my love ..

Selasa, 22 Juni 2010


Ketika kulit tangan ini mulai mengkerut, wajah ini tak semulus dulu dan rambut tak sehitam dulu, tapi hatiku padamu tak akan pernah tua. Aku kan selalu mencintaimu. Walau kini tubuh itu tertidur damai dalam peti hitam tersembunyi dalam tanah, Aku tak pernah lelah menyatakan cinta padamu..

Sudah hampir 14 tahun aku mengunjungi makam itu. Makam dimana kau tertidur hampir 25 tahun lamanya, ketika aku menyadari aku memang mencintaimu. Saat itu pernikahanku dengan suamiku. Dan kau meninggalkanku untuk selamanya. Aku tak pernah menyadari betapa aku mencintaimu, karna kau Sahabatku. Kulewati hari demi hari hingga tahun demi tahun denganmu. Hingga hari besarku tiba. Kau menyalami lelakiku, dengan senyum bahagia seorang sahabat kepada calon suami sahabatnya, tapi itu berubah ketika kau dan aku berbicara di taman bermain sehari sebelum aku menikah.

"Kau menang.." Katanya padaku seraya tertawa lirih. Dan kami diam. Hingga ia berhenti dari jalannya dan menatapku.
"Kau mencintainya kan?." Katanya memandang mataku. Kulihat mata biru itu begitu dalam. Sedalam laut..
"Ya, tentu. Dia akan jadi suamiku, kan." Kataku tersenyum. Beberapa saat kemudian ia tersenyum. Tapi.. aneh.
"Kau.. tidak mencari wanitamu?." Kataku mulai berjalan lagi, dan ia menyusul.
"Aku belum menemukannya." Katanya dalam tawa. Aku pun tertawa.
"Kau pasti mendapatkan yang kau mau. Aku membayangkan anak kita bermain bersama suatu hari nanti, dan kita para orang tua duduk di kursi taman melihat mereka bermain seluncur bersama." Kataku tersenyum, benar-benar membayangkannya.
"Wow, itu bayangan calon orang tua rupanya." Katanya seperti menghina. Aku menoleh padanya dan metautkan alis. Ia menatapku dan mengucapkan sebuah kata tanpa suara. Tapi aku tahu apa itu, ia berkata "Sorry."
"Kita kan jadi orang tua. Tidak salah kan." Kataku mengingatkan. Kudengar ia mendengus dan tersenyum. Kutatap dia dari samping. Ia tersenyum memandang kakinya. Ya tuhan, aku begitu lupa betapa tinggi ia. Rambutnya yang hitam berombak berantakan terkena angin malam, bibirnya tipis merona. Dia berbeda ketika aku pertama kali bertemu saat berumur 5 tahun. Dan hebatnya kita tetap bersama hampir 20 tahun ini. Tapi ia benar, aku menang. Aku meninggalkan masa sendiriku lebih dulu.
"Kita tetap berteman kan? Aku yakin lelakiku tak mungkin cemburu padamu. Maksudku, ia mengenalmu sebagai sahabatku dari kecil." Ia berhenti dan menatapku. Lalu ia tersenyum, memamerkan giginya. Senyumnya hangat.
"Tentu." Dan akhirnya, aku begitu lega mendengarnya.
"Selamanya." Ia menambahkan. Dan aku tersenyum padanya.
Ia maju padaku dan memelukku. Malam itu tak ada tanda apapun darinya. Ia hanya tersenyum setiap aku beropini. Aku pasti merindukanmu kawan, peluk ini dan segalanya..


Dan esoknya, ketika lonceng gereja menggema dan lagu pernikahan berbunyi. Pintu gereja terbuka didepanku. Dengan tangan ayahku menggandeng tangan kananku menuntunku hingga altar dimana lelakiku berdiri menungguku. Semua mata undangan melihatku, aku tak mungkin melihat satu-satu. Tapi aku sadar, sahabatku tak hadir. Aku tetap tersenyum, sesungguhnya ini adalah hari besarku. Aku tak mungkin sedih hanya dengan 1 masalah. Ketika aku melihat tangan ayahku yang bergetar gugub memegang tanganku, aku lupa satu hal. Seharusnya posisi ini bukan posisi ayahku. Ini posisinya, posisi sahabatku yang tidak hadir hari ini. Senyum dari wajahku hilang seketika. Tapi aku terus berjalan hingga semua acara berakhir, janji suci kami dan ciuman mesra dari lelakiku lalu melempar buket bungaku. Aku berharap sahabatku yang menangkapnya. Tapi mengingat ia tak datang... dan anehnya, buket itu tak tertangkap oleh siapapun, terjatuh begitu saja di tanah. Entah mengapa, aku tahu aku bahagia. Itulah perasaan normal yang memang harus kurasa. Tapi ini aneh, aku mendadak takut..

Acara berakhir, dan aku berjalan keluar gereja menuju mobilku. Dan tiba-tiba ayahku datang, ekspresi itu sedih. Dan ia memelukku. Mulutnya berbisik padaku, bagai suara belati menusuk hatiku hingga benar-benar terbelah. Aku sadar, ketika kata-kata itu berbunyi "Ia pergi. Tuhan mengambilnya dihari pernikahanmu. Maafkan ayah, nak. Tapi ia menitipkan sesuatu padamu" Sadarlah aku, aku menangis. Ayahku melepas pelukannya dan memberi seikat bunga rose putih indah padaku. Dengan tali panjang yang mengikat beberapa helai bunga itu. Bunga itu ada yang rusak, kelopaknya tak karuan tapi ada beberapa yang masih utuh. Sesungguhnya bunga itu lebih indah dari buket yang kulempar tadi, aku mencium harum bunga itu. Harum yang sama seperti harum tubuhnya ketika memelukku. Satu-satunya yang tersisa darinya.. hadiahku darinya. Ketika aku sadar sekuntum bunga yang terlihat buatan, kubuka kelopak itu dan sadarlah aku, itu adalah sebuah kertas yang dilipat serupa dengan bunga, tulisan panjang yang kukenal, indah dengan tinta hitam. Disitu tertuliskan,
"Selamat atas hari besarmu. Semoga kau bahagia. Satu kata untukmu, aku selalu mencintaimu.."
Dan, air mata ini semakin deras tak menentu..




Aku duduk di pemakaman ini. Aku membacakan sebuah surat padanya, dengan cerita tentang harapan anak-anak kita kelak. Sebuah surat balasan dari bunga itu, sudah 14 tahun aku membalas surat itu, tanpa ia membalasnya satupun.
Ia sahabatku, hingga kapanpun.
Dan dengan abadinnya, ia juga cintaku, cinta untuk selamanya..
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS