Siang itu ketika aku dan (sebut aja) Ara, kami adalah sepasang sahabat. Lebih jelasnya sahabat yang baru ketemu di SMA. Dia laki-laki, terdengar aneh memang bahwa aku berteman dekat dengan anak laki-laki, apalagi sahabat. Waktu itu kami sedang makan siang di warung mie ayam setelah pulang sekolah.
Entah kenapa, terkadang aku memiliki insting berbeda tentang Ara. Kadang aku berpikir, dia adalah teman yang baik, kami bahkan kadang lupa kami laki-laki dan perempuan. Alhasil kami memang selalu begitu, kemana-mana tak pandang bulu. Mau dia pakek bamper hijau sama celana pendek jins selutut dan aku kaos oblong abu-abu sama celana jins item, intinya kami pasti bisa macingin diri. Mungkin ini namanya sahabat tanpa mata, mau pake apa aja yang penting heppy. Tapi sebagai perempuan, mungkin aku tergolong tidak fashionista. Aku pake baju apa aja yang penting nyaman, Ara juga tidak pernah protes dengan pakaian yang aku pakai. Setidaknya di mata laki-laki melihat perempuan begitu harusnya sedikit berkomen untuk berbenah diri. Tapi dia pernah sekali bilang “Perempuan itu harus jaga diri baik-baik, Di.”. Dan Ara, dia berbeda jauh denganku. Dia tergolong anak gaul. Pakaian dia tidak pernah ketinggalan jaman. Dia juga anak orang kaya. Tapi tetep aja, polosnya minta ampun.
"Dah buruan pesen." Katanya sambil kantongin kunci motor. Aku manggil bapak penjual mie ayam.
"Pak, dua ya sama es teh juga." Kataku. Aku ambil hp dari kantong lalu mulai mengetik beberapa kata di message.
"SMS pacar?." Katanya dia sambil nahan ketawa.
"Ngaco, sms mama. Takut khawatir." Kataku meyakini. Setelah sms mulai terkirim hpku kutaruh di meja. Ara mengambil hpku dan mulai memencet beberapa tombol.
"Emang mama kamu bisa khawatir sama anak kaya kamu?." Kata dia lagi. Ini jelas-jelas nyindir banget.
"Berisik. Telingaku bernanah denger kamu ngomong." Kataku mulai ngambek. Dia ketawa.
"Kamu lagi halangan ya? Tumben sensi gitu?." Katanya lagi. Hpku mulai dibalikin ke aku dan mie ayam pesanan kita sudah di antar disusul dengan es tehnya.
"Jadi, sekarang kamu yang bayar?." Kataku sambil menyedot sedotan es teh. Dia bicara di balik kunyahan mie ayamnya. Mulutnya penuh, aku yang ngeliat otomatis ketawa.
"Uda lu kunyah dulu deh mending. Sorry sorry aku mastiin aja, gak bawa duit soalnya." Kataku bercanda sambil gigit lidah.
"Dasar, uda ngutang berapa lu?." Katanya sambil minum teh. Aku mengangkat bahu.
Kami berlanjut makan sambil diam. Awan di luar mulai menunjukan akan hujan, aku sedikit gelisah karena tidak bawa jas ujan. Tapi melihat motorku yang kotor kena lumpur, kucoba ikhlaskan hujan-hujan biar motor sekalian mandi. Ara masih ribut sama mie ayamnya sambil main hp. Dan tentu saja.. mie ayamku sudah habis. "Dasar sinden lelet makan" kataku dalam hati. Ara memandang suasana gelap di luar lalu bicara padaku.
"Kamu gakpapa pulang hujan-hujan?."
"Gakpapa, liat motorku. Ancur begitu kaya mobil militer yang habis jalan-jalan di hutan belantara. Lagian besok seragam uda gak dipakek kan." Kataku. Ara senyum lega. Alisku bertaut lalu dia sibuk dengan hpnya lagi.
Beginilah kami. Aku sendiri tidak begitu paham kenapa kami bisa sedeket ini. Ini semua berawal dari sekelas lalu berlanjut satu kelompok dalam pratikum biologi. Tragis sekali aku bisa berkelompok dengan dia, pandangan pertamaku Ara adalah anak nakal, malesan, tidak mau bekerja sama. Eh ternyata aku salah, dia kebalikan dari penilaianku, yah kecuali yang "malesan". Sampe sekarang yang namanya PR selalu nyonto aku.
"Eh, gue mau tanya ni." Kata dia yang mulai mematikan hpnya lalu memandangku. Aku yang sedang terlarut melamun memandang awan langsung liatin dia. Mukanya serius banget.
"Tanya apa an?." Kataku. Dia diem.
"Kamu ntar mau kawin umur berapa?." Begok. Ini adalah pertanyaan yang sangat tidak masuk akal melihat situasi yang mendung dan dingin ini. Alisku naik satu. Tapi Ara tetap menunggu jawabanku.
"Kenapa? Lu hamilin anak orang? Pengen kawin cepet-cepet?." Kataku ngaco. Dia ngambil nafas, cuping hidungnya membesar lalu mengecil. Aku tahu dia sedang sabar dan tabah menghadapi makhluk sepertiku.
"Gue serius." Katanya. Aku menimbang-nimbang untuk menjawab pertanyaanya.
"Hhmm.. antara 25-27an. Gue gak mau anak gue lahir pas gue tua. Nape si? Lu nanyak ane-ane." Kataku. Dia senyum. Aku mulai merasa ada yang tidak beres dengan dia.
"Gkpapa, lu ntar mau kawin sapa cowok kaya apa?." Aku diem. Aku sejujurnya emang selalu dapet penglihatan suamiku nanti kaya apa. Mungkin kaya Robert Pattinson yang cakepnya luar biasa ato jangan-jangan aku malah dapet anak-anak band kaya Kangen Band. Tidak tidak..
“Lu duluan.” Kataku menyerah. Dia ketawa.
“Hhhmmm.. cantik, baik, keibuan, sayang gue, bisa hasilin anak banyak, sexy.” Aku uda duga anak bajingan ini bakal jawab itu.
“Lu kawinin Julia Perez no.” Kata ku dengan mimik wajah kasian. Dia ketawa lagi. Dia ambil tisu lalu dilapkan di meja dia.
“Sebenernya gak sedetail itu si. Tapi garis besarnya kaya gitu lah. Intinya, aku mau kawin sama perempuan yang agamanya bagus, dia penyayang, dia mau nerima aku apa adanya, dia sangat sayang sama orang tuaku, dia bisa diajak bicara baik-baik. Yah kalopun ntar istri gue gemuk tapi syarat tadi masih ada, masih gue terima lah. Pokoknya kita cocok jiwa dan raga.” Kata dia. Aku mengangkat alis, aku tidak percaya anak seperti dia bisa berpikiran murni begitu. Padahal setauku, mantan-mantan dia adalah cewek bohai-bohai dan sangat amat begok. Dia jarang macarin cewek pinter, kasian banget.
“Lu bisa mikir sejauh itu juga Ra, gue terharu.” Kataku bercanda.
“Sekarang lo.” Katanya nagih. Aku berpikir sebentar.
“Aku mau cowok kaya Rangga di Ada Apa Dengan Cinta.” Kataku nyelocor. Dia masih mandang aku, hening, Aku lupa satu hal, Ara adalah anak yang jarang nonton film begituan. Dia rajin liat film tidak jelas seperti “Cinta Rock n Roll” ato sebangsanya.
“Yang mainin Diansatro, Ra. Lu beneran gak tau?.” Tanyaku. Dia menggeleng. Temen gue satu ni!
“Oke de. Jadi gini, Rangga itu anak yang diem. Dia sukanya menyendiri. Bawaannya buku sastra gitu lah, tapi ya emang cakep juga si. Orangnya sensitive banget, tapi aslinya hatinya itu lembut banget. Apalagi sama perempuan, jadi kalo bayangin aku lagi sama dia. Mungkin aku ngerasa dilindungi gitu lah. Pokoknya top banget deh tu orang.” Kataku. Dia masih liatin aku, akspresinya tak bisa ditebak.
“Yah cocoknya sama kamu. Dia suka baca buku, kamu juga suka. Kamu mau jadi penulis sastra, dia suka buku sastra. Sekarang yang jadi pertanyaan terbesar, emang ada cowok kaya gitu di jaman sekarang?.” Itu adalah pertanyaan paling brilian. Aku diem, jelas aja aku diem. Aku harus jawab apa coba?. Ara bener, jaman sekarang itu yang namanya laki-laki susah dibuat setia. Mereka pada suka dunia yang hura-hura, kalo jaman dulu kan laki-laki lebih suka petualangan. Mereka suka nyari sesuatu yang baru. Beda 100% banget.
“Yah mungkin gue ngimpi dapet suami kaya gitu.” Kataku mengalah pada kenyataan. Ara senyum. Aku melihat gaya senyuman dia yang polos, Ara cukup cakep. Aku kadang tak berpikir untuk menilai wajah dia.
“Kenapa lo senyum-senyum?.” Kataku. Dia memandangku sembari mendekatkan wajahnya pada wajahku.
“Lo tu lucu Di. Lo tu apa adanya. Kenapa lo harus ngimpiin harepan yang besar kaya gitu? Banyak cowok yang ngarepin lo Di. Buka dong matanya. Soulmate yang baik adalah soulmate yang bisa nerima apa adanya.” Kata dia.
“Tapi kalo seandainya Rangga itu ada, dia bakal nerima gue apa adanya lah.” Kataku nyolot. Ara diem tapi matanya masih natap aku. Aku sedikit tersinggung dengan apa yang barusan dia bilang. Mungkin impianku terlalu tinggi, tapi memang itu tipe cowokku kan. Mau apa lagi?. Aku memandang awan lagi, sekarang titik-titik hujan mulai turun. Baguslah, motorku bisa mandi beneran sekarang.
“Aku suka cewek yang pinter bercerita.” Kata Ara tiba-tiba. Aku menoleh pada dia. Matanya menatap hujan juga.
“Maksudnya?.” Kataku.
“Yahh… dia bisa dongeng. Dia tau banyak cerita-cerita dongeng. Jadi ntar anak gue bisa sering dapet dongeng sebelum tidur, tau kan maksdunya?. Gue kan bukan orang yang jago bawa buku kemana-mana, jalankan buku, yang namanya sastra aja baru tahu setelah gue temenan sama lo.” Kata dia jujur. Aku liatin dia dalem-dalem. Kepalanya menoleh lurus padaku lagi. Wajahnya di dekatkan lagi di wajahku.
“Di, gue emang buta roman. Gue gak tau gimana cara buat puisi. Gue gak bisa ambil hati cewek pake nyanyi sambil gitaran. Tapi gue bisa jadi diri sendiri supaya cewek itu bisa baca diri gue, selain itu dia juga tau kalo yang namanya cinta gak harus orang-orang kaya si Rangga itu.” Aku terdiam. Dia juga diam. Lalu dia beranjak untuk membayar mie ayam kita. Aku pengen teriak bilangin dia soal mie ayamku yang mau aku bayar sendiri. Tapi kuurungkan niat itu. Ara sempat tersenyum ke aku, lalu aku balas dengan senyuman terpaksa. Karena aku sendiri tak tahu aku ini kenapa. Ara benar-benar aneh..
Satu hal yang kupikirkan. Ara memang tidak beres, dia beda. Tapi entah kenapa, aku mulai sedikit menyukai dia (bukan sebagai sahabat).
Langganan:
Postingan (Atom)