalu mempersilahkan dia masuk. Dia masih berdiri disana, wajahnya ragu tapi penasaran.
"Boleh masuk kok. Ayuk." Kataku lembut. Dia berjalan dan memasuki planetarium yang gelap dan dingin, aku berjalan dan memencet lampu untuk menyalakan ruangan.

Planetarium menampakkan alat-alat astronomi seperti teropong yang panjangnya berbeda-beda dari 30-60 cm, korden besar berada tepat di depan teropong itu, rak-rak buku berbahasa inggris dan meja para mahasiswa yang akan melakukan praktik tertata rapi di setiap sudut ruangan. Aku membuka jendela besar di depan kami dan melihat langit luas membentang memperlihatkan titik-titik bintang disetiap area. Aku meliriknya sebentar dan melihat dia kagum dengan apa yang ada didepannya. 

"Aku kira anak fisika ga bakal kaget lho sama beginian." Kataku. Dia menoleh padaku lalu tertawa, tawanya ringan.
"Aku gatau lho kalau ada anak astronom bisa kesini malem-malem sendirian." Katanya menjawab. Aku tersenyum.
"Mungkin emang sebaiknya ambil kuliah malam aja biar ga salah alamat. Karena semuanya bisa keliatan kalau malam." Kataku lagi. Dia tersenyum padaku. Untuk pertama kalinya aku melihat dia dengan jelas, wajah yang selama ini bisa kulihat dari jauh saja.
"Aku Sera. Terima kasih sudah bolehin masuk" Dia menjulurkan tangannya menunggu jabatan tanganku. 
"Aku Reno. Seneng bisa kenal kamu, akhirnya." Kataku pelan. 


Mata kami bertemu, seperti yang sudah aku duga. Suatu hari sejak pertama aku memperhatikannya, hari ini akan terjadi. Entah apa yang dipikirannya saat ini, entah dia barusan saja berkenalan dengan pria aneh yang memperbolehkannya masuk ke lab ini, atau pria yang selama ini duduk tidak jauh dari dirinya setiap hari di belakang kampus. Pria yang selalu melihat dia seperti bintang di kubu teori astrofisikanya, seperti hiasan kecil yang menggantung di lehernya.

Kurasa tidak ada yang tahu nasib akan bicara apa, tapi seperti kata Gauss, "setiap kutub entah positif atau negatif, dia akan menemukan pasangannya."
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS