Fiksi

Sabtu, 31 Maret 2012

Aku berjalan disuatu sore saat itu. Benda yang kubawa hanya 3, mantel plus pakaianku, sepasang sepatu bootku, dan badanku yang dengan tidak sengaja ikut dengan kedua benda yang kusebutkan tadi. Entah kenapa apa yang harus kubawa, seperti jam tangan, ponsel, dompet, bahkan ikat rambut hanya akan membuat diriku makin lengkap ketika sedang pergi. Tapi tidak hari ini, aku ingin pergi dengan diriku apa adanya. Bahkan aku tidak membawa uang sepersen pun.
Titik-titik hujan masih membasahi permukaan tanah aspal dikakiku, tetesan sebesar kacang masih membekas di muka daun yang hijau. Sesuatu membawaku pergi hari ini. Aku merasa lemah, ini bukan tentang sakit, lebih spesifik sakit fisik, mentalku lah yang bermasalah. Bahkan aku berani mengakuinya jika boleh, karena memang, sesuatu menumpahkan air sedingin es keatas kepalaku. Buatku sadar bahwa aku harus bangun dan melihat diriku apa adanya.
Setiap orang memiliki kelebihan masing-masing bukan? Pintar, cerdas, genius, rajin, malas, bodoh, kreatif, dll. Tapi bagiku, aku bahkan tidak tahu apa kelebihanku. Kuurungkan niatku untuk tidak batuk, terdengar aneh jika begitu. Seakan didalam diriku ada dua orang sedang berbicara, sedangkan mulutku tetap diam, tapi hati dan telingaku mendengarnya.
Ketika kutolehkan kepalaku ke arah kiri, kulihat anak kecil sedang mengelus-elus perut ibunya yang sedang mengandung. Sambil tersenyum sedikit, aku menoleh kearas kanan, seorang ayah membelikan ice cream pada anak laki-lakinya yang sedang bermain bola, lalu mereka bersulang ice cream bersama, hingga puntung ice cream si anak hampir jatuh. Aku tersenyum kecil. Kuturunkan kepalaku kebawah, menatap tanah tempatku berdiri. Lalu mataku menatap depan. Seorang pelukis sedang menggambar danau didepannya, banyak orang lalu lalang menatap lukisan di pelukis yang hampir jadi. Kuperhatikan lukisan itu dari arahku berdiri. Sambil menarik nafas aku berjalan menuju pelukis itu.
Dia adalah seorang bapak tua yang rambutnya hampir berubah, dia memakai kaca mata persegi hitam yang berganggang tebal, dia mengamati detail kanvas hingga matanya hampir tidak kelihatan dibalik kaca matanya. Kuasnya yang besar dia celupkan pada gelas kecil dimeja disebelah kiri kanvas. Dia menaruh paletnya lalu mengambil sapu tangan di kantong jaketnya lalu mengelap cat merah dikanvasnya, sedikit sekali, lalu dia masukkan sapu tangannya. Ketika aku keheranan, aku mencoba melihat meja kecil itu dan menemukan beberapa lusin tisu bersih yang rupanya, belum tersentuh sama sekali.
"Lukisan Anda bagus Tuan." Ujarku memecah konsentrasinya. Dia menoleh padaku, mengatur kaca matanya lalu menyipitkan matanya, mencoba mengingat wajahku.
"Aku tidak mengenalmu. Tapi, terima kasih. Ini belum selesai." Ujarnya panjang. Aku mengangkat bahu.
"Aku bisa mengerti." Kataku singkat. Bapak tua itu mengangkat alis, dia tidak mengerti ucapanku.
"Dari cara Anda melukis sedetail itu, dan sapu tangan Anda untuk mengelap cat yang salah padahal ada tisu yang jaraknya tak jauh dari tangan Anda. Anda sangat..." Dia menunggu.
"Konsistan." Kataku melanjutkan. Dia tersenyum kecil lalu mengambil kuasnya lagi dan menceburkan rambut kuas di gradasi warna hijau di palet.
"Sudah berapa lama kau berdiri disitu anak muda? Belum ada yang berani mengomentariku seperti ini sampai hari ini." Katanya sedikit tertawa. Aku menggaruk kepalaku lalu berkata.
"Maafkan Saya." Ujarku polos. Dia menaruh kuasnya lagi di gelas lalu mengambil kuas kecil dan menceburkannya di gradasi warna kuning. Mataku mengawasi setiap gerakan lunglai bapak ini, bagaimana caranya memegang kuas, bagaimana caranya dia mengolah tangannya hingga lukisan menyerupai bentuk aslinya. Ketika mataku memandang pemandangan didepan kanvas, pohon-pohon yang hijau, sungai licin berwarna biru tua, bunga lotus yang berwarna putih pekat, perahu berwarna coklat, tunggu. Ketika mataku memandang lukisan, kurasa ini bukan kesalahan.
"Anda mewarnai pohon dengan warna biru?." Kataku bertanya. Aku hanya bisa menyimpulkan hal bodoh, aku baru tahu seorang pelukis seorang buta warna.
"Aku lebih suka memakai versiku sendiri." Ujarnya singkat. Aku masih tidak percaya. Seharusnya Biru adalah warna untuk danaunya, sedangkan dilukisan, danaunya hampir menyerupai warna pukit pekat, warna lotusnya. Perahu berawarna coklat kekuning-kuningan dan sungainya berwarna merah gradasi indah hingga mendekati merah muda. Jika dilihat, lukisan ini tidak begitu buruk, malah aku menganggapnya bagus, tapi warnanya, warnanya tidak sesuai.
"Apakah versi Anda, warna air adalah putih pekat?." Kataku polos. Dia terdiam sebentar.
"Didalam versiku, sesuatu yang nyata bisa menjadi kebalikannya." Ujarnya singkat. Aku berpikir sebentar.
"Anda penyuka fiksi?." Kataku menyimpulkan. Dia tertawa.
"Kita semua menyukai fiksi anak muda. Itu yang membuatmu berdiri disini sekarang." Katanya. Aku terdiam, menunggu. Dia menaruh kuasnya lalu berbalik kearahku.
"Apa alasanmu kemari?." Katanya bertanya.
"Aku bosan." Kataku singkat.
"Kalau begitu mengapa tidak dirumah, membaca buku atau menonton tv?."
"Terlalu membosankan."
"Hm.. hidup memang kadang membosankan. Bahkan untuk anak seusiamu yang jauh lebih segar daripada diriku." Aku masih berpikir.
"Itukah maksud Anda? Fiksi tidak membosankan?."
"Fiksi adalah sesuatu yang tidak sengaja ada, bahkan diciptakan, itu diciptakan untuk kesenangan. Fiksi itu indah, itu membuatmu membayangkan sesuatu yang bahkan belum pernah dibayangkan orang lain. Bahkan bisa menjadi pengingat yang abadi." Katanya. Aku terdiam. Aku menyukai fiksi, bagaimana orang ini tahu aku penyuka fiksi? Bagaimana dia tahu alasan aku berdiri disini sekarang karena aku merasa tak berguna karena tidak punya kelebihan apa-apa? Atau aku memang tidak menyadari dari awal?
"Aku ingin jadi penulis." Kataku. Dia menghentikan lukisannya. Menungguku.
"Aku merasa bodoh saja, rasanya itu bukan hal yang akan diterima siapapun." Kataku lurus. Kucoba utarakan semua.
"Aku ingin orang mendengarku, aku ingin orang menyukai tulisanku, bahkan walau mereka tidak menyukaiku, itu tidak masalah, setidaknya mereka mengenalku melalui.. karyaku." Kataku pelan. Dia menoleh padaku lagi.
"Cobalah membuka dirimu, aku yakin fiksi dimatamu tidak akan beda dimata mereka." Ujarnya. Aku terdiam. Berpikir sebentar. Mungkin aku tidak sepintar orang-orang yang kukenal, aku bahkan termasuk bodoh, aku tidak bisa melakukan apa yang mereka lakukan. Tapi aku memiliki sesuatu yang bahkan tidak bisa dimiliki mereka, seperti aku yang tidak bisa memiliki apa yang mereka miliki. Aku merasa terbuang, tertinggal, tidak diperhatikan siapa-siapa, aku seperti makhluk kecil diantara mereka. Kurasa bukan masalah jika aku mencoba, toh sesuatu yang tidak nyata suatu saat akan menjadi nyata. Seperti Fiksi.
Aku tersenyum, seakan mengucap terima kasih pada pelukis ini. Dia tersenyum padaku pula. Setidaknya hari ini aku bisa mengerti mengapa mentalku sedikit terganggu, aku butuh teman yang sama dunianya sepertiku, seperti pelukis ini. Dia menutup lukisannya dengan tanda tangan kecil di kanan bawah lukisannya. Dia manaruh palet, kuas dan pelaratan lainnya seraya aku membantunya. Dia berdiri dan berkata padaku sebelum pergi.
"Setidaknya, meski mereka belum mengenalmu, aku akan menjadi orang pertama yang akan membeli bukumu. Kurasa tidak buruk membaca ceritamu sambil melukis wonderland." Ujarnya. Aku tertawa lepas, begitu juga dengan dia, si pelukis genius.

Carousel

Sabtu, 10 Maret 2012

Sesuatu tertinggal ketika aku menatap matanya. Dia mungkin sama dengan sekian orang yang pernah menatapku ketika aku bicara, tapi tidak benar-benar tanpa kuketahui. Jika aku menyadari dia berada tak jauh dariku, aku mancari wajahnya, memandangnya hanya sekian kali dalam beberapa detik. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk sekedar melihat apa dia benar-benar ada, benar-benar disana, berdiri didekatku. Aku membaca sesuatu dalam diri ini, dia bagai kamar kosong yang pernah kumasuki, kutinggali, dan dia bersamaku disana. Semua berubah ketika kami memutuskan meninggalkan kamar itu, pergi menjauh dan berlawanan arah. Kau menemukan hidupmu, begitu juga diriku. Kini kami hanya bisa saling menatap, melihat dalam-dalam mata itu, mengingat bahwa kami masih menyimpan kamar itu. Jauh di dalam mata kami.
Tapi sesuatu menghalangi kami untuk membuka kamar itu. Sesuatu menarik kami, magnet yang sudah terikat dengan diri ini. Ini bukan tentang bukan bagaimana cinta kami tak bisa bersatu, ini tentang bagaimana kami masih belum menyelesaikan sesuatu yang tertinggal, bahkan hati ini tak akan bohong jika berpuluh manusia telah singgah dihati ini, jika ada seseorang, maka dialah yang satu-satunya, bagaimanapun caranya. Seseorang berkata, "lebih baik tidak mengenalkan.. itu jauh lebih baik.." tidak bagiku. Kau bahkan yang membawaku hingga saat ini, bediri berdampingan dengan seseorang yang bahkan tak terbaca ketika aku masih bersamamu. Hidup dan cinta bukan sesuatu yang salah, hanya saja terlalu dini jika kita memahami terlalu dalam. Terkadang aku hanya bisa terdiam, mengingat dan melihat mata itu. Aku bahkan pernah melihat mata itu lebih lama dari sekarang, lebih dan memahami bagaimana diriku dari caramu menatap mataku. Mungkin sesuatu yang berputar tak akan bisa dibalikkan kembali..
Ini malam ketiga ketika aku keluar rumah sendirian. Menunduk menahan terpaan angin, kumasukkan kedua tanganku di saku jaket, kutudungkan jaketku, mencoba melindungi rambutku agar tidak berantakan. Kakiku melangkah, menatap kedua kakiku yang saling bergantian melangkah. Mataku tidak memandang arah jalanku, aku hanya melangkah tak tahu kemana kaki ini membawaku, aku sudah hafal jalan ini, kurasa bukan masalah besar bagiku. Sesuatu bergetar di saku jinsku, pnselku, tentu saja. Aku belum mengabarinya sejak tadi siang. Kubiarkan saja, moodku sedang ingin sendiri saat ini.
Suara musik karnaval berbunyi ketika aku sadar aku sudah sampai di sebuah taman karnaval yang terang dan ramai. Aku tidak ingin berada di tempat ramai, seperti kubilang, moodku sedang buruk. Tapi entah mengapa kaki ini melangkah memasuki taman bermain itu. Banyak anak kecil berlarian membawa kembang gula, bermain panah air, ada beberapa sepasang kekasih membawa boneka kecil yang berpasangan. Aku berjalan, melihat-lihat setiap tempat dan sesekali berhenti dan memperhatikan setiap orang bermain. POnselku bergetar lagi, kuambil \ponsel ini lalu kubaca pesannya. "Aku pergi sebentar, nanti kutelpon.." itu bunyi pesan pertama, dan yang kedua "ibumu menelponku, kau dimana?". Aku tertegun, kurasa bukan tindakan yang baik membuat orang tua berpikir ini sudah ketiga kalinya aku keluar sendirian. Aku mengetik tombol dan menulis "aku di taman karnaval, biar aku yang menelpon ibu, aku baik-baik saja.." lalu kumasukkan kembali ponselku.
Kulangkahkan kakiku lagi meninggalkan tempat diriku berdiri tadi. Ditengah tempat karnaval terdapat tempat kosong seperti rumah yang hanya sebesar aula dan hanya ada beberapa orang yang hilir-mudik memasuki tempat itu, kebanyakan adalah sepasang kekasih. Aku memasuki tempat itu dan melihat ruangan bulat dengan kaca yang menutupi sebuah permainan menyala berbentuk bundar, komidi putar. Aku melangkahkan kaki memutari tempat itu, pintu untuk memasuki komidi putar sedang ditutup. Aku berdiri didepan pintu, menatap komidi putar itu. Lampu-lampu dari setiap senti komidi putar itu menyala, bahkan cat dari patung-patung kuda itu masih mengkilat. Dalam hati aku berpikir, kapan terakhir kali aku menaiki mainan ini, mungkin ketika aku masih berumur 5 tahun. Sambil mengangkat alis aku terdiam.
Ketika kupandangi tempat ini dengan seksama, aku menyadari seseorang berdiri disana. Sendirian menatap komidi putar, dia menggenggam ponselnya. Dia disana, sedang melamunkan sesuatu, entah apa, atau menunggu siapa. Tidak ada satupun adrenalin bagiku untuk menghampirinya, menyapanya, ataupun tersenyum. Aku tetap berdiri ditempatku, menatap komidi putar didepanku, begitu juga dia. Aku hanya bisa berkata dalam hati, kami berdiri terlalu dekat, tidak seperti biasanya, kami biasanya hanya bertemu sedekar menatap mata lalu pergi. Jika aku menoleh padanya, aku memiliki beberapa angka persenan kepastian bahwa dia pasti akan menoleh padaku juga. Tapi tidak, seharusnya aku senang bisa bertemu dengannya, bicara padanya, tertawa dan menanyakan kabar. Tidak untuk sekarang. Aku bahkan menurunkan alisku, aku sedih. Sesuatu membuatku tetap berdiri disini, dan aku yakin, jika dia tahu aku disini, mungkin dia juga merasa, sesuatu itu juga menahannya untuk berada disana.
Komidi putar didepan kami tetap terdiam, tapi entah kenapa diriku seakan berputar. Seakan kami tidak mengenal satu sama lain. Inilah yang terjadi, aku menahan hati ini untuk bicara, aku biarkan kamar ini tetap tertutup dan kubiarkan kunci itu kubuang entah kemana. Waktu tidak akan bisa kembali lagi, kami sudah berbeda, mungkin diriku yang berada disampingnya bagai orang lain, dan dia bagiku seperti orang lain juga. Seperti komidi putar, dulu kami menaiki tempat itu bersama, tapi kini, kami turun bersama dan meninggalakn komidi putar itu sendirian, tanpa seseorang yang menaikinya.
Seseorang meneriaki namanya dari kejauhan, aku menoleh dan melihat wanita itu membawa 2 kembang gula lalu memberikan satu padanya. Aku tersenyum kecil, lalu dari arah lain seseorang meneriaki namaku, aku terkejut lalu menoleh. Lelaki itu menghampiriku sambil berlari.
"Bagaimana kau tahu aku disini?" Kataku terkejut. Dia tertawa kecil, tetes-tetes keringat membasahi dahinya. Aku mengelap keringat itu dengan telapak tanganku.
"Feelingku bilang kau disini." Katanya sambil tertawa kecil. Aku tersenyum.
"Ayo pulang." Kataku sambil merangkul tangannya.
"Kau tidak ingin bermain sebentar?." Katanya.
"Tidak, aku janji ini terakhir kali aku keluar sendirian malam-malam. Kau mau berjanji sesuatu?." Ujarku.
"Apa?"
"Aku ingin kau yang menemaniku jika hal ini terjadi lagi." Kataku sambil tertawa kecil. Dia tertawa lalu kamu berjalan.
Sesuatu membuat diri ini membalikkan kepala dan menoleh kebelakang, dia berjalan ke arah berlawanan denganku seraya menggandeng tangan wanita itu. Wanita itu tertawa lalu menyendenkan kepalanya di pundaknya. Aku kemabali menatap depan dan tersenyum sendiri, kurasa sesuatu yang tertinggal itu adalah kunci dari pintu ini. Tapi kubiarkan kamar ini kosong, karena aku tahu pintu ini tak akan terbuka lagi, dia tak akan pernah datang, dan aku pun tak akan membukanya lagi untuknya. Kami sudah jauh, dan aku bisa memahami itu.
...di tempat lain. Lelaki itu menoleh pada wanita yang berjalan dengan lelaki disebalahnya. Dia diam lalu menatap wanita diselahnya dan tersenyum.
Komidi Putar itu tetap diam diantara mereka..
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS